Berawal dari keresahan yang bersumber dari suara-suara pinggiran, ada banyak keluh kesah yang bersemayam. Di setiap sudut ada yang merasakan sebuah kehampaan dari slogan loyalistik yang biasa terdengar nyaring ditelinga yaitu "Berteman lebih dari bersaudara". Pasalnya, slogan itu tidak melembaga dalam bentuk tindakan atau hanya menjadi slogan yang tidak hidup didalam relung-relung realitas. Itu ujar mereka yang merasa teralienasi oleh kondisi realitas..
Dikala LK1 atau Pasca Basic Training, kalimat asing itu mulai terdoktrin di kepala. Sehingga yang terbayang adalah sebuah keadaan yang harmoni atau dari kuantitas kepala menuju kualitas kepalan untuk mencapai tujuan organisasi. Jika kita merujuk pada pendekatan Fenomelogi Edmund Husserl atau yang lebih dikenal dengan "Dimensi Intuitif", maka kesadaran pertama yang muncul setelah mendengar atau memaknai kalimat tersebut adalah bagaimana hierarki persaudaraan di HMI yang telah sampai pada titik kulminasi. Dalam keadaan persaudaraan saja tingkat integrasi nya sudah begitu erat, tentu lebih dari bersaudara itu berada diatasnya.
Perihal ini terkadang menjadi satu konsepsi metafisika atau kadang menjadi konsep yang utopis sebab menyisakan suatu ruang kosong di kepala tentang bagaimana konsep persaudaraan yang dimaksud. Dalam hal ini saya mencoba membagi konsepsi tentang persaudaraan menjadi dua aspek secara garis besar. Pertama, Individu yang memandang individu lain (saudaranya) sebagai obyek yang berada diluar dirinya akan tetapi ia memiliki keterikatan yang bersifat koheren & paralel. Kedua, Individu yang memandang bahwa individu lain tanpa ada dualitas subyek dan obyek didalamnya. Ia menganggap bahwa individu lain sebagai dirinya dan tidak ada keterpisahan dengannya, Ia bersifat kohesif & integratif. Pada bagian kedua inilah saya menganggap dan meletakkan status ontologi dari konsepsi persaudaraan di HMI.
Berdasarkan keresahan yang muncul akibat kontradiksi ide & realitas " maka kita bisa merumuskan beberapa faktor yang menyebabkan kontradiksi tersebut. Pertama, efek globalisasi yang menyebabkan terjadinya akulturasi & asimilasi budaya di setiap daerah. Yang kita maksudkan tentu saja adalah globalisasi yang datang dari barat seperti bagaimana trending di sana juga berlaku global di daerah lainnya. Contohnya Liberalisme di Amerika Serikat yang memperkental individualistik, perlahan juga menghegemoni di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.
Kedua, efek posmodernisme. Kita tahu bahwa setelah proyek modernisme gagal, muncul sebuah proyeksi baru yang disebut sebagai posmodernisme. Salah satu ciri khas posmodernisme adalah anti fondasionalisme. Artinya tidak ada suatu fondasi apapun dari segala hal sebab sebagaimana ujar Albert Camus bahwa semakin kita mencari sesuatu maka hasilnya adalah nihilisme. Dengan ketiadaan fondasi seperti itu maka persepsi seseorang terkait humanitas pun menjadi terkikis perlahan-lahan. Dan dampaknya kita rasakan saat sekarang ketika amoralitas, dehumanisasi, disfungsi manusia, disharmoni masyarakat yang menyebabkan terjadinya disintegrasi, dll.
Ketiga, minimnya pengamalan dari Al-Qur'an & As-Sunnah mengenai konsepsi persaudaraan. Padahal pedoman tersebut telah mengatur bagaimana konsepsi persaudaraan sesama muslim. Tak hanya itu, bahkan konsepsi mengenai persaudaraan dengan non muslim pun juga tercatut didalamnya. Hanya saja pemaknaan, penghayatan & pengamalannya yang tidak termanifestasi kan ke dalam realitas.
Keempat, meningkatnya konflik , intensitas politik, dan minimnya rekonsiliasi yang berjalan secara efektif efisien. Baik yang berkonflik & yang melewati ketegangan politik akibat kepentingan yang berbeda, mereka banyak mendiamkan & lari dari masalah sehingga masalah baru pun menjadi muncul. Atau rekonsiliasi telah dilakukan, namun tidak diselesaikan sampai ke akar persoalannya sehingga potensi reinkarnasi dari persoalan tersebut juga terbuka lebar. Akibatnya, tali persaudaraan pun semakin mengendor.
Kelima, Efek dunia digital. Baik secara sadar maupun tidak perubahan dari dunia otomatisasi menuju dunia digital ternyata juga menghasilkan watak & ciri khas baru ditengah-tengah masyarakat. Selain budaya konsumtif yang meningkat, budaya individualistik juga semakin surplus. Orang-orang lebih sibuk memikirkan dirinya sendiri, menjadi narsis di media sosial, bahkan ada yang menjadi anti sosial. Tentu saja doktrin be you're self menjadi relevan dengan zaman yang memang menarik kita ke ranah individualistik. Saat dunia realitas di alihkan ke dunia maya (digital/simulasi), proses interaksi manusia pun juga turut beralih ke dunia digital. Fitur-fitur yang disuguhkan oleh teknologi digital pun membuat kita nyaman menghabiskan waktu dengannya sehingga itu juga memperlancar proses infiltrasi individualistik.
Jika kita berkaca pada psikoanalisa perang dunia, Erich Fromm mengatakan bahwa antara kelompok yang satu dengan kelompok lawan menganggap bahwa lawan mereka adalah iblis yang harus dibumihanguskan. Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan lahirnya gerakan eksistensialisme untuk memulihkan nilai-nilai humanitas yang tergerus akibat perang. Jika kita tilik pendapat Thomas Hobbes dari aliran Empirisme ia mengatakan bahwa "Manusia akan selalu mempertahankan dirinya & ia juga memiliki hasrat untuk mendominasi orang lain". Bagi Hobbes manusia juga memiliki sifat kebinatangan yang mana hal ini kemudian kita kenal dengan istilah "Homo Homini Lupus".
Selaras juga dengan pendapat Charles Robert Darwin yang punya teori tentang evolusi dimana makhluk hidup yang mampu survive adalah spesies unggul yang telah melewati seleksi alam. Dan ketika dilihat dari konflik maka hal ini juga kompatibel dengan apa yang disampaikan George Simmel, ia mengatakan bahwa "apabila interaksi antar manusia dapat disebut sebagai kerjasama maka begitu pula dengan konflik. Ia mengatakan bahwa konflik adalah kerjasama untuk mengeliminasi salah satu pihak". Sederhananya, maksud Simmel adalah tindakan-tindakan yang bersifat kolutif tatkala menghadapi suatu konflik.