Aku bisa mengerti kenapa bapak terisak saat bicara. Dan baru kali ini aku mendengar ia begitu. Isak yang dalam.
Dari kejauhan, lewat telepon genggam milik adik bungsuku, Bapak bertanya, ”Bagaimana kamu di situ? Bagaimana makannya?” Dan seterusnya bertanya seperti kepada anak kecil saja. Padahal usiaku mendekati kepala tiga. Ah, masih belum juga dianggap dewasa, rupanya. Maka, ketika Lebaran itu aku dan adikku tidak bisa berkumpul, Bapak berbayang buruk. Khawatir. Seperti lupa bahwa anaknya adalah perantau yang mestinya perasaan seperti ini sudah menipis.
Aku jadi ingat sewaktu anak-anak. Saat sandekala tiba; waktu jelang maghrib itu, jika anak-anaknya belum kumpul, Bapak mencari. Bertanya ke siapa saja yang barangkali tahu. Hingga menemukan dan mengajak pulang. Pulang dan berkumpul dalam rumah pada sore hari adalah sebuah kedamaian baginya. Bagi orang tua.
Lantas, hingga sampai hari lebaran itu tiba, dua anaknya tidak juga mewarnai suasana Idul Fitri dan hanya bersama dua anak terakhirnya di rumah, Bapak didera rasa: ada yang hilang.
Kakak tertuaku tak bisa pulang kampung. Itu biasa. Ia tak pernah memaksakan diri untuk mudik semenjak menikah dan punya anak. Sudah berkali tahun begitu. Tidak ada alasan yang jelas, selalu saja cuma berkata: aku tak bisa pulang. Duga Bapakku, ia tak cukup uang untuk pulang satu keluarga. Namun lebaran kali ini, aku dan adikku di luar dugaan terpaksa sama dengannya, dengan kakak tertuaku. Kami tidak bisa menginjak lantai rumah hingga paruh terakhir puasa ramadhan.
Aku kecelakaan dalam perjalanan mudik.
Mendekati subuh, saat melintasi jalur Pantura Subang, sebuah motor kencang berusaha mendului. Ia mengambil jarak yang mepet ke sisi kananku, hingga barang bawaannya menyentuh stang kemudi. Aku hilang kendali. Dan tersungkur tak jauh dari motor yang tergeletak di atas aspal. Adikku yang membonceng terpental ke kiri jalan. Lantas, ia tak mampu menegakkan badan. Rupanya tulang kakinya patah. Si Pengendara itu beruntung, bisa mengendalikan diri dan tetap melaju tanpa peduli yang terjadi.
Apes! Tidak ada yang pilihan yang bisa diperbuat pada puncak lebaran waktu itu. Ambulan mengantar kami menuju ahli patah tulang. “Biasanya ke sana. Rumah sakit adanya di kota. Jauh. Sulit menembus kemacetan,” ucap petugas.
Aku menahan pegal. Adikku mengaduh tak henti. Sesekali mengerang. Jaketku robek. Juga milik adikku. Kami berdua ada luka yang harus segera diobati. Dan aku titipkan motor pada polisi untuk dibawa ke Polres. Kami memasuki ambulan yang datang tiga puluh lebih menit pasca kejadian itu. Segera, mobil putih itu bergerak menuju yang dimaui petugas. Suara sirine dan lampu merah yang berputar-putar, tetap tak mampu menembus dengan cepat kepadatan lalu lintas ke arah timur.
“Ya makan nasi, Pak. Ada lauk daging dan sayur,” jawabku pada Bapak.
“Nasi… dari mana? Apa ada warung yang jualan?”