Tragedi jatuhnya Rezim Soeharto pada tahun 1998, didahului oleh berbagai kejadian yang oleh beberapa kalangan masyarakat menjadi pertanda akan berakhirnya kepemimpinan orde baru. Berpulangnya Ibu Tien Soeharto menghadap Yang Kuasa pada 28 April 1996, dimaknai hilangnya satu sayap yang selama ini turut mendukung kepemimpinan Pak Harto selama hampir tiga puluh tahun. Dan, peristiwa berikutnya di tahun 1998 saat Sidang Paripurna MPR tentang pengesahan Pak Harto sebagai Presiden RI untuk ke-7 kali, Ketua MPR pada saat itu Harmoko, mengetuk palu pengesahan dengan sangat keras hingga palu kayu itu terpental jatuh. Maka peristiwa “aneh” itu kemudian dimaknai sebagai makin dekatnya akhir karier politik nasional Pak Harto.
Legenda klasik yang lekat di ranah sosial budaya masyarakat Banyumas adalah Tragedi Setu Pahing. Hari Sabtu di hari pasaran pahing. Peristiwa yang menceritakan terbunuhnya Adipati Wirasaba oleh prajurit utusan Raja Pajang Sultan Hadiwijaya. Sebelum ajal, Adipati wirasaba memberi wasiat pada anak keturunannya agar tidak makan daging angsa, tidak membuat rumah balai malang, tidak naik kuda dhawuk dan tidak boleh bepergian jauh di hari sabtu/setu pahing.
Kesemuanya itu dilatarbelakangi situasi yang melekat pada kejadian itu, baik yang berkaitan dengan pola pembunuhan, kuda tunggangan maupun hari naasnya yang tengah makan daging angsa disaat istirahat perjalanan pulang setelah mengadap Sultan Hadiwijaya.
Ternyata wasiat Adipati wirasaba itu tidak saja dijalankan oleh anak keturunannya. Masyarakat dulu yang paternalistik akhirnya memaknai kejadian itu sebagai bagian yang melekat padanya. Sehingga mereka turut melaksanakan wasiat itu. Bahkan sampai sekarang pun, masih ada orang tua yang melarang anak atau kerabatnya untuk tidak bepergian jauh di hari Sabtu Pahing. Sarannya, dimajukan atau ditunda. Walau jaman sudah rasional dan moderen dengan tingkat mobilitas masyarakat begitu tinggi maka jarak jauh atau dekat menjadi relatif. Tetapi nilai sosial budaya yang sudah ratusan tahun itu masih ada.
Pernah ada kejadian menarik. Dua orang kakak beradik yang sudah berusia di atas lima puluh tahun, berangkat dari Purbalingga menengok orang tuanya di Purworejo. Naik sepeda motor berboncengan. Oleh ibunya yang sudah usia lanjut , keduanya tidak diperkenankan pulang bersamaan. Hal itu dilakukan karena sang ibu telah mendengar ada kejadian kecelakaan yang menimpa dua orang saudara yang berboncengan, hingga menyebabkan kematian. Sang ibu tidak ingin kehilangan anaknya dengan setting peristiwa yang sama. Ia menginginkan anaknya pulang dengan selamat. Orang tua itu mengubah skenario perjalanan anak sesuai cara ia memaknai peristiwa kecelakaan itu.
Tragedi yang menimpa pesawat Air Asia kemarin dan juga yang pernah terjadi lainnya tentu harus dimaknai dengan cara berbeda. Tidak berarti bahwa karena Air Asia naas, maka kita lantas tidak menggunakan pesawat maskapai tersebut. Karena sebuah keniscayaan bahwa di era serba cepat maka moda transportasi udara menjadi bagian penting bagi masyarakat moderen. Sampai badan pesawat Air Asia dibuat tulisan “Now Everyone can Fly”. Itu menunjukkan bahwa pesawat terbang adalah sebuah kebutuhan. Maka memaknai peristiwa kecelakaan tersebut harus dengan menggunakan pendekatan sains dan teknologi. Masyarakat harus tahu bahwa cuaca berpengaruh terhadap keselamatan penerbangan. Seberapa canggihnya teknologi pesawat, ia harus berhadapan dengan peristiwa alam yang terjadi di angkasa. Dan keselamatan adalah harga termahal dalam penerbangan dibandingkan harga tiketnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H