Pernahkah Anda menjumpai sebuah lemari atau rak berisi bacaan-bacaan ketika berada di suatu lembaga layanan publik? Atau tempat umum lainnya yang di situ ada ruang tunggu yang biasanya di posisi atas tertera tulisan pojok baca?
Kita pengunjung di ruang itu dipersilakan mengambil untuk membaca dan lantas mengembalikannya saat itu juga. Bukan dipinjam untuk di bawa pulang tentunya. Tapi, kita bisa mengamati adakah orang-orang di situ, termasuk diri kita terbesit keinginan untuk mengambil dan membaca? Atau bahkan hanya sekedar mendekat dan membaca judulnya saja. Pojok baca itu kesepian. Tidak ada yang datang dan menyentuh isi lemari atau rak itu. Ia hanya seonggok benda pajangan yang mengisi satu bidang dalam ruangan.
Tentu niat baiknya ada. Pojok baca disajikan agar pengunjung bisa memanfaatkan bacaan yang ada untuk mengisi kekosongan waktu saat menanti urusan selesai. Tapi persoalannya kemudian, pojok baca tidak memberi daya pikat.
Menurut hasil penelitian Perpustakaan Nasional 2017, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
Data tersebut menggambarkan masih rendahnya minat baca pada masyarakat Indonesia. Pojok baca diharapkan menjadi cara agar masyarakat terbuka minatnya untuk meluangkan waktu membaca buku atau lainnya.
Sebatas pengamatan yang saya lakukan, pojok baca masih sebatas ada atau diada-adakan. Pernah saya menjumpai pojok baca di lembaga kepolisian saat menunggu proses perpanjangan SIM. Posisi benar di pojokan. Di sisi ujung loket. Terlihat oleh semua mata pengunjung, pastinya. Tragisnya lemari/rak itu berisi buku-buku yang berdebu. Bahkan separonya tertutup banner. Di puskesmas tempat saya tinggal. Pojok Baca hanya menyisakan derita. Buku tak tertata. Buku yang kusam. Saya tak tega jika harus menyebut itu seonggok sampah.
Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang mengelola? Jika pojok baca sekadar ada, maka setelah ada perkembangan di era digital, mereka hanya jadi pajangan. Buku yang tercecer tak tertata terus dibiarkan. Tiada yang peduli. Setiap pegawai di instansi tersebut sibuk dengan urusannya. Maka sebenarnya, hanya orang-orang yang punya kepedulian terhadap literasi yang tergerak untuk berperan. Tapi siapa di antara mereka?
Pertanyaan kemudian, jika pojok baca tampilannya menarik dengan buku bagus, apakah menjamin berfungsinya hal itu?
Agaknya saya punya keraguan. Mengingatkan kita tengah digempur teknologi informatika. Kita terlanjur melompat jauh sebelum budaya literasi kuat. Kemudian "dipaksa sejarah" masuk era baru. Internet mempermudah akses terhadap berbagai informasi dalam bentuk gambar atau tulisan. Ketika itu hanya bisa diakses melalui piranti PC, sekarang smartphone dengan bentuk yang kecil, bobot yang ringan telah memberi kemudahan lebih.
Saat duduk atau berdiri orang-orang dengan leluasa mendapatkan bacaan aktual, menarik sesuka-suka. Selagi punya kuota untuk akses data, semua bisa didapat.
Maka ketika suatu lembaga menyediakan pojok baca, hal itu tidak dibaca sebagai sesuatu yang dibutuhkan lagi. Orang, apalagi yang usia muda, terlihat canggung baca buku di tempat umum. Gawai sudah memberi rasa nyaman dan juga kepraktisan.
Jadi, si pojok baca akan tetap menjadi seonggok barang. Orang boleh berlalu lalang. Saling bergantian memandang. Tapi pojok baca akan tetap "sepi di keramaian."