Dua tahun yang lalu (2008), Garin Nugraha sempat menjadi salah satu pembedah buku “Merajut Ke-Indonesiaan Kita”, tulisan Sri Sultan Hamengku Buwono X, di Universitas Kristen Satya Wacana, bersama dengan Prof. Dr. Ir. Kutut Suwondo, M.S., Ivan Haris, dan Pdt. Broto Semedi.
Dalam paparannya, aku masih ingat Mas Garin pernah berkata sosok negarawan juga lahir dalam komunitas-komunitas, termasuk dari perguruan tinggi. Mereka hadir, salah satunya sebagai pengkritis terhadap kebijakan negara.
Salah satu syarat penting bagi negarawan dari dalam kampus adalah pemimpin yang transformatif. Lima kriteria transformatif yang penting menurutnya adalah transformasi birokrasi, nilai-nilai, intelektual, komunitas, dan mengelolaan konflik. Transformasi sangat layak untuk dikembangkan dalam kepemimpinan, karena pemimpin akan lebih mengerti apa yang rakyat inginkan.
Aku pikir kita telah kehilangan sosok seperti (Alm) Nurcholish Madjid, akademisi yang juga negarawan. Sosok yang menurutku sesuai dengan gambaran Mas Garin. Hingga hari ini, aku belum menemukan sosok sebagai penganti beliau.
(Mungkin) para akademisi kita terlalu sibuk dengan politik kampus atau masih berfikir memupuk kekayaan pribadi, atau masih sibuk berkompetisi mencari gelar dan kedudukan tinggi, ketimbang mengembangkan jiwa negarawanan.
Para mahasiswa dibiarkan semakin miskin teladan, namun semakin kaya dengan teladan “preman” jalanan. Para mahasiswa semakin miskin dengan cara-cara penyelesaian masalah yang santun, dan lebih serakah dalam mengembangkan metode “tekan-menekan”, serta “unjuk kekuatan massa”.
Jika para akademisi sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri dan tidak pernah menjadi contoh keteladanan santun, maka jangan salahkan jika mahasiswa kita lebih “berotot” ketimbang “berotak”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H