Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Aku, Si Mata Pena

Diperbarui: 26 April 2019   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kutatap nanap jejak-jejak waktu
yang merayap seolah mendatangiku
dengan langkah diamnya. Kusendeng telinga menelisik guratan angin sayup membisik tuk pengaruhi batin

Jangan lagi... Jangan lagi kau datang
hari silam. Cukuplah dulu kita ada berjalan seiringan dengan decak kekaguman. Karena sekarang aku mau beda dengan dulu aku ada bersamamu.

Jangan kau ingatkan aku tentang nurani,
nilai, atau norma. Karena saat ini aku hanya berhasrat mendengar tentang cinta, kasih,
dan damai dengan semua hasrat yang
menyelimutiku.

Saat ini, kuharap kau biarkan aku mereguk
dan resapi detak dan degup pada jantungku
merindu ku menatap indahnya untaian kata puisi bukan saja di bibir tetapi di ujung mata pena.

Akulah si mata pena. Akulah sejatinya
untaian kata itu dalam jiwa yang tak kan
tergugat kuasa mana pun untuk
menorehkannya karena dia datang sembari membatin.

Untaian kata yang tidak mengenal
batas ruang dan waktu untuknya
menyapa. Dan, aku akan melepaskanmu
hari lalu, melepaskanmu, tanpa sedikitpun
ada rasa sesal.

#mediopebruari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline