Suatu hari saya mendampingi keponakan mengikuti lomba story telling di kabupaten. Waktu persiapan sangat mepet, cuma empat hari keponakan saya yang kelas satu SMP di desa itu ditunjuk oleh guru bahasa Inggrisnya karena dinilai bisa.
Sebenarnya bukan itu saja, dia dianggap pede dibanding teman-temannya dan sedikit lantang. Mungkin bawaan dia karena SD-nya di Bekasi yang kekotaan itu. Alasan lain, harus ada siswa yang tampil supaya sekolahannya dapat kredit point dari Dinas Pendidikan. Setidaknya dengan berani tampil, itu sudah cukup.
Ada dua cerita yang mesti di sampaikan dalam satu kali dia pentas dan dihadapan tiga juri dengan puluhan penonton keponakan saya tenang bercerita.
Satu cerita usai dengan mulus. Tapi pada cerita kedua dewan juri mengatakan: excuse me, please stop! Kira-kira begitu.
Kenapa? Karena pada cerita kedua ia berkisah dengan cara membaca teks. Ia melafalkan kata demi kata sembari membaca kertas di tangannya. Bukan menghafal sebagaimana pada cerita pertama tadi.
Kenapa dia membaca teks?
Karena waktu persiapan sedikit dan dia belum hafal keseluruhan. Gurunyalah lantas menulis cerita kedua itu di atas kertas putih, yang dilemkan pada kertas tebal selebar buku pada umumnya.
Juri tak berkenan. Dia diminta turun panggung. Dia malu. Saya tak tega melihatnya. Tapi sekolah tetap bangga menghargai keberaniannya tampil di tingkat kabupaten.
Dia merasa menyesal harus turun panggung. Saya bilang,"Tak perlu begitu. Ini kesempatan buat dapat pengalaman."
Sejujurnya saya menyesal juga dia harus turun panggung. Tapi aturannya begitu. Enaknya biarkan saja hingga selesai. Menghargai kemauan tampil. Dan pada akhir cerita sampaikan padanya bahwa story telling kedua tidak dinilai. Lebih anggun kan?
Tapi sudahlah. Saya keluar bersama guru pendamping. Ia mengucapkan terimakasih pada anak itu. Sebuah amplop diberikan padanya. Anak perempuan itu menolak. Guru itu berucap,"Terima saja, ini dari sekolah."