Lihat ke Halaman Asli

Saadah

Mahasiswa Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Terapi Bermain untuk Menangani Anak Penderita Autisme

Diperbarui: 3 Juni 2022   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Harapan setiap orangtua adalah melahirkan anak yang sempurna. Namun adakalanya anak terlahir dengan keadaan yang khusus, salah satu bentuknya adalah autisme. Autisme adalah gangguan perkembangan perpasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, dan interaksi sosial. Jumlah anak yang mengalami autisme semakin hari semakin meningkat dengan adanya metode 

diagnosis yan dapat mengungkap data anak yang mengidap autisme. Penyebab dari gangguan autis dapat dari berbagai faktor, menurut Smith (1998) faktor yang menyiapkan (predisposing) dan faktor pencetus (precipitating) yang bisa menyebabkan gangguan emosional dan perilaku meliputi, kelainan syaraf, problem kimiawi tubuh dan metabolism, interaksi genetik, penyakit, cidera, hubungan keluarga, tekanan-tekanan masyarakat, 

pengaruh-pengaruh sekolah dan banyak lagi faktor lainnya. Menurut Setyawan (2010) dari Jurnal Pola penanganan anak autis di Yayasan Sayap Ibu Yogyakarta, Secara garis besar, penyebab terjadinya kecacatan dapat disebabkan karena faktor dari luar (lingkungan atau eksogen) dan faktor dari dalam (keturunan atau herediti).

Berdasarkan data dari Centre of Disease Control (CDC) di Amerika memperkirakan prevalensi (angka kejadian) anak dengan Gangguan Spektrum Autisme di tahun 2018 yakni 1 dari 59 anak, meningkat sebesar 15% dibandingkan tahun 2014 yaitu 1 dari 68 anak. WHO memprediksi 1 dari 160 anak-anak di dunia menderita gangguan spektrum autisme. Sedangkan di Indonesia tidak ada data yang pasti. 

Menurut Dokter Rudy, yang merujuk pada Incidence dan Prevalence ASD (Autism Spectrum Disorder), terdapat 2 kasus baru per 1000 penduduk per tahun serta 10 kasus per 1000 penduduk (BMJ, 1997). Sedangkan penduduk Indonesia yaitu 237,5 juta dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14% (BPS, 2010). Maka diperkirakan penyandang ASD di Indonesia yaitu 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun.

Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal, namun sebelum mencapai umur 3 tahun perkembangannya terhenti, kemudian timbul kemunduran secara bertahap, ada yang pada usia 18 bulan baru memperlihatkan gejala-gejala autisme. Gejala-gejala autisme akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia 3 tahun, yaitu berupa gangguan komunikasi verbal maupun non-verbal (terlambat bicara, banyak meniru), 

gangguan dalam interaksi sosial (tidak menengok jika dipanggil, menjauh jika diajak main dan justru asyik main sendiri), gangguan dalam berperilaku (pada anak autistik terlihat adanya perilaku yang berlebihan dan kekurangan secara motorik), gangguan dalam emosi (kurangnya rasa empati, tertawa sendiri, sering mengamuk), gangguan dalam persepsi sensoris 

(mencium atau menjilat benda apa saja, tidak menyukai rabaan, bila mendengar suara keras langsung menutup telinga). Dengan demikian anak autis memiliki masalah pada sosial dan emosionalnya.

Fungsi otak anak dapat ditingkatkan dengan adanya rangsangan. Rangsangan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak, namun pada umumnya adalah pemenuhan kebutuhan berkomunikasi dan dukungan keluarga berupa kasih sayang. Rangsangan pada perkembangan anak dapat dilakukan dengan penyediaan mainan dan sosialisasi. Terapi merupakan hal penting yang harus diberikan pada anak

dengan autisme untuk meringankan gejala autisme dan mengurangi prognosis yang buruk di masa dewasa, meskipun mereka memiliki keterbatasan dan permasalahan yang bisa mengganggu pelaksanaan terapi tersebut. Terapi yang dapat diberikan pada penderita autisme salah satunya adalah terapi bermain. Terapi bermain merangsang anak belajar memahami dan berempati pada orang lain, memahami aturan dan peran yang harus dilakukan, 

serta memahami instruksi dan aturan main yang telah ditentukan. Anak akan mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan jika dalam kelompok bermain anak tidak dapat memahami semua itu, misalnya hukuman dan sanksi sosial dari teman. Sebaliknya bila anak dapat berperan sesuai dengan harapan sosial, maka anak mendapatkan pujian dan perlakuan yang sesuai harapan. Anak autis dituntut untuk berkomunikasi dan bersosial,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline