Pada masa awal kemerdekaan indonesia, keadaan perekonomian indonesia belum stabil. Ini disebabkan karena saat itu perekonomian indonesia masi dikuasai oleh penjajah. Beredarnya mata uang pemerintahan belanda dan uang jepang berdampak buruk pada perekonomian indonesia hingga menyebabkan terjadinya inflasi. Ditambah dilakukannya blokade ekonomi oleh belanda yang berdampak pada kegiatan ekspor-impor indonesia. Banyak barang dagangan yang di musnahkan dan barang impor yang dibutuhkan tidak dapat terpenuhi, ini mengaki-batkan pajak dan bea cukai makin berkurang, menyebabkan pendapatan dengan pengeluaran negara tidak sebanding sehingga terjadi kekosongan kas negara. Sementara itu pendapatan pemerinta hanya bergantung pada hasil produksi pertanian masyarakat, sekalipun keadaan ekonomi indonesia sangat buruk tetapi dengan adanya dukungan petani, ekonomi republik indonesia masi dapat bertahan.Sementara peredaran mata uang asing belum bisa dihentikan oleh pemerintah indonesia dikarenakan republik indonesia belum memiliki mata uang sendiri sebagai pengganti mata uang asing. yang kemudian hal tersebut memaksa pemerintah indonesia menyatakan tiga mata uang yang berlaku di nusantara untuk sementara waktu, yaitu: pertama, uang de javasche bank (DJB), kedua uang pemerinta india belandan dan ketiga uang pendudukan jepang. Keadaan tersebut berpengaruh pada dunia perekonomian di seluruh daerah di indonesia.
Pada oktober 1946 untuk pertama kalinya pemerinta republik indonesia mencetak uang kertas sendiri yang dikenal dengan Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada tanggal 30 Oktober 1946 secara resmi ORI diberlakukan di seluruh republik indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1946 tentang pengeluaran ORI. Namun ternyata peredaran ORI tidak dapat menjangkau seluruh wilayah indonesia akibat dari pendudukan belanda dan kebijakan blokade ekonomi belanda. Oleh karena itu, perlu diambil langkan agar kebutuhan alat pembayaran daerah-daerah tetap dapat terpenuhi agar kegiatan perekonomian tidak terhambat, maka dikeluarkan uang darurat yang dicetak oleh daerah yang disebut Oeang Rebuplik Daerah (ORIDA), melalui peraturan pemerintah No 19 tahun 1947 tertanggal 29 Oktober 1947, Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi, Keresidenan dan Kabupaten diberikan wewenang untuk menerbitkan uang kertas atau tanda pembayaran yang sah berlaku secara terbatas di daerah tersebut (Darsono, dkk 2017: 248). Masyarakat menyambut dengan antusias pencetakan ORIDA di daerah masing-masing. Ini menyebabkan membludaknya alat pembayaran yang sah di Sumatera Utara pada masa revolusi sosial saat itu.
Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) mulai diterbitkan pada tanggal 8 Agustus 1947 ole percetakan Philemon Bin Harun Siregar. Pencetakan ORITA dilakukan karena ORIPS tidak mampu menjangkau semua tempat, keresidenan di sumatera utara akibat dari didudukinya Pematang Siantar oleh belanda sehingga pencetakan dan bahan untuk mencetak ORIPS sulit didapatkan, sementara perekonomian harus tetap berjalan dalam memenui kebutuan sehari-hari msyarakat, sehingga Gubernur memberikan izin kepada residen Tapanuli untuk mencetak uang sendiri dan hanya berlaku di Tapanuli saja.
Latar Belakang Pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA)
Pemerintah Daerah dalam wilayah propinsi Sumatera, masing-masing telah mencetak mata uang sendiri yang berlaku dalam daerah tersebut, seperti Oeang Repoeblik Indonesia Laboehan Batoe (ORILAB), Oeang RI Kaboepaten Asahan (ORIKA), Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuoeli (ORITA), dan Oeang Repoeblik Bagian Aceh (ORIBA). Ada pula Oeang Repoeblik Indonesia Nias (ORIN), Kurs antara uang-uang tersebut tidak menentu dikarenakan harga-harga barang semakin tinggi,sedangkan perdagangan tidak dapat berjalan lagi akibat tidak menentunya perhubungan dan angkutan. Sementara itu, banyak pula beredar ORIPS palsu yang datang membanjir dari pedalaman Sumatera Timur, sehingga di Tapanuli uang itu tidak laku lagi.
Latar belakang dikeluarkannya uang tersebut adalah karena sulitnya perhubungan dengan Pemerintah Pusat sehingga untuk menjalankan roda pemerintahan terpaksa diambil jalan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setelah Agresi Militer I dimana Pemerintah Provinsi Sumatera mengungsi dari Pematang Siantar ke Bukit Tinggi. Perpindahan ini membuat percetakan dan persediaan ORIPS berantakan karena Pematang Siantar telah diduduki musuh. Akibatnya Pemerintah Provinsi tidak mampu lagi memasok persediaan uang untuk belanja pemerintahan karesidenan. Menghadapi situasi yang tidak menentu itu, maka karesidenan Tapanuli telah meminta persetujuan Gubernur agar diizinkan untuk mencetak uang sendiri bagi kebutuhan Tapanuli. Akhirnya, demi kelancaran ekonomi, Gubernur setuju dan memberikan kuasa sah untuk Tapanuli saja. Uang tersebut dinamai Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli atau disingkat ORITA.
ORITA adalah uang kertas yang kedua kalinya dicetak oleh Republik Sumatera setelah ORIPS. Residen Dr. Ferdinand Lumban Tobing meminta Bistok Siregar untuk mencetak uang bagi keperluan perekonomian di Tapanuli saat itu. Bistok yang saat itu menjadi Komandan Brigade Pasukan Ksatria dan sama sekali tidak tertarik akan bidang usaha percetakan. Akan tetapi, sebagai pewaris sekaligus pemilik percetakan yang diwariskan kepadanya, akhirnya menyetujui permintaan Residen tersebut. Bistok menganggap hal tersebut sebagai kegiatan untuk membantu perjuangan masa itu. Maka mulailah percetakan Philemon itu mencetak ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli). ORITA dicetak dengan pecahan Rp. 5, hingga Rp. 200. Pencetakan pertama berlangsung di Sibolga dengan penjagaan ketat dari Polisi. Kertas yang digunakan untuk mencetak adalah kertas HVS dengan menggunakan empat mesin cetak, sehingga ORITA hanya berupa uang kertas. Semua uang yang dicetak ditandatangani terlebih dahulu sebelum diedarkan.
Proses pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA)
Pencetakan pertama berlangsung di Sibolga dengan penjagaan ketat dari Polisi. Kertas yang digunakan untuk mencetak adalah kertas HVS dengan menggunakan empat mesin cetak, sehingga ORITA hanya berupa uang kertas. Oeang Tapanuli terdiri dari pecahan 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah, 50 rupiah, 100 rupiah dan 200 rupiah. Semua uang yang dicetak ditandatangani terlebih dahulu sebelum diedarkan. Berhubung situasi kota Sibolga lama kelamaan sudah tidak aman, maka diputuskanlah untuk memindahkan percetakan itu ke desa Sitahuis. Sitahuis berjarak 21 km dari Sibolga ke arah Tarutung yang disebut juga Sibolga II, dimana daerah Sitahuis telah dipersiapkan menjadi kota cadangan ibu kota Tapanuli, jika Sibolga (Sibolga I) diserang musuh. Untuk pencetakan ORITA tersebut, diangkutlah mesin cetak dari Percetakan Bin Arun Siregar yang ada di Sibolga ke Aek Sitahuis.
Oleh karena di zaman revolusi, maka masih banyak kekurangan, seperti kertas yang sederhana, tintanya pun bukan waterproof (tahan air), sehingga kadang-kadang setelah dicetak perlu dijemur agar cepat kering, karena yang membutuhkan uang tersebut sudah antri menunggu. Banyaknya uang yang dicetak tidak bebas, melainkan berdasarkan otoritas dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Karesidenan. Untuk pengawasan pengeluarannya, setiap lembar uang ORITA ditandatangani oleh seorang pejabat ke uangan yang ditunjuk oleh Residen. Terkhusus di wilayah karesidenan Tapanuli, dr.Ferdinan Lumban Tobing lah yang menandatanganinya.
Walaupun proses pencetakan dan pengeluaran ORITA sangat sederhana saja namun pada waktu itu tidak pernah ada yang berbuat curang atau korupsi. Semua pegawainya bersifat jujur dan bertanggung jawab karena atasannya (Residen) sangat jujur dan penuh tanggung jawab dan tidak pernah berbuat yang menguntungkan kepribadiannya atau keluarganya. Semuanya berjalan diatas rel kejujuran dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tercipta pemerintah yang bersih dan berwibawa.