Lihat ke Halaman Asli

S. Suharto

Pendidik dan pemerhati seni

Jangan Demo Tanggal 25 November

Diperbarui: 28 April 2018   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya sedih mendengar isu akan ada demo Bela Islam III. Sedihnya karena,  pertama,  masyarakat tidak tahu bahwa itu adalah hari guru, hari ulang  tahun kami para guru, guru-guru  kita juga.  Sedih karena kami benar-benar dilupakan. Apakah kami mau  diajak untuk gabung bersama ormas Islam, atau warga lain yang merasa tersakiti oleh orang (belum tentu) bersalah yang sudah minta maaf. Apakah kami diminta untuk membalas dendam dan kalau bisa terus  dihembuskan sampai Ahok dihukum? Kedua, sedih karena tidak banyak yang memikirkan dampak negative yang ditimbulkan. Ketiga, banyak tokoh agama yang melupakan bahwa kita Indonesia. Keempat, para tokoh akademis diam seribu bahasa seolah tidak ada apa-apa padahal bahaya perpecahan di depan mata, bahkan ada  tokoh akademisi yang menjadi salah satu tokoh pendemo.

Saya tidak memahami politik tetapi saya merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati saya bahwa ada sesuatu yang tidak adil dan tidak masuk akal di mana  mereka berjuang yang hanya memikirkan perasaana, golongan atau kepentingannya saja, di atas kepentingan nasional yang lebih besar yang bernama Indonesia.

Maafkan saya mungkin keimanan saya sangat cetek. Saya lebih merasakan dari sisi kemanusiaan dan kepentingan nasional.  Yang saya rasakan hanya perlakuan yang keterlaluan kepada seorang  Ahok. Ibaratnya,  dia sudah kalah perang, minta maaf, tetapi kita terus menguhukum,   dan menganiaya tiada ampun. Bukankah di sudah ditangani hukum? Biar hukum tetap berjalan dan kita tetap kawal.

Seingat saya sewaktu masih kecil, saya sering diberi contoh-contoh ahlak Rasulallah Muhammad  oleh guru ngaji saya di suro yang menggambarkan Beliau yang penyayang, pemaaf, dan bukan pendendam. Sering dihina dan diludahi pun Beliau tetap diam. Bahkan Beliau menjenguk saat  si penghina tadi sedang sakit. Tidak pernah  guru mengaji saya  berceritera tentang perkataan-perkataan Baginda yang kasar. Cerita-cerita saat saya kecil itulah yang paling berkesan dan membekas. Mengapa kita tidak mernirunys.  Masih dilanjutkan saat di SMP dan SMA.  Tetap sama ceritanya, Beliau patut kita teladani.

Tidak ada  guru agama di sekolah yang bercerita tentang ahlak Baginda Nabi yang kasar, bengis dan mengerikan. Kenapa  kita umatnya sekarang, juga   para pemimpin agama berbicara sangat kasar, fulgar,  misalnya tentang ancaman ke Ahok yang seharusnya bisa diamputasi atau diusir dari negeri ini. Tidak sama sekali  bicara dalam  konteks Indonesia.

Sekali  lagi saya tidak mengerti  banyak tentang politik tetapi saya merasakan Indonesia akan pecah jika kita hanya memikirkan kepentingan  sentimen  pribadi, golongan atau kepentingan sesaat.  Lihat para ulama kita, dalam pembelaannya hanya dilihat dari sudut kepentingan satu kelompok saja. Pokoknya salah ya salah, itu penistaan agama. Tidak pernah melihat konteksnya. Apalagi konteks yang lebih besar, nasional. Ya Allah ampuni saya kenapa saya tetap tidak mengerti. Benarkah Allah perlu dibela. Menurutku Allah yang akan bela kita, yang akan menolong kita. Kita cukup berdoa agar hal ini jangan menjadikan bangsa ini pecah.

Sekalai lagi maaf jika banyak yang tidak sepaham. Bukan mau bela Ahok. Tidak, hukum yang harus dibela jangan ada kesan memaksa. Kita jaga wibawa negara di mata dunia jangan seperti ditekan. Saya juga heran mengapa rasa ingin membela kebhinekaan yang lebih kuat  dari pada perasaan sentiment pribadi. Biasanya kalau saya sudah memaafkan seseorang yang  minta maaf maka perasaan saya menjadi plong. Kakek saya yang juga pejuang lokal di kampung saat jaman perjuangan sering cerita tokoh Sukarno dan kawan-kawannya saat memperjuangkan dasar negara sampai pada perumusan pembukaan UUD 45.   Yang sangat berkesan adalah mengapa para tokoh agama akhirnya merelakan untuk menghilangkan frasa “dengan menjalankan syariat –syariatnya (Islam)”.  

Lebih kagum lagi orang Jawa yang mayoritas mau merelakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, mengapa bukan bahasa Jawa saja yang diangkat. Cuma satu alasannya, karena mereka para pendiri negara  sadar bahwa  kita majemuk. Teridiri dari banyak bangsa, suku, adat, dan budaya yang berbeda. Jadi, yang mayoritas tidak boleh memaksa kehendak ke pada yang minoritas. Jika tidak bisa saling memahami sudah dipastikan suatu saat Indonesia akan hancur berkeping-keping.  Jumlah satu maknanya sama dengan seribu. Itulah makna sila keempat Pancasila. Musyawrah untuk mupakat adalah jiwa demokrasi kita yang sebenarnya. Bukan ADU KUAT. Itulah mengapa voting kurang cocok dengan semangat  sila ke 4 Pancasila.

Oh ya, maaf saya sering menyebut kakek. Karena cerita-cerita beliau yang heroik sangat tertanam dalam sanubari saya. Betapa perjuangan para perintis kemerdekaan telah memikirkan nasib Indonesia  jauh ke  depan.  Tentang bahasa misalnya. Tidak ada salah satu etnis atau suku yang protes tentang bahasa nasional seperti negara lain yang masih mencari-cari bahasa nasionalnya.

Saya juga mengagumi peran Sukarno saat jaman perjuangannya dan jaman revolusi. Rasa nasionalisme yang selalu dikobarkan membawa rakyat Indonesia tetap bangga dengan negaranya. Selanjutnya kakek saya juga memberi nama saya Suharto, seorang tokoh yang sangat dikagumi  beliau saat itu. Kakek pun bercerita tentang kehebatannya saat di medanperang dan saat menumpas G30S/PKI, walaupun pada akhir-akhir ini saya prihatin karena akhirnnya nama Suharto termasuk yang dihujat sebagian masyarakat Indonesia. Tetapi pada tokok Suharto ini pun saya kagum karena  sikapnya yang menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.

Kembali ke masalah isu demo tanggal 25 November. Tidak banyak tokoh politik apalagi tokoh agama yang bicara masalah nasional, kebinekaan yang notabene adalah jatidiri kita. Saya heran mereka benar-benar tidak mau tahu, tidak tahu atau sengaja pura-pura tidak tahu. Mereka seolah melihat ini negara agama, bukan negara Indonesia yang warga penduduknya berbagai etnis, dan agama.  Supaya imbang para tokoh nasional mestinya  jangan bicara dari satu sudut saja supaya masyarakat yang cetek pengetahuan dan rasa nasionalisimenya kurang  juga bisa merasakan sebagai bangsa Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline