Lihat ke Halaman Asli

Sarwo Prasojo

TERVERIFIKASI

(100Puisi) Sajak Bumbung Nira

Diperbarui: 17 Februari 2016   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kompasiana.com"][/caption]

Kalau saja bukan keterpaksaan dalam himpitan
Kaki-kaki itu pastilah enggan menapak
Sementara hari masih belia meninggalkan subuh

Tangan-tangan berkapal melekat mencengkeram
Pada batang panjang menjulang
Menjejalkan kaki dalam ceruk yang bernama tatar
Tak berbilang, berapa kali kulit telapak menjilati
Pohon tersetubuhi dalam gerakan, hingga
Pelepah-pelepah adalah pijakan pada puncaknya

Nira itu,
Tetes demi tetes yang tersimpan semalam, terambil dari bumbung-bumbung bergelantung
Dalam bejana besar dalam bilik yang kerap merintih letih itu
Api-api mendidihkan memekatkan hingga kuning kecoklatan
Buih-buih meletup berdendang girang
Cawan-cawan cetakan menanti kucuran kemudian

Gula, manis dalam kecapan
Semut pun berduyun mengerubung mengais nutrisi
Janganlah tanya: apalagi manusia

Tapi,
Nira yang mengkristal dalam rupa cawan bukanlah menjadi manis bagi si pemetik
Mereka berubah menjadi pemetik ketakberdayaan
Kenyataan yang terwariskan oleh sejarah
Belanjut dan berlanjut

Lembaran-lembaran kertas telah mengikat
Melumpuhkan daya tawar
Sedang tengkulak mengibas senyum
Menulis nada dalam kata harga

Pemetik-pemetik nira itu
Kisahnya tetap saja menggantung
Bagai bumbung yang mengulum ujung manggar

Pilihannya hanya dua; kemudian
Jatuh dari pohon, atau
Terlilit hutang tak berkesudahan

 

 

____Bumi Cahyana, 16 Februari 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline