[caption caption="www.infojajan.com"][/caption]
Di kota ini, dawet yang paling diburu para pembeli berada di sebelah utara trotoar jalan Sudirman, kata teman SMP-ku waktu itu. Mudah saja mencarinya, ujarnya pula. Kamu berjalan dari perempatan Pasar Besar ke arah barat. Setelah dua puluh lima meter, akan ketemu. Penjual itu mangkal menepi di emper toko emas. Tepat bersisian dengan mulut gang kecil.
Waktu itu, aku baru beberapa minggu tinggal di kota itu. Memulai sebagai murid SMP. Datang dari desa, tinggal di rumah saudara tua Bapakku. Belum banyak yang bisa aku tahu tentang seluk beluk kota. Maka saat aku ingin minum es dawet yang enak, teman sekelasku itu menuduhkannya.
Jangan berhadap kamu bisa cepat dapat segelas dawet, kilahnya. Mesti sabar menanti. Harus antre sambil berdiri, jelas temanku itu. Tidak saja lokasinya yang dekat dengan Pasar Besar, maka ramai. Tapi rasanya memang membikin ketagihan. Aku mengiyakan saja ucapannyi. Karena dia tinggal sedari lahir di kota ini. Aku meyakini, dia punya pengalaman cukup di kotanya.
Di bawah sebuah pohon yang belum terlalu besar dekat penjual itu, yang entah pohon apa namanya, aku nongkrong meminum segelas es dawet. Dingin. Manisnya legit. Dan aroma buah nangka menelusup hidung. Pastinya buah nangka asli. Dalam kuwali tempat air gula, potongan buah berwarna kuning itu tampak. Yang aku suka, santannya kental dan terasa gurih. Dan di tempat itu pula, sang penjual memeras parudannya.
Lambat laun, segelas dawet bukan saja pelepas kerinduanku pada minuman tradisional yang kerap aku beli di desa. Segelas dawet tanpa aku sadari telah menjadi cara memecah kejumudan karena pelajaran sekolah yang menyebalkan.
Bayangkan saja, semua hasil ulangan pelajaran IPA buruk: fisika mendapat nilai 4, Biologi 5,5. Untuk matematika, tak jauh dari nilai itu. Hampir satu semester, hasil ulangan belum juga mengalami kemajuan. Bodokah aku? Aku gundah gulana.
Malu. Akulah yang dulu meminta sekolah di kota karena lulus SD berangking tiga. Bapak menyetujui. Masuklah pada sebuah sekolah negeri favorit. Tapi pada semester pertama seperti ini, aku sudah mulai ketir-ketir. Cemas. Khawatir.
Masalah utama, aku kurang suka dengan guru mata pelajaran. Pak guru fisika: saat memberi penjelasan seperti bersuara untuk dirinya sendiri. Benar-benar tidak bergema ke seisi ruangan. Papan tulis tak lebih dari lukisan buruk yang bernama rumus-rumus. Itu sangat membikin mataku sepet.
Sedangkan Ibu guru biologi: membikin murid selalu tegang. Jangankan saat mengajar. Mendengar bunyi sepatunya, saat ia hendak memasuki ruang kelas , wajah-wajah kami memburuk. Kaku dan menyedihkan. Kami akan berhadapan dengan seorang perempuan tanpa rasa humor. Roman mukanya membatu. Terkesan amat serius.
Matematika? Janganlah ditanya: ini pelajaran yang sangat menyiksaku terus-menerus. Setidaknya, itu juga dialami oleh banyak teman sekelas.