Ekspresi dalam mengungkapkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain acapkali dikenakan hukum tertentu. Pengungkapan karakter tertentu menimbulkan perspektif multitafsir bagi sebagian orang. Esensi yang pada mulanya ialah pada tujuan bukan pada tampilan atau sesuatu yang tampak. Hal ini bisa menjadi pertanyaan awal; apakah karakter mewakili rasa atau sikap sebaliknya apakah rasa atau sipak terwakilkan dengan karakter yang kadangkala bisa dimanipulasi. Beranjak dari pelbagai dominasi masyarakat akan tafsiran bahwa keterwakilan tampilan mampu melihat isi. Dalam hal ini tampilan karakter manusia tertentu belum bisa mewakili bagaimana pandangan dan sikapnya yang sesungguhnya.
Dalam konteks tertentu dikenal pada era modern yakni hukum. Pada awalnya sekumpulan orang yang hidup bersama dan menjalani kehidupan punya kebiasaan tertentu, pada wilayah yang lain terdapat pula sekumpulan orang dengan kebiasaan tertentu. Pada hal satu hal sekumpulan orang akan menganggap ini sesuatu yang dilarang namun pada sekumpulan yang lain ini adalah hal yang lumrah. Kita menyebutnya dengan budaya atau adat. Lalu pada hukum yang saat ini bisa dikatakan menjadi wilayah pemerintah atau negara semakin hari juga mengalami perkembangan. Pada negara tertentu suatu tindakan boleh namun di negara lain hal itu legal bahkan dianggap lumrah. Hal ini perlu menjadi diskursus yang mendalam tentang mengapa dan bagaimana ini terjadi.
Jika ditelisik aturan yang telah lama berkembang baik pada masyarakat primitif hingga era modern saat ini, setidaknya pengaruh agama(Religion) dan Kekuasaan (Government Power). Implikasi dari dua hal ini melahirkan aturan yang seringkali sejalan namun juga tak menutup kemungkinan saling berlawanan. Agama yang melahirkan berbagai ajaran dengan tujuan meraih surga yang berisi ketenangan dan kedamaian seperti yang ditulis dalam kitab samawi. Namun aturan yang dibuat oleh kekuasaan tidak jarang hanya ambisi dan egoisme sang penguasa yang menginginkan semua akan tunduk padanya.
Dalam buku Il Principe (Sang Pangeran) yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli menegaskan setidaknya penguasa pernah berbuat kezaliman satu kali dalam kekuasaan nya yaitu untuk membuatnya berkuasa lalu ia akan bersahabat dengan rakyatnya untuk meminta simpati rakyatnya agar berkuasa tanpa ada gangguan dan kritikan. Hal ini yang dimaksud dengan interpretasi semu betapa rakyat menilai akan kebaikan sang penguasa namun itu hanya manipulasi yang manis didepan rakyat. Lalu apa hubungan agama dan kekuasaan dalam perkembangan moralitas saat ini? dalam buku yang ditulis oleh peter kropotkin yang berjudul Ilmu Pengetahuan Modern dan anarkisme ia memaparkan ajaran agama telah menyusupkan ilusi tentang dosa asal kedalam ilmu pengetahuan modern. Dalam catatan sejarah samawi manusia diciptakan dan memakan buah terlarang lalu dilemparkan ke bumi membawa dosa dalam istilah Erich Fromm, buah pengetahuan. Krokopotkin melanjutkan adam dan hawa tidak membawa dosa tersebut namun dosa itu diteruskan oleh keturunannya yang kemudian hari menyimpang dari ajaran yang lurus maka Tuhan mengirimkan utusan yang disebut Nabi.
Risalah Nabi yang dibawa juga acapkali dilawan bahkan diselewengkan oleh manusia zaman itu maka catatan kitab samawi meriwayatkan banyak kaum yang diazab tuhan karena penyimpangan yang mereka lakukan. Perluasan konsep dosa dalam agama lalu dilegitimasi oleh otoritas negara. Dosa asal itu bertransformasi dalam bentuk kekacauan sosial(Teori Thomas Hobbes dan Rousseau). Manusia yang hidup dengan belenggu kekacauan tanpa keteraturan maka harus ada penunjuk jalan atau pemberi risalah kebenaran. Dimensi kekacauan ialah manusia dalam ajaran agama dan kehadiran orang pintar dan bijak ialah keberadaan Nabi. Replika ini dapat ditemui dalam teori Comte dan Spencer yang mendominasikan moralitas agama berasal dari agama. Pada keterangan Comte menafikan jika moralitas berasal dari agama namun ia hadir dan berkembang pada masyarakat primitif, masyarakat kolektif, dan masyarakat yang saling mendukung dan saling bekerja sama. Maka H.Spencer menyimpulkan hal itu dapat diakomodir dengan kehadiran otoritas negara. Maka kropotkin menegaskan bahwa ilmu pengetahuan telah diracuni oleh dua hal yang sebenarnya juga acapkali disalahgunakan oleh manusia sebagai peletak aturan yang dianggap baku. Dalam tulisannya ia menyimpulkan harus ada satu hal yang tidak boleh terjadi yakni saling menipu.
Ekspansi negara sebagai pemegang kuasa tertinggi memiliki hak yang sangat luas bahkan agama pun tak punya kuasa untuk menghentikan tindakan yang bahkan mengancam keberlangsungan hidup manusia. Determinasi negara akan berkembang bahkan melampaui ruang agama yang memiliki orientasi kedamaian hadir diantara umat manusia. Sebagai pemegang kuasa negara akan menghadirkan ketakutan, kekacauan, dan kebingungan hingga mereka sendiri yang seolah-olah pahlawan dalam memberantas kekacauan. Praktek yang selalu muncul sejak era manusia primitif hingga manusia modern manipulasi dalam balutan yang lebih elegan. Kontaminasi manusia serakah yang membuat negara seolah berjalan dengan menindas rakyat kecil. Pada hakikatnya negara akan mengayomi seluruh rakyat dibawah naungannya dengan adil dan sejahtera. Implikasi dekadensi moral personal merambah menjadi kultur otoritas yang terpaksa masuk kedalam sistem yang berinovasi setiap regenerasi.
Pelbagai hal yang sifatnya sistemik akan sulit mendapatkan jalan keluar namun tidak jalan penerangan akan menemukan celahnya dalam pepatah prancis yang telah diterjemahkan mengatakan meskipun kejahatan berjalan secepat kilat kebenaran akan menemukan jalannya. Kejahatan yang berjalan tanpa pernah putus setiap generasi merupakan tantangan bagi mereka yang mencoba melawan arus namun bukan berarti kejahatan tidak bisa ditumpas. Bagi negara yang sistemik merupakan ilegal setiap tindakan yang merugikan negara dan rakyat, namun selalu dibangun narasi yang seolah-olah logis dan menunjukkan fakta yang seolah-olah valid padahal semua hanya untuk pembenaran tindakan ilegal yang dipertontonkan. Setiap tindakan merampok kekayaan negara, merampas hak masyarakat, membunuh tanpa alasan yang jelas rakyat kecil, memanipulasi narasi semua tindakan itu masih terus terjadi dan dengan bangga otoritas negara menampilkan itu sebagai kemajuan.
Hal ini telah lama menjadi kekhawatiran Comte dan H. Spencer, bahwa kekuasaan akan menjadi sangat brutal dengan rakyatnya sendiri dengan narasi seolah ia yang lebih baik dari yang sebelumnya. Pengentasan moralitas yang terstruktur dan masif kotor ini bukan kesalahan yang harus pasrah dan diterima. Kekuatan masyarakat sebagai pemilik otorita secara berdaulat bisa membuat sistem tunduk dengan cepat. Maka kita mengenalnya dengan revolusi. Kemarahan masyarakat akan menjadi kekuatan dalam membuat ketakutan yang tiada duanya meruntuhkan kebengisan otorita negara. lalu bagaimana dengan agama yang sejak awal hadir sebagai pembawa risalah kebenaran. Dimensi agama agama akan hadir sesuai realita yang terjadi penafsiran agama melahirkan aliran atau poros-poros tertentu dalam mewujudkan sistem yang seperti apa dalam mengembangkan negara lebih baik. Agama sebagai sentral kadang kala juga melahirkan moralitas jauh berbeda dari kondisi tertentu. Tidak menutup kemungkinan akan inovasi yang menyatukan prinsip-prinsip kebersamaan dan kekuatan. Moralitas yang multi interpretasi seyogyanya disatukan oleh kesatuan rasa dan kekuatan bukan melahirkan dikotomi dan memarginalkan suatu kelompok yang memunculkan kebencian baru dan begitu seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H