Lihat ke Halaman Asli

Akal, Indera, Hati

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13118258571051170569

Awal abad 20, ilmu sosial mulai berkembang di Negara asalnya, Eropa. Ilmu sosial yang awalnya di katogerikan seni, sejak saat itu mulai dikonsepsikan metodenya. Teori – teori mengenai metode ilmu dalam ranah ilmu sosial mulai dimunculkan oleh ilmuwan seperti Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, George Simmel dan lainnya. Auguste Comte sendiri terkenal dengan sebutan bapakSosiologi karena pemikiran mengenai metode empirisme dalam Sosiologi. Comte disebut Bapak Sosiologi karena akibat pikirannya tentang Empirisisme, Sosiologi layak disebut sebagai sebuah ilmu, tentu saja dalam pradigma eropa saat itu.

Para ilmuwan sosial saat itu berupaya keras untuk membuat konsepsitentang metologi ilmu sosial. Ada syarat yang berat yang diberikan kepada para ilmuwan sosial. Syaratnya adalah : Ilmu harus bisa menggeneralisasi, ilmu harus bisa diukur oleh indera. Tanpa memenuhi syarat itu, bukanlah ilmu namanya.

Mohon maaf kepada kalangan agamawan. Mohon maaf kepada kalangan Jin. Mohon maaf kepada Tuhan, penghuni surga dan neraka, dan hal-hal ghaib lainnya. Mohon maaf karena semuanya yang disebut tadi tidak diakui sebagai fakta dalam metode yang dibangun itu. Ateisme kemudian muncul sebagai buntut penghambaan terhadap metode ilmu yang dibuat oleh manusia sendiri.

Menuju Kebenaran

Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu yang menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat material dikritisi oleh masyarakat eropa sendiri. Pada tahun 70-an muncul kelompok pemikiran di Jerman yang menamakan dirinya Frankfurt School. Para pemikir ini mengkritisi semua konsep yang dibangun oleh pendahulunya, termasuk menganai apa yang disebut sebagai fakta dalam metode ilmu. Mereka menganggap fakta bukan terbatas pada yang dapat diverifikasi. Ada sesuatu yang non-indrawi yang dibutuhkan manusia.

Hati mereka kering. Manusia dikonsepsikan berproses seperti mesin. Kebutuhan non-inderawi tak terpenuhi. Mereka kemudian memunculkan paradigma baru, Paradigma Post-Positivsme. Itu tidak hanya mengakui fakta atas dasat verifikasi indera tapi diluar itu.

Banyak dari mereka yang kemudian memilih agama – orang timur demi memenuhi dahaga spiritual. Beberapa menekuni yoga. Tidak sedikit juga yang mempelajari Islam hingga akhirnya memeluk Islam.

Masyarakat eropa berproses menuju apa yang mereka sebut sebagai kebenaran atau kebaikan.

Itulah karakter khas manusia. Cenderung kepada hal yang baik dan berusaha mencari yang baik. Dari hari ke hari, jika manusia memakai indera, akal sekaligus hatinya, maka akan sampai pada titik kebaikan/kebenaran. Konsep ini pernah dibuat oleh Imanuel Kant, ilmuwan Eropa abad 19, dengan sebutan konsep dialektika, sintesa- antitesa-sintesa baru. Apa yang disebut benar (sintesa) selalu diuji oleh manusia sehingga melahirkan kebenaran baru (sintesa)

Sayangnya

Sayangnya, dari kebanyakan manusia tidak banyak yang utuh menggunakan potensi kemanusiaannya. Manusia lebih sering menggunakan indera dan rasionalitas ketimbang hatinya. Padahal eksistensi hati sama nyatanya dengan akal dan indera manusia. Akibatnya, banyak manusia salah arah.

Hingga hari ini, di Eropa sendiri masih banyak kelompok ilmuwan yang setia terhadap paradigma ilmu menitikberatkan kepada empirisme an sich. Banyak pula orang timur yang mengikuti gaya-gaya ilmuwan eropa ini. Kadang-kadang mereka lebih setia kepada metode ilmu ini ketimbang agama mereka. Mungkin Al-Qur’an bisa dibilang dongeng jika merujuk paradigma ilmu yang mereka anut.

Adanya kritik kelompok Frankfurt School terhadap metodologi ilmu pengetahuan adalah proses pencarian kebenaran masyarakat Eropa. Disana terjadi proses dialektika-hegel. Tuhan yang awalnya tidak diakui, kembali diakui. Sebagian dari mereka memenuhinya dengan mencari agama orang-orang timur.

Sejak saat kritik itu, hingga saat ini, hingga esok kiamat, sebagaimana manusia lainnya masyarakat Eropa akan terus mencari esensi kebenaran. Metodologi ilmu pengetahuan adalah salah satu aspek kehidupan yang perlu dicari kebenarannya. Masih banyak aspek lain yang butuh dicari kebenarannya, seperti aspek agama dan keyakinan yang benar. Berbahagilaha manusia yang menggunakan akal, hati, dan inderanya untuk mencari kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline