Lihat ke Halaman Asli

Azab Ala Pat Robertson dan Tupaitutul Semriwing

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Patroclus Robertson

.

Pat Robertson pernah menggunjingkan Haiti. Mbah Pat berusia 70 tahun ini menyatakan bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Haiti--gempa yang mencabut sekitar 300.000 nyawa--adalah azab yang memang sudah semestinya. Tanggal 13 Januari lalu, pengasuh acara obrol-obrol ”The 700 Club” di stasiun CBN ini membuat geger.

.

Dia seorang ”televangelis”, pengkhotbah televisi, dalam istilah endemik Amerika. Sembilan juta warga AS menjadi pemirsanya yang setia. Karena popularitas itu dia dapat dianggap figur berpengaruh. Saking berpengaruhnya sampai-sampai duta besar Haiti untuk AS geram tak karu-karuan setelah Pat menanggapi peristiwa gempa Haiti dengan agenda relijiusnya sendiri.

.

Seperti dikutip dari Huffington Post (15 Januari 2010), Pat berujar, ”It may be a blessing in disguise. Something happened a long time ago in Haiti, and people might not want to talk about it. Haitians were originally under the heels of the French. You know, Napoleon III, or whatever. And they got together and swore a pact to the devil...

.

--lalu dia ulas bahwa dulunya pakta pertahanan ini dibuat demi hengkangnya Perancis dari tanah pribumi, dengan bantuan oom Syaiton. Ini kisah nyata, lho, sambungnya tegas-tegas;

...and so, the devil said, ’Okay it’s a deal’. Ever since, they have been cursed by one thing after another.

.

Sejak itu, mereka dikutuk tak berkesudahan. Dalam khotbahnya, rakyat Haiti seolah sedang diazab oleh tuhan sesembahan mbah Pat.

.

Masih terasa wajar jika sesaat setelah bencana alam terdengar suara martir dari diri korban: Sang Pencipta sedang marah kepadaku. Pernyataan bahwa Pencipta marah tadi adalah bahasa expressive, dalam teori paman Husserl. Suara itu datang dari jagad verbal sang perintih sendirian. Bila seseorang hancur jiwanya akibat malapetaka lantas dengan pilu menganggap diri sebagai pihak terhukum, ia cenderung mampu menyikapi situasi eksistensial seburuk apa pun dengan penjelasan padat-ringkas: Aku pendosa yang tengah disucikan lewat cobaan dan kesengsaraan. Ke dalam pernyataan itu ia menyusupkan subjektivitas pribadi via serangkai tanda yang dimiliki fungsi-ekspresif bahasa.

.

Namun bila pernyataan sang-pencipta-marah itu datang dari antah-berantah macam dari mereka yang necis dan tak terdampak oleh malapetaka, itu bisa saja jadi ”kata-kata dakwa” perangkum tanda-tanda indicative--yang diperuntukkan bagi jagad wacana (discourse). Kata-kata yang memuat tanda-tanda indikatif dipahami, dihayati, hanya oleh pemakai-pemakai tertentu. Kata-kata itu hanya menyandang makna jika tersampaikan ke dalam kesadaran kolektif, yang dalam bahasan mbah Pat ini merujuk kepada pemirsa televisi Amerika. Lebih sempitnya lagi, kulit putih Anglo-saxon. Lebih mikro lagi, para muka-pucat yang sedang mumet dihajar krisis subprime mortgage dan kebetulan mengidap gejala kejiwaan untuk teriak berjamaah ”mampus saja kalian”, agar mereka dipersatukan dalam kebencian. Dan jelas sekali, pernyataan-tuhan-pengazab model begini bukan testimoni yang perlu disambut dengan empati.

Perihal sign, pada ujung esainya paman Husserl membuat klarifikasi: Kata sebagai jalinan tanda expressive adalah tanda yang berasal dari sesuatu. Sementara kata sebagai jalinan tanda indicative adalah tanda ke atas sesuatu.

.

Tupaitutul Semriwing pekan lalu melontarkan tanggapan sama negatifnya bagi saudara-saudara sebangsanya yang tengah dilumat musibah. Ia seakan sangat paham akan pikiran, teks, dan cara kerja tuhannya. Ia mencetak tiga lembar stiker masing-masing berisi ayat suci yang dipikirnya kontekstual lantas ditempelkannya ke jidat berdarah-darah warga Wasior, Kepulauan Mentawai dan lereng Merapi, seolah ia sendirilah agen tunggal pemegang sabda.

.

Apa tujuannya? Entah. Barangkali seorang tokoh politik-aliran (aliran keagamaan, tepatnya) mesti pertama-tama mengadopsi tuhan sebagai komoditas kampanye, kedua mengebiri tuhan ke dalam sekian karakter saja sesuai tema sosial mutakhir (i. e. mahakejam, mahatega) demi pemanfaatan momentum, dan ketiga memasarkan citra bahwa tafsir keagamaannya itu mahabenar karena toh tuhan telah membuktikannya sendiri lewat ayat-ayat bencana. Kiat-dagang tersebut sungguh menyamankan dan ekonomis, memang. Alam yang menggeliat, Tuhan yang berkata-kata, ribuan orang sedang sengsara, tapi si tokoh jualah yang memetik legitimasi dan keuntungan politis.

.

Di Amerika, bukan kali itu saja mbah Pat menyulut kontroversi. Ia pernah mengatakan hal-hal senada untuk topan Katrina dan tsunami Asia. Ia malah pernah menghalalkan pembunuhan terhadap Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang dipikirnya komunis antikristus yang tengah bersekutu dengan teroris Muslim. Sedang oom Semriwing, ah, Anda semua pasti telah menelusuri akrobat-akrobat nan ditebarnya bagi publik. Kini ratusan ribu manusia masih melata di kantung-kantung bencana, khalayak sedang remuk hati, dan mbah Pat serta oom Semriwing makin jumawa.

.

Dari menaranya yang makmur dan salih, mereka menyingkapkan azab plus pakta-setan bagi para korban. Bagi para pendukungnya, mereka menyuguhkan nubuat bejat. Dengan trik yang biar kuno namun murah-meriah, mereka membonceng bahasa ekspresif tuhan tentang bencana di dalam kitab suci, lalu menyelubunginya dengan bahasa indikatif pribadi demi agenda politis-keagamaannya sendiri yang profan, tak jauh-jauh dari logika industri tetayangan pop yang pakemnya membunuhi karakter-karakter antagonis di babak-babak tengah sampai akhir cerita. Duh, Gusti, siapa sih sesungguhnya yang sedang berpakta dengan setan?

.

Amerika, Amerika. Di alam sana, segalanya harus jadi duit. Industri agama adalah bisnis multimiliar dollar yang sangat-sangat ramah pajak. Citra tuhan bahkan (cuma) dijadikan alat eleksi, jingel komersial televisi, yang dikibar-kibarkan di atas kehancuran liyan, untuk ”pembuktian kebenaran kitab suci bahwa orang kafir pasti dilalap azab”, sekaligus tentu saja untuk memancing duit dan tepuk tangan.

.

Sedang untuk Indonesia, bencana alam memang pantas disebut "azab" bagi kita semua karena bencana-bencana tersebut selalu disusul munculnya oknum-oknum sok-dekat-dengan-tuhan yang seenak perutnya sendiri bicara bahwa bencana adalah azab.

.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline