Lihat ke Halaman Asli

Ubud Writers and Readers Festival: Catatan Harian tahun 2008

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya, bagi saya, slogan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang mengutip endorsemen dari Harper’s Bazaar atas perhelatan acara sastra tahunan ini, terdengar berlebihan. Namun, slogan yang berbunyi “among the top 6 literary festival in the world” dengan sendirinya menyuntik perasaan saya untuk patut bersuka cita. Pasalnya, saya akan datang ke salah satu acara sastra terbaik di dunia untuk membacakan puisi-puisi saya.

Jauh hari sebelum berangkat, saya cari tahu, apa itu UWRF. Hanya sedikit yang saya peroleh dari media dibandingkan (setelah saya tahu kemudian) dengan gebyar acaranya. Hal itu disebabkan, mungkin, karena festival ini baru kali kelima dilaksanakan. Beruntung, ada dua orang Kadek (Kadek Krishna Adidharma dan Kadek Purnami) yang meskipun mereka berdua benar-benar luar biasa sibuk, namun tetap selalu memberikan jawaban atas pertanyaan “ini-itu” saya guna mencari tahu.

Saya kira, meskipun ‘festival Ubud’ ini tidak dilabeli kata-kata “international”, seperti halnya International Literature Festival Winternachten di Den Haag (Belanda) maupun Berlin International Literature Festival di Berlin (Jerman), prestise-nya festival sastra Ubud (UWRF) sebagai festival sastra tingkat dunia telah diperhitungkan oleh beberapa media dan pengamat sastra, antara lain oleh Harper’s Bazaar itu. Secara secara sederhana, reputasi itu dapat ditilik dari data para pembicara yang mencakup berbagai kawasan; Meksiko, Australia, Pilipina, Malaysia, Amerika, Mesir, Canada, India, Singapura, Skotlandia, Cina, Hongkong, Pakistan, Selandia Baru, Irlandia, Belanda, Austria, Jerman, Irak, Timor-Leste, Hungaria, Kenya, Nigeria, Afrika Selatan, Yordania, serta beberapa negera lain. Atau, dengan melihat nama-nama besar pembicara di festival ini, seperti Vikram Seth (India) dan Bahaa Taher (Mesir), Camilla Gibb (Kanada), serta penulis-penulis undangan lain yang umumnya telah pernah diundang hadir dalam beragam festival-festival sastra internasional, kita menyetujui ‘selera internasional’ festival ini. Secara umum, festival ini dihadiri oleh masyarakat dari berbagai ras dan suku bangsa dari berbagai pelosok dunia.

Itulah sedikit catatan saya tentang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang saya hadiri, tahun 2008. Jika Anda mau lebih lengkap, silakan dibaca lanjutan catatan harian saya di bawah ini. Kalau Anda sibuk dan tidak sempat, dipersilakan untuk berpindah tempat, mencari sumber bacaan lain yang lebih nikmat.

Selasa, 14 Oktober 2008

Malamnya, saya numpang tidur di rumah sepupu dari Ibu, di komplek perumahan IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Pagi Selasa, 14 Oktober 2008, barulah saya bertolak setelah Mashuri (penulis “Hubbu”, juara Sayembara Novel DKJ) menjemput saya dengan sepeda motor barunya. Kami bergerak menuju Terminal Purabaya. O, ya, dia lupa tidak membawa dua helm (maaf, ya, pak polisi), saat itu jadinya saya terpaksa cuma pakai peci hitam andalan sebagai gantinya. Tiba di sana, tak perlu menunggu lama, bis kota DAMRI angkutan ke bandara telah membawa kami pergi.

Tiba di bandar udara Juanda, kami segera mengambil tiket pesanan panitia UWRF. Diperoleh informasi: penerbangan pukul 10.20 dengan pesawat GA-342. Tapi, eh, menjelang pukul 9.30, terdengar pengumuman. “Penerbangan ditunda ke pukul 12.00 WIB.” Hari itu adalah hari ultah TNI. Angkasa Surabaya dan sekitarnya disucihamakan dari segala macam bentuk penerbangan! Terpaksa, kami membunuh rasa bosan itu dengan membeli kopi.

Setelah berangkat pada jam yang telah ditentukan, sekitar 40-an menit kemudian, tibalah kami di Ngurah Rai, Denpasar. Bandara ini dekat laut. Jadi, saat pesawat diumumkan akan landing, saya sempat melihat ke bawah melalui jendela, dan, tampak bentangan biru yang bergeriap oleh riak ombak. Perlu diingat, ini adalah penerbangan saya yang pertama.

Kami turun, menyusuri koridor. Belum sempat kontak dengan panita, ternyata kami lantas tahu kalau beberapa orang relawan (volunteer) dan panitia (dicirikan kaos berlogo UWRF, lengkap dengan atribut ke-Bali-an) telah menyambut kami di sana. Mereka membawa secarik kertas bertulis nama-nama. Tak ragu lagi, nama saya ada di situ.

Tahu disambut seperti itu, ransel hendak dibawakan, jalan siap ditunjukkan, sedikit belagu artis, saya pun lempar-lempar senyum gratis untuk orang-orang yang ada di sekitar, menuju taman parkir. Aku menolak. “Saya orang biasa, Bli!. Saya bisa membawa tas ini sendiri. Terima kasih.”

Sebuah mobil mengangkut kami bertiga: saya, Mashuri, dan Farid Ibrahim (suami dari Lily Yulianto Farid yang akan kami kenal kemudian) bergerak menuju Ubud. Kami tidak banyak mengobrol karena capek. Mobil bergerak sedang, sekitar 50-60 KM/jam.

Memasuki kawasan Ubud, yang tidak pernah saya ketahui suasananya sebelum itu, udara mulai terasa dingin. Sopir mengantar Pak Farid menuju penginapannya, lalu giliran kami diantarnya ke Sri Ratih Cottages, di daerah Panestanan, persis di selatan museum pelukis terkenal Antonio Blanco. Di sana, rupanya, kami berdua ternyata satu penginapan dengan Iyut Fitra (Sumatera Barat) dan Azhari (Aceh).

Masih di hari yang sama, pukul 17:30, atas perintah kordinator program Indonesia UWRF, Kadek Krishna Adidharma, kami berangkat menuju Four Seasons untuk mengikuti acara pembukaan. Resor yang konon memakan waktu 6 tahun hanya untuk penelitian kontur tanahnya saja ini terbilang hotel yang aneh. Lantai dasarnya ada di bawah tebing. Para tamu masuk dari atas. Dengan begitu, kalau kita mau ke kamar, kita log-in dari lantai paling atas.

Acara opening ceremony (pembukaan) ini ditempatkan di lantai teratas, sebuah venue berbentuk taman berbunga teratai. Kanan-kirinya berhias lilin. Pramuwisma menjajakan makanan kecil dan minuman sesuai selera, diiringi penabuh gamelan yang bertugas sebagai musik latar. Tak ada kopi di sini.

Pembukaan dimulai: pembacaan puisi. Untuk sesi ini, ada empat orang yang akan membacakan karya-karyanya. Saya dan Iyut Fitra (dari Indonesia), Sharanya Manivannan (India), dan Muniam Alfaker (Irak, kini mukim di Denmark). Saya membacakan dua puisi; Di Bumi, tak Ada Lagi Rahasia dan Namaku Malam. Versi Inggrisnya, “No More Secret on Earth” dan “My Name is Night”, dibacakan oleh Sharanya Manivannan. Penyair ini juga membacakan puisi versi Inggris “Soldier”, terjemahan dari “Al-Jundu”, karya Muniam Alfaker yang sebelumnya ia bacakan sendiri dalam versi aslinya, berbahasa Arab. Setelah pembacaan puisi selesai, barulah URWF secara resmi dibuka dengan upacara singkat saja.

Sesudah itu, para penulis berangkat menuju The Mansion, sebuah resor-hotel yang tak kalah megah. Di sanalah kami menikmati makan malam. Sambil duduk di sudut temaran dekat kolam, saya berpikir. “Apa sajakah yang terpikir dalam benak pikiran orang-orang yang ada di sini, malam ini?”. Mendadak saya ingat suasana kuliner khas syarwah, sayur labu berkuah santan. Saya ibuku, keluargaku.

Segera saya menelepon mereka, bergiliran, sambil menjelaskan suasana di sini, sedetil mungkin. Mereka pun kagum, bercampur heran. Namun, tidak pernah saya ceritakan pada mereka bahwa perut saya belum akrab dengan menu makan di malam ini, makanan yang namanya saja jelas sulit mereka ucapkan. Terhitung sejak tadi siang, hanya jus nenas yang masuk ke perut karena minuman yang ada selain itu adalah wine yang jelas tak mungkin saya minum karena “kullu muskirin, harom”.

Rabu, 15 Oktober 2008

Sore sebelumnya, saya menelepon seorang tetangga desa yang telah lama tinggal di Bali. Saya minta jadwal sholat dan kemudian mencatatnya dalam reminder. Sebab, dari Sri Ratih, tempat saya menginap, sepekan lamanya tinggal di sana, sekali pun saya tidak mendengar suara adzan. Tanda sholat hanya diingatkan oleh sebuah ponsel lawas, Nokia 6310i.

Pagi ini cerah sekali. Menyeruput segelas kopi, sarapan, duduk dan berandai mandi di kolam, adalah bagian dari menu di hari kedua. Tapi, perasan ada yang berubah pada suhu badan saya, demam. Saya tahan dan memilih mandi di dalam kamar, air hangat di pancuran (mau mandi di kolam, sayang, saya tidak membawa celana pendek; masa mandi pakai sarung? Ah, dasar udik).

Setelah mandi air hangat dan berkemas, saya sempatkan sholat dluha. Saya memanjatklan doa. Dari luar, dari pintu yang terkuatk, udara dingin dan wangi harum bunga sesaji yang diganti setiap hari oleh petugas hotel, menyeruak ke dalam kamar karena AC sengaja dimatikan. Saya rasakan, beribadah di tempat yang suasana religinya sama sekali berbeda dengan kita itu ternyata memantik sensasi heroik, atau hiunamun, atau tidak sama sekali.

Jam 9 pagi, kami dan beberapa penulis Indonesia yang lain, berkumpul di resor Alila, di Sayan. Pagi ini sesi konferensi pers. Di sana, kami berdiskusi tentang kemungkinan-kemungkinan memperkenalkan sastra Indonesia ke khalayak dunia. Jalan yang paling mungkin dilakukan untuk saat ini adalah menggalakkan penerjemahan karya (meskipun banyak penulis Jerman dan Perancis yang saya tahu tidak kompromi dengan cara ini; hanya mau menulis dalam bahasa ibu mereka). Langkah ini, hingga kini, terus-menerus dilakukan oleh pihak UWRF. Bersama Ahmad Tohari selaku ketua dewan kurator UWRF 2008, Sharanya Manivannan, Ayu Utami, Maria Van Daalen, Triwiyanto Triwikromo, Mashuri, Iyut Fitra, dan Dino Umahuk, Kadek Krishna memandu diskusi dengan santai sekali.

Rehat kopi, saya manfaatkan untuk duduk malas di teras ruangan, sebuah lobi hotel, mirip mulut gua dari batu (bayangkan zaman The Flinstones, zaman batu yang canggih). Letaknya persis di bibir kolam, berbatas langsung dengan jurang yang dalam dengan sungai deras untuk arung jeram di bawah sana. Dingin dan pahit kopi ini membuat sebuah perimbangan yang menarik. Sambil melihat pemandangan sekitar, ke arah kejauhan, sungguh, saya tertegun: tempat ini benar-benar cantik tanpa kosmetik.

Sayangnya, saat pulang dari Alila, badan saya semakin capek. Saya segera menghubungi Parto, tetangga desa yang saya ceritakan di atas. agar menjemput dan membawa saya ke kontrakannya, di Denpasar Selatan. Saya ingin istirahat di luar hotel. Apakah cuaca di sini kurang bersahabat atau karena saya kurang sehat?

Dengan ikut Parto, ada beberapa kegiatan yang tidak saya ikuti, antara lain adalah Malam Penghormatan Kepada Sutan Takdir Alisjahbana di Pura Dalem (jam 19.30). Pada jam itu, saya masih terbaring lelah di kontrakannya. Panas soto ayam belum pula bisa mengobati rasa dingin. Saya segera tidur agar tidak semakin kecapekan, tentu setelah lebih dahulu kerokan.

Kamis, 16 Oktober 2008

Pagi sekali saya bangun. Tidur lelap membuat tubuh jadi enteng, lebih mendingan sekarang. Setelah sarapan dan ngobrol sebentar, saya diantar Parto mencari alamat yang mesti dituju: Balai Bahasa Denpasar. Setelah tanya sana tanya sini, ancer-ancer ditemukan. Kami meluncur ke sana dengan Daihatsu Xenia-nya.

Di balai bahasa, Mashuri, Dino Umahuk, Azhari, Lily, dan Faisal Tehrani, sudah menunggu. Mereka mengisi sesi acara untuk umum dengan peserta siswa-siswa SLTA. Memang, UWFR melibatkan banyak elemen masyarakat dalam setiap acaranya. Di tempat berbeda, berlangsung pula sesi diskuis bersama Baha Taheer, salah seorang novelis Mesir terkemuka saat ini. Sayang, karena acara di Denpasar berlangsung hingga siang, saya melewatilah acara itu.

Setelah acara mereka selesai, saya nunut rombongan mereka kembali ke Ubud dengan mobil panitia. Di atas kendaraan, kami sempat berbincang tentang karya masing-masing. Lily Yulianti memberi kami semua dengan hadiah bukunya, “Makkunrai” dan “Masmura”. Dia adalah seorang cerpenis, bekerja di radio Jepang, NHK, di Tokyo. Kami bertukar pengalaman, satu sama lain, seraya membicarakan karya dan proses kreatif.

Tiba di Ubud, saya menuju penginapan, istirahat sebentar, berangkat lagi ke HSBC Lounge untuk sisi baca puisi di Poets Corner. Pembicara pada sesi ini adalah Martin Jankowski, Iyut Fitra, Dino Umahuk, dan saya sendiri. Acara berjalan seperti biasa, seperti acara-acara diskusi buku atau baca puisi yang biasa saya ikuti. Bedanya, baru kali ini saya mengalami banyak bule minta tanda tangaku saya.

Acara yang padat, dan biasanya berbarengan satu dan lainnya di tempat terpisah, membuat kita harus pandai memilih, acara mana yang akan diikuti. Selesai acara Poets Corner, saya pun memilih sesi berikutnya, bersama Azhari dan Dyah Merta. Mereka berdua berbicara tentang ketercerabutan akar tradisi dalam penulisan karya.

Malam itu malam Jumat. Rencananya saya hendak menjumpai Pak Ahmad Tohari. Kami bertiga (Iyut, Dino, dan juga Mashuri) berembuk dan  berangkat bersama ke Monkey Forest, tempat beliau menginap. Ketika saya telepon, beliau meminta kunjungan besok pagi saja karena alasan kurang sehat. Segera putar arah sepeda motor matic sewaan kami ke Warung Opera untuk menyaksikan acara Extravaganza Pertunjukan Puisi yang dipandu langsung oleh Benito di Fonzo.

Acara ‘hiburan sastra’ ini menampilkan Cesare Syjuco, Tug Dumbly, Sharanya Manivannan, dan Edwina Blush. Nama terakhir yang paling menarik perhatian saya. Blush melagukan puisi dengan cengkok jazz: suatu hal yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Suara berat membuatnya seolah-olah dia sedang solo vokal (mawal) dalam sebuah pentas jazz yang elegan. Dengan memilih nonton ini, pada jam yang sama, 19: 30, kami harus rela kehilangan acara Kabaret Penulis bersama Reda Gaudiamo, si pelantun puisi “Aku Ingin”-nya Sapardi Djoko Damono.

Jumat, 17 Oktober 2008

Pagi sekali, saat udara dingin, saat orang-orang masih bermalas-malasan di tempat tidur, saya air hangat: sebuah aktivitas yang kalau di rumah biasanya saya “nikmati” di kala sakit. Bergaya penyewa hotel yang kelebihan duit, saya duduk di bawah payungan berteman secangkir kopi. Sesudahnya, saya menyiapkan diri untuk bergegas ke Monkey Forest, mengukuhkan rencana semalam, bertemu Ahmad Tohari. Saya mengajak Mashuri ikut serta. Sayang rupanya, dia masih ingin telentang di atas kasur empuk hotel, ikut-ikutan sok kaya.

Sebelum berjumpa Pak Tohari, saya ketemu Ibu Debra. Kami bicara sebentar. Dia juga ingin ketemu Pak Ahmad Tohari. Rupanya, status kami sama, menunggu. Pak Ahmad, kata dia, sedang bicara serius dengan beberapa orang dari penerbit Grasindo.

Hari itu saya bertemu Pak Tohari. Asyiklah obrolannya. Beliau memperkenalkan saya pada Tan Lio Ie, penyiar senior Bali, juga J.B. Sudarmanto dari Grasindo. Padahal, Pak Tohari juga baru saling kenal dengan saya. Meskipun tempat itu dekat taman dan kolam renang, perbincangan terasa hangat. Dan, sekitar setengah jam lamanya, saya pun minta izin kembali ke kamar hotel untuk mengikuti acara harian di lokasi utama, yaitu di HSBC Lounge dan Indus Restaurant.

Ada sesuatu yang aneh saya rasa. Entah mengapa, mendadak saya merasa capek dan malas beraktivitas. Tak betah mengikuti acara, saya pun balik punggung, kembali ke kamar dan tidur. Tak ada TOA, tak ada suara, pulas, membuat saya khilaf kalau di hari itu saya punya kewajiban untuk shalat Jumat, sialan.

Sorenya, saya kembali ke HSBC, mengikuti diskusi dengan Camilla Gibb dan Ayu Utami sebagai pembicara. Gibb merupakan penulis buku laris, “Lily” (diterbitkan Mizan, diterjemahkan dari “Sweetness in the Belly”). Orange Prize (Inggris) memberi endorsemen tentang penulis ini begini: “merupakan satu dari 21 penulis yang mesti dicermati abad ini”. Ayu Utami adalah novelis Indonesia yang karyanya, terutama Saman, banyak mencuri perhatian publik sastra tanah air untuk membicarakannya.

Malam Sabtu, bersama beberapa penulis UWRF yang lain, saya mendapatkan kesempatan baik, yaitu diundang makan malam di rumah Ronald Stones OBE. Bapak ini adalah direkutur USP-SF (Sampoerna Foundation). Makan malam ditempatkan di halaman, di bawah langit, di pelataran rumahnya yang luas. Dua kolam renang, beberapa bangunan lagi (mirip ruang pamer), lalu ada semacam pendopo, cukup menjadi bukti bahwa orang ini kaya sekali. Di sana saya berkesempatan kenal dengan Shamini Flint dan Imran Ahmad. Hanya saya dan Lily saja yang dari Indonesia.

Sepulang dari sana, kami dinatar ke hotel masing-masing. Tapi, saya segera mengatur jadwal lagi, putar haluan ke Bantingan Puisi (Poetry Slam) di restoran Bebek Bengil (Dirty Duck). Acara yang bertema “The Better Read Than Dead Poetry Slam” ini merupakan acara lomba baca puisi paling aneh dan paling nyentrik yang pernah saya lihat.

Pemandunya Tug Dumbly, seorang poet performance dari Australia. Gayanya eksentrik. Peserta diminta maju ke depan dan membaca puisi, tentu dengan gaya bermacam-macam, yang unik. Kepiawaannya memandu acara membuat suasana sangat akrab. Ia mempu menjembatani perbedaan ras, bangsa, dan bahasa, di antara semua peserta.

Sabtu, 18 Oktober 2008

Pagi berlalu seperti biasa. Udara segar dan sinar matahari cerah. Warna air kolam pun serasa bertambah biru dan jernih, menggoda saya untuk mandi di sana, berjemur sambil baca buku: walah! Tapi, saya pilih bermalas-malasan di kamar saja, hingga siang. Yah, saya menikmati pagi hari Sabtu ini tanpa satu pun acara sastra. Puas-puasin diri, begitu pikir saya. Maklum, sehari lagi, saya bakal hengkang dari kamar bertarif  $45 per malam ini.

Baru pukul 1 siang (WITA) saya keluar kamar untuk mengikuti acara “Gado-Gado Budaya”, itupun karena penyajinya kebetulan teman sekamar, Mashuri. Saya absen hadir, setor muka. Acara berlangsung dengan pemandu Kadek Krishna Adidharma, seperti biasa.

Setelah acara ini, berikut banyak acara berturut-turut: temu tiga penulis Indonesia yang berkisah tentang ketersampingan; Naldo Rei dari Timor, Andrea Hirata mewakili latar Belitung, dan Triwiyanto Triwikroro sebagai perekam jejaknya, jurnalis. Lanjutannya adalah diskusi sastra dalam perspektif kerumahtanggaan. Hadir di acara ini Camilla Gibb dan Lily Yulianti Farid dengan Debra H. Yatim sebagai moderatornya.

Sebetulnya, siang itu, ada juga acara yang tak kalah menarik, yaitu “HSBC and Four Seasons Literay Lunch: A Suitable Boy with Vikram Seth”. Yang memberatkan kaki untuk melangkah ke sana adalah karena adanya syarat merogoh Rp. 700.000 untuk makan siang bersama si Vikram ini. Tentu, uang makan ini terlalu mahal bagi saya yang tidak membawa sangu lebih selain uang saku dari panitia.

Malam hari, malam Minggu, lagi-lagi saya mendapatkan kesempatan membacakan puisi di Jalan Goutama, tepatnya di “Warung Dewa”. Jalan Goutama merupakan gang sempit yang disulap menjadi ajang karnaval. Suasananya mendadak  meriah, penuh lampu/lampion aneka warna. Para pengunjung, penulis, penduduk, berbaur menjadi satu untuk memeriahkan acara.

Malam itu, saya sempat bertemu dengan seorang sastrawan Jerman, Martin Jankowski. Kami membicarakan puisi. Dia sempat mengomentari puisi saya. Menurutnya, tema langit malam pada puisi-puisi saya adalah satu hal yang membuatnya istimewa. Tentu, saya senang pada komentar dia mengingat hal itu muncul dari dirinya sendiri, tanpa saya minta. Martin lalu bercerita tentang Berlin International Poetry Festival. Dia menghibur saya agar punya kesempatan untuk hadiran di sana. Wah, kapan, ya?

Hari mulai malam. Udara kian dingin. Suasana hiruk pikuk pun perlahan berkurang. Sebelum pulang, saya bergabung bersama Dino Umahuk dan Iyut Fitra di sebuah kedai (waduh, lupa namanya). Sebelum  malam benar-benar melarut, kami segera pulang karena punya kencan dengan Hammad Riyadi yang saat itu tinggal di Bali. Akhirnya, saya, Hammad dan seorang kawannya, juga Dino, Iyut, dan Mashuri, menghabiskan separuh malam itu di hotel saja.

Ahad, 19 Oktober 2008

Pagi ini adalah hari kegiatan terakhir. Pagi ini pula, keinginan pulang ke rumah mulai berlipat. Apakah terasa lama? Tidak juga. Hanya saja, segala momen menjelang akhir itu biasanya selalu menegangkan, atau mengesankan, mirip injury time dalam pertandingan sepak bola. Makanya, diskusi bersama Bahaa Taheer, Lijia Zhang, Muniam Alfaker bertema “Empowering the People” maupun acara berikutnya, “Pluralisme dan Toleransi Beragama” bersama Anand Krishna, M. Guntur Romli—selaku korban kekerasan Tragedi Monas Juni 2008—serta Sadanand Dhume pun saya ikuti sewajarnya, kurang semangat lebih tepatnya. Demikian pula, meskipun kurang bersemangat, saya paksakan diri untuk mengikuti acara di siang menjelang sore hari, yaitu Emerald from Equator atau “Seuntai Zamrud Khatulistiwa” di HSBC Lounge yang menampilkan Mashuri, Azhari, Lily Yulianti Farid, Madeleine Lee, dan Bernice Chauly.

Acara selanjutnya adalah diskusi bersama “penulis Indonesia”. Hadir di acara ini: Ahmad Tohari, Linda Christanty, Ellen (dari HIVos), Reda Gaudiamo, Butet Manurung, Ayu Utami, Triyanto Triwikromo, Melani Budianta, Dewi Ria Utari, Azhari, Guntur Romli, Dyah Merta, saya sendiri aku sendiri, Mashuri, Andrea Hirata, Iyut Fitra, Lily Yulianti Farid, Dino Umahuk, Abe Barreto Soares (Timor-Leste), John dari Irian, Warih Wisatsana, Pam Allen, dan Tom Hunter.

Rapat Evaluasi UWRF ini dipimpin oleh Kadek Krishna Adidharma. Dia menyampaiakan sejumlah pengumuman tentang rencana-rencana UWRF tahun depan, terutama tentang proses seleksi penulis-penulis Indonesia, serta niat untuk membuat sejumlah acara satelit di beberapa kota di Indonesia. Para peserta diminta memberi masukan. Diskusi berlangsung santai dan senang. Para peserta saling lempar gagasan.

Salah satu acara yang masuk dalam agenda adalah satu sesi bersama Sharnaya Manivannan dan Tishani Doshi, si penulis-penari dari India. Maunya, saya ingin memperkenalkan sesuatu, yaitu “pencak silat sambil berpuisi” kepada dia. Saya menunggu, eh, ternyata acara satu ini dimajukan ke jam 11 pagi. Dug. Kecewa tentu, bagaiaman mungkin jauh-jauh hari sudah bersiap hadir, eh ternyata kasep juga. Sial ini namanya. Pasalnya, perubahan acara ini sebetulnya telah diumumkan di pintu masuk HSBC Lounge dan ditulis tebal-tebal. Sayang, pengumuman itu luput dari perhatian.

Seusai acara, sambil menunggu Maghrib, kami habiskan waktu dengan ngopi di Indus, bersama Guntur, Dino, Nong, dan Iyut Fitra. Kami menikmati pemandangan indah yang indah: jurang yang dalam, ngarai; dan jauh di sana, terbentang ladang menghampar. Pemandangannya serasa gambar-gambar di dalam almanak, atau pemadangan dengan cita rasa sekelas wallpaper desktop lah. Konon, harga tanah di sini sangat ditentukan bukan karena dekat jalan utama, melainkan karena view-nya, karena pemandangannya itu.

Malam Senin adalah acara penutupan. Acara closing ceremony ini diletakakan persis di belakang penginapan saya, di Panestanan. Tempatnya di sebuah museum lukisan yang sangat terkenal, “Antonio Blanco Renaissance Museum”. Acara berlangsung sangat meriah. Si empunya gawe, Janet de Neefe dan Made Suwanda dari Yayasan Saraswati, hadir. Itulah saat kali pertama saya melihat mereka secara langsung setelah selama ini hanya tahu namanya saja. Mereka bicara sedikit, menyampaikan terima kasih dan penghargaan untuk panitia, sukarelawan, para peserta.

Perhelatan besar Ubud Writers and Readers Festival yang menghabiskan waktu 7 hari ini dipungkasi oleh makan malam, tarian, musik, dan ucapan selamat jalan. Panita mengungkapkan kebahagiaannya karena telah berhasil menggelar kurang lebih 200-an acara pada empat puluhan venue (lokasi acara) hanya dalam waktu efektif 5 hari. Malam itu pula, kami para penulis-pembaca, saling berucap maaf, saling berterima kasih, saling bertukar alamat, dan saling mengucap selamat tinggal karena tahu, entah kapan lagi akan saling bertemu.

Senin, 20 Oktober 2008

Hari itu, saya pesan kopi teramat pagi. Maklum, saya bangun menjelang subuh, kira-kira pukul 05.00 WITA. Semua barang yang sudah saya kemasi sejak semalam, saya cek lagi, satu per satu. Tak ada aktivitas lain kecuali hanya menyiapkan diri untuk menenteng ransel, mengunci kamar, dan pergi dari Ubud setelah jam 7.30 nanti. Hanya itu yang terlintas di dalam pikiran.

Saya pesan nasi goreng untuk mengganjal perut. Tapi, pagi ini, sepertinya hambar sekali. Tak ada selera di meja makan dekat kolam itu. Saya nyalakan rokok, tidak ingin, hanya sekadar membunuh dingin. Aroma tembakau tidak berhasil menghalau keinginan, juga kenangan.

Pada jam yang ditentukan, saya dan Mashuri telah siap di lobby hotel, menyerahkan kunci kamar, berterima kasih pada petugas. Sementara itu, Iyut Fitra masih tergeletak di kamarnya. Jadwal penerbangannya siang hari. Lebih sedikit dari waktu yang disepakati, sebuah kijang LGX milik Ariawan Kadek datang untuk mengatarkan kami pulang, menuju Bandara Ngurah Rai.

Sayup-sayup, dalam ruang benak kepala saya, terdengar Don Henley melantunkan Hotel California, “You can check out any time you like, but you can never leave”. Di antara “house dan home”, di antara “check out” dan “leave”, di antara interval waktu “WITA dan WIB”, saya terus mencoba, merangkai-rangkai ingatan, untuk dijalin dalam sebuah cerita, cerita yang sepertinya tidak bakal selesai-selesai.

Hari itu, saya telah pergi meninggalkan Ubud. Saya tahu, beberapa keping ingatan tetaplah tertinggal di sana, lekat sekali. Saya, bahkan mungkin kami, kini telah pergi meninggalkan sebuah kenangan penuh khayalan, menuju rumah masing-masing, berhadapan satu-lawan-satu dengan kenyataaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline