Lihat ke Halaman Asli

Sarwo Prasojo

TERVERIFIKASI

Birokrasi "Kotak Amal"

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

indonesiya.blogspot.com

indonesiya.blogspot.com

Parman sudah menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan.  Hari itu ia bermaksud mengurus pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCP).   Itu untuk memenuhi persyaratan melamar kerja.   Dan ini kali pertama ia mengurus hal semacam itu.

Setelah mendapat surat pengantar dari Ketua RT, ia mendatangi Kantor Kepala Desa.   Ia sampaikan maksudnya dan menyodorkan surat pengantar kepada perangkat desa.   Tidak lama, surat pengantar dari Pemerintah Desa sudah ditandatangani Pak Kades.   Sekarang surat itu sudah ditangan Parman.

“Wah, terima kasih ya Pak.  Langsung permisi dulu,” kata Parman.

“Eh sebentar.  Ngisi kotak ini dulu,” balas perangkat desa itu.

"Pakai apa Pak?"

"Ya, pakai duitlah!"

Bergegas Parman keluar.   Ia pacu motornya menuju Kantor Kecamatan.  Kali ini yang dimasuki Ruang Sekretaris Kecamatan.  Antri, karena ada orang lain yang punya maksud  sama.   Selang waktu kemudian, giliran Parman. Pegawai kecamatan menuliskan data Parman di buku besar.

“Jaman sudah pakai komputer, tapi masih pakai tulisan tangan.  Dasar kantor jadul,”gerutu Parman.

Berkas pengantar dari desa kemudian ditandatangani Sekcam dan distempel.  Sebelum menyerahkan kepada Parman, petugas itu bersuara,”Ngisi ini dulu Mas!”  Sambil menunjuk kotak yang tersedia di atas mejanya.

"Berapa Pak?"

"Ya, sepantasnya!" jawab pegawai itu

Prosedur berikutnya, membawa Surat pengantar itu ke Kantor Koramil, yang jaraknya sekitar 75 meter dari Kantor Kecamatan.   Petugas jaga mengisi data Parman ke dalam buku besar.   Sangat singkat, selesai.

“Silahkan, mengisi kotak ini dulu Mas!” pinta petugas jaga berpangkat Sersan.

Lagi-lagi Parman harus merogoh kantong.  Kali ini dia ia masukkan uang kertas ke dalam kotak itu dengan tangan kanan yang di atasnya ditutupi telapak tangan kiri.  Biar tidak kelihatan jumlahnya.

Tiga kantor sudah dijambangi.  Kini giliran yang terakhir, Kantor Polsek.   Petugas jaga tampak tengah duduk.  Ia menyambut Parman ramah.   Parman bersalaman dan langsung menyampaikan maksud kedatangannya.  Ia serahkan berkas yang dipersyaratkan.

Petugas memberi pertanyaan kepada Parman, sambil memberi nasihat,”Mohon maaf Mas.  Lain kali kalau naik motor memakai helm ya.  Apalagi sampean ke Polsek.  Ini tugas kami untuk mengingatkan.”  Parman pun menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Setelah mendatangani buku besar yang disodorkan oleh petugas, ia pun mendapatkan SKCP yang dikehendakinya.  Kali ini Pak polisi langsung berkata,”Sepuluh ribu Mas, untuk biayanya.”  Dan Parman pun  memberikan uang sebesar itu.  Tanpa mendapatkan bukti penerimaan uang.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah ia berpikir.  Dari Kantor Desa, Kecamatan, Koramil hingga Polsek, ia memberi uang.  “Bukankah itu tugas pelayanan.  Mereka digaji.  Alat Tulis dan kantor  dibiayai negara.  Tapi masih juga minta,” gumannya dalam hati.

“Terus, uang-uang itu untuk apa? Pertanggungjawabannya seperti apa? Bukti penerimaannya saja tak ada.  Artinya.....?” Begitu pertanyaan yang berkecamuk dalam diri Parman.

Parman pun tidak habis mengerti.  Untuk mengurus SKCK yang sejatinya ada di pihak kepolisian, kenapa harus lebih dulu ke Kecamatan, bahkan ke Koramil yang urusannya teritorial.   Kenapa tidak dibuat sederhana, langsung ke kepolisian saja?

Ah, apa boleh buat, namanya saja di Indonesia.  Parman pun mengakhiri percakapan dengan dirinya saat memasuki halaman rumah.   "Yang penting urusan selesai!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline