[caption caption="kompasiana.com"][/caption]
Kalau saja bukan keterpaksaan dalam himpitan
Kaki-kaki itu pastilah enggan menapak
Sementara hari masih belia meninggalkan subuh
Tangan-tangan berkapal melekat mencengkeram
Pada batang panjang menjulang
Menjejalkan kaki dalam ceruk yang bernama tatar
Tak berbilang, berapa kali kulit telapak menjilati
Pohon tersetubuhi dalam gerakan, hingga
Pelepah-pelepah adalah pijakan pada puncaknya
Nira itu,
Tetes demi tetes yang tersimpan semalam, terambil dari bumbung-bumbung bergelantung
Dalam bejana besar dalam bilik yang kerap merintih letih itu
Api-api mendidihkan memekatkan hingga kuning kecoklatan
Buih-buih meletup berdendang girang
Cawan-cawan cetakan menanti kucuran kemudian
Gula, manis dalam kecapan
Semut pun berduyun mengerubung mengais nutrisi
Janganlah tanya: apalagi manusia
Tapi,
Nira yang mengkristal dalam rupa cawan bukanlah menjadi manis bagi si pemetik
Mereka berubah menjadi pemetik ketakberdayaan
Kenyataan yang terwariskan oleh sejarah
Belanjut dan berlanjut
Lembaran-lembaran kertas telah mengikat
Melumpuhkan daya tawar
Sedang tengkulak mengibas senyum
Menulis nada dalam kata harga
Pemetik-pemetik nira itu
Kisahnya tetap saja menggantung
Bagai bumbung yang mengulum ujung manggar
Pilihannya hanya dua; kemudian
Jatuh dari pohon, atau
Terlilit hutang tak berkesudahan