Bonge dan Jeje dua nama yang dalam kurun waktu satu-dua bulan ke belakang selalu muncul di timeline sosial media bahkan diliput oleh media mainstream baik online maupun televisi.
Ketenaran mereka ibarat roket yang melesat ke udara menjauhi orbit bumi, tidak ada yang menyangka, pemuda-pemudi kawasan pinggiran Jakarta ini bisa begitu cepat viral dan dikenal, tidak seperti nasib ribuan konten kreator yang harus berjibaku agar bisa media daring.
Tulisan ini adalah sebuah opini dari saya yang sukanya emang (sok) mengamati pertempuran dunia maya dan sekitarnya. Sebuah analisa yang mungkin tidak selalu dibarengi teori akademis tapi lebih melihatnya dari kacamata penikmat sosial media.
Mari kita mulai
Bonge dan Jeje konon viral di platform tiktok, saya gak terlalu ngikutin, justru konten mereka saya lihat di platform twitter.
Jeje waktu itu diwawancara karena kemesraan bersama sang pacar mencuri perhatian salah satu konten kreator yang cerdik mengambil momen, Jeje yang mesra "bergelendot" tanpa risih mengalungkan tangan ke leher sang pacar, sementara si pacar cool saja dengan dandan khas, menjawab sekenanya saat ditanya.
Sebelumnya saya juga sering terpapar konten mengenai anak ABG yang memanfaatkan kawasan Sudirman (Dukuh Atas) untuk berkumpul, kontennya relatif sama, bertanya mengenai daerah asal, hubungan/status, jajan apa saja, mengeluarkan duit berapa banyak sampai harga pakaian mereka yang bermerk internasional tapi kualitas KW.
Kalo Bonge, pertama kali saya lihat ketika membuat sponsor konten Dunia Fantasi. Bonge yang harus rela pacarnya diambil teman karena Bonge tidak berani naik wahana yang memacu adrenalin. Konten yang dibuat sangat sederhana, akting yang biasa saja, tapi justru menarik perhatian kita.
Pertanyaannya, di antara puluhan tempat estetik di Jakarta yang dibangun pemprov DKI, kenapa mereka senang berkumpul dikawasan Dukuh Atas?
Sebuah lokasi yang dahulu selalu jadi transit para pekerja urban saat berangkat atau pulang kantor. Jawabannya hanya satu, karena ada stasiun kereta.