“Pak Dhe?”
“ Iya, panggil saja Pak Dhe” Saya jawab keraguan anak kecil itu untuk menyapa saya dengan sebutan Pak Dhe. Anak itu pun mengangguk. Mengerti. Dan berucap,”Terima kasih Pak Dhe”
Dan dia pergi mengontel lagi sepedanya, dengan sedikit menahan sakit.
Anak tadi baru saja saya tolong. Ia terjatuh dari sepeda saat ada kucing berlari menyeberang jalan mengejar temannya yang menggigit seekor tikus. Anak kecil itu kaget dan roboh dari sepeda. Dari dalam rumah kontrakan, saya melihatnya. Lantas bergegas menghampiri.
Semenjak itu. Setiap melintas depan kontrakan, dan melihat saya, dia bersuara keras. “Pak Dhe!”
Maka teman-teman sepermainan bersepeda bertanya,”Itu Pak Dhe-mu?”
Saya mendengar dari kejauhan pertanyaan itu. Tapi entahlah jawabannya. Mungkin malah kebingungan, tak tahu harus menjawab apa.
Maka mulailah saya dikenal oleh anak-anak. Sapanya selalu, Pak Dhe mau ke mana? Pak Dhe dari mana? Lambat laun satu komplek mengenal keberadaanku. Hanya karena sebutan: Pak Dhe.
Bagi saya, sebutan Pak Dhe itu nJawani. Enak dikuping. Dan menunjukkan sebuah proses kematangan sebagai manusia. Ini hanya anggapan saya semata, orang lain pun boleh beda pendapat.
Masih ingat kan dengan sosok “Pak Dhe” yang terkenal pada era 80-an? Nama pria itu Muhammad Siradjudin, orang tua yang konon menjadi penasehat spiritual kalangan selebriti. Kemudian dituduh sebagai pembunuh peragawati bernama Dietje Budimulyono, yang akhirnya dia dihukum seumur hidup lewat sebuah peradilan yang sangat kontroversi. Sejak itu, sebutan Pak Dhe Dietje sangat populer.
Jadi sebutan Pak Dhe itu memiliki nilai intrinsik. Bandingkan dengan sapaan Om apalagi Mbah. Om kesannya suka dengan tante genit. Mbah kesannya tua, dan dekat kematian. Saya sering bercanda seperti itu.
Saya senang, suasana kontrakan ceria, karena sering kedatangan anak-anak. Saya kehilangan kesepian, karena kesendirian. Bagi saya, itu menjadi sebuah hiburan. Saya sediakan ke mereka cemilan-cemilan yang renyah, mengasikkan dan menggoda selera. Terlebih aku pandai bercerita. Tampaknya itu menjadi daya tarik sendiri. Saya berpikir, orang tua mereka kurang dalam hal seperti ini.
Bercerita. Ya, benar bercerita tentang sebuah kisah. Orang jaman dulu menyebut: ndongeng. Mendongeng. Saya sendiri merasakan manfaat mendengarkan dongeng yang dituturkan ibu saya, sewaktu hendak tidur malam. Saya menggambarkan tokoh dengan karakter yang diceritakan. Saya bebas berimajinasi. Karena itulah, saya kemudian piawai untuk ukuran anak-anak, mendongeng ke teman-teman. Itu berkat dongengan yang saya simak hampir tiap malam. Akhirnya, saya terbiasa dengan hal itu.
Lambat laun, yang ABG pun mengenal saya. Bertegur sapa dan berbincang-bincang. Dari hal yang aktual sampai yang bikin sebal. Dari yang ringan hingga yang mesti mengerutkan dahi. Bisa saja saya menyampaikan ke mereka. Modalnya, banyak membaca jadi banyak pengetahuan. Mungkin karena mereka malas baca atau banyak habis waktu untuk bermain gadget, wawasan mereka terbatas. Saya paling sering bicara ke mereka tentang kejahatan yang bisa menimpa anak-anak, utamanya pedofilia.