Lihat ke Halaman Asli

Sarwo Prasojo

TERVERIFIKASI

Gadis Minimarket

Diperbarui: 13 Mei 2018   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun yang lalu hanya ada di kota. Orang-orang bercerita, belanja di minimarket itu enak, ketimbang di toko biasa. Bukan saja tempatnya yang nyaman. Pelayanan pun beda.

Kini tepat di depan rumahku, satu minimarket hadir. Kampungku mulai tambah moderen, itu yang ada dibenakku. ATM sudah pula dinikmati beberapa waktu sebelum ini. Pikiran orang mulai berubah, belanja tidak cuma ke pasar tradisional atau toko yang sudah ada bertahun-tahun. Sekarang ini market sudah jadi pilihan.

Anak-anak abege sering iseng masuk ke sana. Tidak beli apa-apa memang, katanya cuma ingin"ngadem"menikmati sejuknya ruangan ber-AC. Minimarket telah pula mengenalkan ke orang-orang kampung cara belanja masa kini: pakai kartu kredit juga member card. Dan mendapat struk belanja pasca bayar.

Minimarket pun bisa membuat orang kampung jengkel. Barang yang dibeli tidak boleh dikembalikan. Seseorang pernah mendatangi kasir. Ia hendak balikkan barang, yang dibeli tapi tak baca kemasan. Dikiranya permen. Tak tahunya empat buah kondom.

Rasanya tak enak juga, ini hanya perasaanku. Ada minimarket di depan rumah, belum juga menjambangi. Padahal orang dari kampung lain, pagi siang, malam silih berganti.

Aku ajak saja suamiku malam-malam jam delapan. Mumpung minimarket terlihat sepi. Mumpung ia juga lagi bosan nonton berita tivi. Isinya rebutan ketua partai. Eh, suamiku mau. Katanya, mencari pandangan baru.

Aku sendiri tak tahu maksud pandangan baru. Soalnya antara serius dan bercanda, wajah suamiku datar-datar saja. Tak punya ekspresi kalau bicara. Paling banter mengelus-elus hidung. Itu pun aku anggap kebiasaan buruknya. Tapi ada yang bilang, itu tanda menyembunyikan sesuatu.

Mi instan, kecap dan saus sambal. Tiga itu yang aku beli. Daripada keluar tanpa bawa apa-apa. Sedikit aku menahan gengsi. Setidaknya kepada karyawan malam itu.

"Dua puluh dua ribu empat ratus, Bu"

Sukurlah tak banyak keluar duit. Aku ulurkan uang kepada kasir. Kulitnya kuning langsat. Matanya bersinar dengan bola mata yang hitam pekat. Sama dengan lengkung alisnya yang tebal. Wajahnya manis dengan pulasan bedak yang tipis. Celana panjang jeans ia kenakan berpadu dengan warna biru muda baju kerjanya. Ramping. Kerudungya pun simpel, tapi enak dilihat.

Isnawati. Nama itu tertera pada tanda pengenal yang tergantung pada sakunya. Senyumnya tak henti dia perlihatkan. Bukan dibuat-buat, tapi bawaan sikap ramah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline