Lihat ke Halaman Asli

Rimang Absal

Daily Manager

Man Called Otto: Menelaah Masa Senja si Kakek Penggerutu

Diperbarui: 17 Januari 2024   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Man Called Otto sebuah film rilisan tahun 2022 besutan sutradara Marc Forster dan dibintangi oleh Tom Hanks. Film ini berkisah tentang kehidupan seorang kakek sebatang kara yang hidupnya menjadi sangat kaku dan gemar mengoreksi kesalahan orang lain, baik secara logis maupun tak logis, mulai dari hal-hal sepele hingga hal-hal yang bersifat prinsipil.

Film dibuka dengan scene Otto yang sedang membeli tali di sebuah supermarket. Sesampainya di kasir, Otto berhadapan dengan kasir, seorang pemuda yang mencoba bersikap ramah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan template, Otto hanya menjawab dengan saklek dan wajah yang datar. Setelah itu Otto dan si kasir terlibat perdebatan nyeleneh mengenai jumlah tagihan yang harus dibayarkan oleh Otto. sampai akhirnya sang asisten manajer datang menawarkan untuk membereskan perdebatan itu.

Karakter Otto Anderson dalam film ini digambarkan sebagai sosok pria tua yang selalu menganggap semua orang di sekitarnya itu bodoh dan menyebalkan. Itu sebabnya ia tak pernah tersenyum dan cenderung sinis pada semua orang. Saking sinisnya tak hanya manusia yang ia marahi, pada satu adegan ia pun memarahi seekor kucing yang tengah duduk diam tak melakukan apapun. Sangat menyebalkan bukan?

Namun semua sikap dan perilaku itu perlahan berubah semenjak Otto berkenalan dengan tetangga baru, seorang ibu muda bernama Marisol. 

Siang itu, seusai membereskan seisi rumahnya, Otto kemudian nampak bersiap dan merapikan pakaiannya di depan cermin, seolah ia hendak menghadiri acara yang penting. Alih-alih pergi, Otto malah menggelar beberapa lembar koran dan memasangkan seutas tali ke bagian langit langit-langit rumahnya. Diperlihatkan simpul melingkar dan Otto yang tengah bersiap memasukkan kepalanya ke dalam simpul tersebut. Ternyata Otto tengah bersiap untuk bunuh diri. Belum sempat memasukkan kepalanya, Otto malah melihat seseorang telah memarkir mobil dengan sembarangan di seberang rumahnya. Di seberang jalan seorang wanita tengah membantu suaminya yang kesulitan untuk memarkirkan mobil mereka. Otto pun kesal mengetahui ada seorang pria dewasa mengendarai mobil matic dan tidak bisa memarkir mobil dengan benar. Sambil mengata-ngatai pria tersebut, Otto masuk ke dalam mobil untuk membantu memarkirkan mobil tersebut. Setelah selesai Otto pun langsung pergi sambil memaki dan terus menggerutu. Itulah awal pertemuan Otto dengan Marisol dan suaminya, Tommy. Di kemudian hari Marisol sering datang kerumah Otto untuk meminta bantuan dan atau sekedar memberi makanan pada Otto.

Berbeda dengan Otto, Marisol adalah karakter yang receh, banyak omong, hangat, cheerful, perhatian, dan penuh kesabaran. Karakter Itu terlihat pada kesediaanya untuk terus berusaha membuat hubungan yang baik dengan Otto meski awalnya sering mendapat  respon yang tidak menyenangkan.

Sebagai seorang duda, Otto juga memiliki kebiasaan untuk mendatangi makam istrinya. Biasanya ia datang untuk mengganti bunga dan curhat menceritakan kehidupannya kepada mendiang istrinya. Otto juga masih sering mengingat dan membayangkan mendiang istrinya, bahkan kenangan itu melintas setiap kali ia melakukan percobaan bunuh diri. Hal itu sejalan dengan sikap Otto yang tidak mau kehidupanya beranjak maju dengan berdamai dan menerima kenyataan yang ada. Keengganan Otto untuk melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu pun membuat hidupnya semakin berat, semakin hari memberikan efek negatif pada aspek-aspek dalam diri Otto. Hal yang paling jelas tergambar adalah tidak adanya keluarga dalam hidup Otto yang membuatnya semakin merasa sendirian, sepi, dan kehilangan dinamika kehidupan. 

Jika kita menilik pada teori Elisabeth Kubler-Ross, The Five Stage of Grief, Elisabeth menjelaskan lima tahapan yang akan dilewati oleh orang-orang yang menghadapi kenyataan menyedihkan, diawali dengan tahapan penyangkalan (denial), amarah (anger), tawar-menawar (bargain), depresi (depression), sebelum akhirnya sampai pada penerimaan (acceptance).

Pada tahapan penyangkalan, seseorang cenderung tidak mengakui bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dalam situasi berduka/kehilangan, seseorang akan mengalami penyangkalan lebih dulu. Seseorang akan merasa kejadian buruk yang dialami tersebut seolah tidak benar-benar terjadi, kemudian timbulah fase marah. Marah mengapa situasi ini bisa terjadi pada dirinya. Pada fase ini, seseorang dapat menyalahkan dirinya, orang lain, bahkan Tuhan. Timbulnya kemarahan itu merupakan salah satu emosi negatif yang memang harus “dibuang” atau disalurkan. Hanya saja tak semua individu mampu menyalurkan emosi dengan tepat. Dalam fase amarah (anger) seseorang bisa melampiaskan amarah pada siapa pun, baik itu diri sendiri, orang lain, atau bahkan benda-benda mati. Setelah sebagian besar emosi negatifnya tersalurkan, individu akan mulai berandai-anda membayangkan alternatif lain yang mungkin dilakukan untuk menghindarkan atau membatalkan kenyataan buruk tersebut. Meski begitu, seseorang tersebut akan tetap kembali dihadapkan pada kenyataan yang ada. Fase inilah yang disebut dengan tawar-menawar (bargain), yang kemudian akan membangkitkan sisa-sia emosi negatif dan rasa rindu juga akan muncul seiring berjalannya waktu. 

Ini yang biasa terjadi pada fase depresi (depression). Depresi sebenarnya lebih menekankan pada timbulnya perasaan tidak berdaya atas situasi negatif yang dialami. Terkadang seseorang merasa tidak mampu lagi mengubah atau mengembalikan situasi yang ada. Pada akhirnya individu yang mampu melewati fase-fase tersebut akan sampai pada penerimaan (acceptance). Saat mencapai tahap ini, bukan berarti seseorang akan bahagia dan sepenuhnya melupakan kenyataan menyedihkan tersebut. Tak jarang pada fase ini individu juga akan mengalami sakit secara fisik. Bayang-bayang akan kenyataan menyedihkan itu akan tetap ada, namun individu akan mengingatnya sebagai bagian dari masa lalunya dan bisa hidup berdampingan dengannya. Setiap orang bisa saja melalui tahapan-tahapan tersebut dalam interval waktu yang berbeda. 

Dalam kasus Otto, Ia mengalami kemandegan pada tahap amarah (anger) dan kemandegan itu turut andil menciptakan Otto yang kita kenal dalam film tersebut sebelum Marisol mengubah keadaan. Kehadiran Marisol dan keluarganya seolah menjadi penggambaran alternatif dari hidup Otto. Sedikit banyak Otto menjadi terlibat dalam kehidupan rumah tangga Marisol. Membantu Tommy memperbaiki rumahnya, mengajarkan Marisol menyetir, menjaga anak-anak Marisol, hingga ikut merasakan hadirnya anak ketiga Marisol. Sebaliknya pun demikian, Marisol sangat memperhatikan Otto, bahkan Marisol sangat emosional ketika Otto merahasiakan kondisinya pada Marisol. Di akhir film, Otto pun seolah mengakui pentingnya keberadaan Marisol di masa akhir hidupnya. Ia menyebut Marisol sebagai satu-satunya orang yang tidak bodoh. Otto memberikan sebagian hartanya kepada Marisol sebagai warisan dan menuliskan surat wasiat untuk Marisol. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline