Menurut UU No 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 58:
"Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang digunakan untuk semua keperluan adalah Data Kependudukan dari Kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri, antara lain untuk pemanfaatan: a. pelayanan publik; b. perencanaan pembangunan; c. alokasi anggaran; d. pembangunan demokrasi; e. penegakan hukum dan pencegahan demokrasi.
Seperti kita ketahui, BPS bekerjasama dengan BAPPENAS dan UNFPA telah merilis Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 - 2035 (https://www.bappenas.go.id/.../Proyeksi_Penduduk_Indonesia_20...) pada tahun 2013. Bisa dipastikan, jumlah penduduk hasil proyeksi penduduk tersebut di berbagai daerah berbeda sangat signifikan dengan rekapitulasi jumlah penduduk menurut Kementerian Dalam Negeri. Sebagai contoh, republika mewartakan beda jumlah penduduk Jawa Barat antara BPS dan Kemendagri pada tahun 2016 mencapai 3,5 juta jiwa (http://www.republika.co.id/.../o5tmtl382-jumlah-penduduk-jaba...). Di tahun 2011 saja, saat BPS merilis jumlah penduduk 241 juta, Kemendagri mempublish 260 juta jiwa. Sangat beda bukan?
Dalam berbagai kesempatan, kami sering ditanya oleh bebagai pihak, data mana yang digunakan? Mengapa dalam Daerah dalam angka tidak mencantumkan data penduduk dari Dukcapil? dan pertanyaan lainnya.
Sebelum menjawab data mana yang sebaiknya digunakan, mari kita kaji implikasi apa yang bakal terjadi jika amanat UU No 24 Tahun 2013 itu diimplementasikan pada berbagai hitungan indikator pembangunan yang sudah lebih dulu dirilis BPS. Pertama, Pendapatan per kapita di masing-masing daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dipastikan terjun bebas. Mengapa? karena pembagi/denumerator penduduk dari kemendagri yang lebih besar dari jumlah penduduk yang telah digunakan BPS akan menghasilkan hasil pembagian antara PDB (PDRB) dengan jumlah penduduk yang lebih kecil.
Kedua, penghitungan indikator berbatas wilayah akan sulit dilakukan. Sebagai contoh, angka partisipasi sekolah dihitung berdasarkan jumlah penduduk usia sekolah di suatu wilayah yang masih bersekolah dalam persen. BPS menetapkan seseorang sebagai penduduk berdasarkan pendekatan tinggal di wilayah tersebut selama enam bulan atau lebih atau kurang dari enam bulan tetapi berniat menetap lebih dari enam bulan. Akibat masih buruknya sistem pencatatan administrasi kependudukan, masih ada orang yang sudah keluar wilayah misal untuk sekolah atau kuliah di tempat lain tetapi masih tercatat sebagai penduduk di wilayah itu (secara administrasi).
Ketiga, untuk keperluan perencanaan di masa yang akan datang, lima tahun atau 10 tahun kemudian, data administrasi kemendagri tidak sesuai peruntukannya. Untuk perencanaan pembangunan di masa yang akan datang dibutuhkan data proyeksi penduduk. Dari data proyeksi penduduk inilah kita bisa memperkirakan berapa jumlah anak balita di tahun 2020? berpa lansia yang bakal hidup di tahun 2035? dan seterusnya.
Di sisi lain, data proyeksi penduduk menghasilkan jumlah penduduk agregat (makro). Kelemahan data makro adalah tidak bisa memberikan informasi by name by address. Dengan demikian, untuk keperluan pelayanan publik, penegakkan demokrasi, alokasi anggaran dan penegakan hukum dan pencegahan kriminal memang dibutuhkan data yang memuat data mikro (Pasal 58 ayat (2) UU No 24 Tahun 2013).
Bagaimana solusinya? Mau tidak mau, kumpulan data administrasi yang ada di kemendagri harus diverifikasi. Andai saja data penduduk versi kemendagri diverifikasi keberadaan fisik orangnya dengan batasan waktu seperti yang telah BPS gunakan, maka selisih jumlah penduduk BPS dan Kemendagri tidak akan sebesar seperti sekarang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI