Lihat ke Halaman Asli

Sarwo Prasojo

TERVERIFIKASI

Kopi dan Kejawen

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada tahun 2002, saya mengurus renovasi rumah saudara sepupu di Perumnas 3 Bekasi. Satu projek tambahan untuk menyempurnakan sarana dan prasarana rumah tersebut yaitu membuat sumur bor. Ini karena air PAM yang digunakan selama ini, memiliki mutu dan debit air kurang memadai.


Datanglah ke bangunan yang tengah saya tangani beberapa orang pekerja yang hendak membuat sumur bor. Dari logat bicaranya, mereka bukan pendatang dari luar Bekasi. Mereka pun mengenal saya dan para pekerja dari cara kami saling berbicara.

“Dari Jawa ya Mas?” Begitu satu yang terlihat paling tua bertanya kepada saya.


Sebagai pekerja pembuat sumur bor, dia punya pengalaman yang aneh. Pada satu pengeboran, ia tidak juga berhasil mendapatkan air yang diharapkan. Bekerja dari pagi hingga sore hari, berlanjut pada keesokan harinya. Rasanya mau pasrah, Mas!

Tapi sang pemilik rumah dengan santainya bilang,”Nih ada kopi segelas! Masukan saja ke paralon, terus ngebor lagi!”

Dia dan teman sekerjanya pun heran. Apa pengaruhnya air kopi dalam urusan ngebor! Tapi ia tak menolak permintaan pemilik rumah yang orang Jawa itu. Aneh, tak sampai lima belas menit pengeboran, air pun keluar dengan deras!

“Itu kepercayaan orang Jawa ya, Mas,” orang itu bertanya lagi. Dan saya pun hanya bisa tersenyum, karena tidak memiliki jawaban yang tepat. Bisa saja itu sebuah kebetulan semata.


Secangkir kopi bukan saja suatu minuman di saat kantuk mendera atau dingin yang menyeruak. Secangkir kopi dalam tradisi tradisional masyarakat Jawa merupakan bagian dari sesajen. Itu yang saya dulu pernah temui saat ada acara hajatan pernikahan ataupun sunatan. Tidak sendirian tergeletak di atas mampan pada sudut ruangan. Secangkir kopi itu ditemani oleh minuman teh, air kembang dan beberapa jenis panganan. Kata orang tua dulu, itu cara agar hajatan lancar, selamat tanpa gangguan.


Saya kecil pernah diajak oleh Eyang Kakung (Kakek) pada sore hari melewati tepian kali kemudian berjalan di pematang hingga sampai di tujuan yaitu sawah beliau. Pada hamparan sawahnya yang luas, tanaman padinya sudah mulai menguning, artinya tinggal menunggu waktu panen tiba.

Eyang Kakung saya yang pensiunan guru tahun 60-an itu, lantas menancapkan tiga potongan bambu berdiameter empat sentimeter pada sudut petak sawah. Berdirilah ketiganya sejajar sama tinggi pada pinggir pematang, terapit oleh dua bilah bambu yang ditalikan pada bumbung itu, agar ketiganya tetap menyatu.


Dituangkanlah ke dalam tiga bumbung bambu itu tiga jenis air yang saya bawa dari rumah. Pertama, Eyang Kakung menuangkan air putih, dilanjutkan air teh dan diakhir secangkir air kopi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline