Lihat ke Halaman Asli

Sabar ririsma riani l.gaol

Mahasiswa Pendidikan sejarah Universitas samudra

Sejarah Oeang Republik Indonesia Tapanuli Tahun 1957-1949

Diperbarui: 15 Juni 2021   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada masa awal kemerdekaan indonesia, keadaan perekonomian indonesia belum stabil. Ini disebabkan karena saat itu perekonomian indonesia masi dikuasai oleh penjajah. Beredarnya mata uang pemerintahan belanda dan uang jepang berdampak buruk pada perekonomian indonesia hingga menyebabkan terjadinya inflasi. Ditambah dilakukannya blokade ekonomi oleh belanda yang berdampak pada kegiatan ekspor-impor indonesia. Banyak barang dagangan yang di musnahkan dan barang impor yang dibutuhkan tidak dapat terpenuhi, ini mengaki-batkan pajak dan bea cukai makin berkurang, menyebabkan pendapatan dengan pengeluaran negara tidak sebanding sehingga terjadi kekosongan kas negara. Sementara itu pendapatan pemerinta hanya bergantung pada hasil produksi pertanian masyarakat, sekalipun keadaan ekonomi indonesia sangat buruk tetapi dengan adanya dukungan petani, ekonomi republik indonesia masi dapat bertahan.Sementara peredaran mata uang asing belum bisa dihentikan oleh pemerintah indonesia dikarenakan republik indonesia belum memiliki mata uang sendiri sebagai pengganti mata uang asing. yang kemudian hal tersebut memaksa pemerintah indonesia menyatakan tiga mata uang yang berlaku di nusantara untuk sementara waktu, yaitu: pertama, uang de javasche bank (DJB), kedua uang pemerinta india belandan dan ketiga uang pendudukan jepang. Keadaan tersebut berpengaruh pada dunia perekonomian di seluruh daerah di indonesia.  

Pada oktober 1946 untuk pertama kalinya pemerinta republik indonesia mencetak uang kertas sendiri yang dikenal dengan Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada tanggal 30 Oktober 1946 secara resmi ORI diberlakukan di seluruh republik indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1946 tentang pengeluaran ORI. Namun ternyata peredaran ORI tidak dapat menjangkau seluruh wilayah indonesia akibat dari pendudukan belanda dan kebijakan blokade ekonomi belanda.  Oleh karena itu, perlu diambil langkan agar kebutuhan alat pembayaran daerah-daerah tetap dapat terpenuhi agar kegiatan perekonomian tidak terhambat, maka dikeluarkan uang darurat yang dicetak oleh daerah yang disebut Oeang Rebuplik Daerah (ORIDA), melalui peraturan pemerintah No 19 tahun 1947 tertanggal 29 Oktober 1947, Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi, Keresidenan dan Kabupaten diberikan wewenang untuk menerbitkan uang kertas atau tanda pembayaran yang sah berlaku secara terbatas di daerah tersebut (Darsono, dkk 2017: 248). Masyarakat menyambut dengan antusias pencetakan ORIDA di daerah masing-masing. Ini menyebabkan membludaknya alat pembayaran yang sah di Sumatera Utara pada masa revolusi sosial saat itu.

Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) mulai diterbitkan pada tanggal 8 Agustus 1947 ole percetakan Philemon Bin Harun Siregar. Pencetakan ORITA dilakukan karena ORIPS tidak mampu menjangkau semua tempat, keresidenan di sumatera utara akibat dari didudukinya Pematang Siantar oleh belanda sehingga pencetakan dan bahan untuk mencetak ORIPS sulit didapatkan, sementara perekonomian harus tetap berjalan dalam memenui kebutuan sehari-hari msyarakat, sehingga Gubernur memberikan izin kepada residen Tapanuli untuk mencetak uang sendiri dan hanya berlaku di Tapanuli saja. 

Latar Belakang Pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) 

Pemerintah Daerah dalam wilayah propinsi Sumatera, masing-masing telah  mencetak mata uang sendiri yang berlaku dalam daerah tersebut, seperti Oeang  Repoeblik Indonesia Laboehan Batoe (ORILAB), Oeang RI Kaboepaten Asahan  (ORIKA), Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuoeli (ORITA), dan Oeang Repoeblik Bagian Aceh (ORIBA). Ada pula Oeang Repoeblik Indonesia Nias (ORIN), Kurs antara uang-uang tersebut tidak menentu dikarenakan harga-harga barang semakin  tinggi,sedangkan perdagangan tidak dapat berjalan lagi akibat tidak menentunya perhubungan dan angkutan. Sementara itu, banyak pula beredar ORIPS palsu  yang  datang membanjir dari pedalaman Sumatera Timur, sehingga di Tapanuli uang itu tidak laku lagi.

Latar belakang dikeluarkannya uang tersebut adalah karena sulitnya  perhubungan dengan Pemerintah Pusat sehingga untuk menjalankan roda  pemerintahan terpaksa diambil jalan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan  sebelumnya, setelah Agresi Militer I dimana Pemerintah Provinsi Sumatera mengungsi dari  Pematang  Siantar ke  Bukit  Tinggi.  Perpindahan  ini  membuat  percetakan  dan  persediaan  ORIPS  berantakan  karena  Pematang  Siantar  telah  diduduki musuh. Akibatnya Pemerintah Provinsi tidak mampu lagi memasok  persediaan uang untuk belanja pemerintahan karesidenan. Menghadapi situasi  yang tidak menentu itu, maka karesidenan Tapanuli telah meminta persetujuan  Gubernur agar diizinkan untuk mencetak uang sendiri bagi kebutuhan Tapanuli. Akhirnya, demi kelancaran ekonomi, Gubernur setuju dan memberikan kuasa sah untuk Tapanuli saja. Uang tersebut dinamai Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli  atau disingkat ORITA.  

ORITA adalah uang kertas yang kedua kalinya dicetak oleh Republik Sumatera setelah ORIPS. Residen Dr. Ferdinand Lumban Tobing meminta Bistok Siregar untuk  mencetak  uang  bagi  keperluan  perekonomian  di Tapanuli  saat  itu. Bistok  yang  saat itu menjadi  Komandan  Brigade  Pasukan  Ksatria  dan  sama  sekali tidak tertarik akan  bidang  usaha  percetakan.  Akan  tetapi,  sebagai  pewaris sekaligus pemilik percetakan yang diwariskan kepadanya, akhirnya menyetujui permintaan Residen tersebut. Bistok menganggap hal tersebut sebagai kegiatan  untuk membantu perjuangan masa itu. Maka mulailah percetakan Philemon itu mencetak ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli). ORITA dicetak dengan  pecahan Rp. 5, hingga Rp. 200. Pencetakan pertama berlangsung di Sibolga dengan penjagaan ketat dari Polisi. Kertas yang digunakan untuk mencetak adalah kertas HVS  dengan menggunakan empat mesin cetak, sehingga ORITA hanya  berupa uang kertas. Semua uang yang dicetak ditandatangani terlebih dahulu  sebelum diedarkan.

Proses pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA)

Pencetakan pertama berlangsung di Sibolga dengan penjagaan ketat dari Polisi. Kertas yang digunakan untuk mencetak adalah kertas HVS dengan  menggunakan empat mesin cetak, sehingga ORITA hanya berupa uang kertas.  Oeang Tapanuli terdiri dari pecahan 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah, 50 rupiah, 100 rupiah dan 200 rupiah. Semua  uang  yang  dicetak  ditandatangani  terlebih  dahulu  sebelum diedarkan. Berhubung situasi kota Sibolga lama kelamaan sudah tidak  aman, maka diputuskanlah untuk memindahkan  percetakan itu ke desa Sitahuis.  Sitahuis berjarak 21 km dari Sibolga ke arah Tarutung yang disebut  juga  Sibolga II,  dimana daerah Sitahuis telah dipersiapkan menjadi kota cadangan ibu kota Tapanuli, jika Sibolga (Sibolga I) diserang musuh. Untuk pencetakan ORITA  tersebut, diangkutlah mesin cetak dari Percetakan Bin Arun Siregar yang ada di  Sibolga ke  Aek Sitahuis. 

Oleh karena di zaman revolusi, maka masih banyak kekurangan, seperti   kertas yang sederhana, tintanya pun bukan waterproof (tahan air), sehingga  kadang-kadang  setelah dicetak perlu dijemur agar cepat kering, karena yang membutuhkan uang  tersebut sudah antri menunggu. Banyaknya uang yang dicetak tidak bebas, melainkan berdasarkan otoritas dari Pemerintah Provinsi kepada  Pemerintah Karesidenan. Untuk pengawasan pengeluarannya, setiap  lembar  uang  ORITA ditandatangani oleh seorang pejabat ke uangan  yang ditunjuk  oleh Residen. Terkhusus di wilayah karesidenan Tapanuli, dr.Ferdinan Lumban Tobing lah yang  menandatanganinya.

Walaupun proses  pencetakan  dan  pengeluaran  ORITA  sangat  sederhana  saja  namun  pada  waktu itu tidak pernah ada yang berbuat curang atau korupsi. Semua pegawainya bersifat  jujur  dan bertanggung  jawab  karena  atasannya  (Residen) sangat  jujur  dan  penuh tanggung  jawab  dan tidak pernah berbuat yang menguntungkan kepribadiannya atau keluarganya.  Semuanya  berjalan  diatas  rel kejujuran dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tercipta  pemerintah yang bersih dan berwibawa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline