Di Malioboro, Jogjakarta, interaksi tiga kelas lazim terjadi. Orang-orang kaya entah dari mana-mana datang membawa uang banyak, dan ingin memuaskan hasrat konsumeris dan motif kepuasan lainnya di sini. Orang-orang menengah juga memiliki kekhasan peran. Para penjaja jasa dan tenaga tak mungkin terabaikan di Malioboro. Beberapa dari kalangan terakhir itu yang akan saya ceritakan sedikit di sini.
Saya disapa sangat ramah berulang kali oleh penarik beca yang duduk menanti penumpang saat saya melintasi mereka. Tetapi di antara mereka ada seorang yang progresif. Saya menunjukkan penolakan dengan penghormatan menyatukan kedua telapak tangan saya, dana memposisikannya persis di depan kening, sambil sedikit menunduk di depan mereka tanpa berkata apa pun. Tetapi itu yang tak dapat diterima oleh seseorang yang dengan suara agak memburu berkata begini: "Iya aja kenapa sih pak? Biar aku narik barang sekali saja hari ini". Saya menyimak ucapan itu tetapi segera saja berlalu dan tak menolehnya sama sekali sembari berusaha memahami sepenuhnya maksud dia meski tak dapat mengikuti kemauannya.
Saya tak hendak manganilisisnya sebagai sebuah rayuan lazim yang kerap terjadi di sini. Tak saya anggap penting menganalisis dari sudut itu. Jika benar ia sejak pagi tadi meninggalkan anak dan isterinya yang berharap ia membawa beberapa lembar uang untuk belanja hari ini atau jika mungkin hingga untuk besok dan lusa, kira-kira apakah gerangan yang terjadi jika semua orang yang ditawarkannya (jasa) menolak seperti saya. Apa ungkapan yang akan disampaikannya kepada isterinya di rumah atau kepada anaknya yang masih balita dan menjadi lebih rewel karena lapar? Saya benar-benar pusing memikirkannya dan terhenti sejenak, hendak berbalik mengajak untuk mengayuh becanya sebagai alasan untuk memberi. Tetapi tak saya lakukan. Tak saya lakukan itu.
Sejumlah anak muda sangat serius, antara sedang berlatih dan berpertunjukan dengan berbagai alat musik bervariasi. Sangat harmonis lagu yang mereka mainkan. Saya coba mendekat, dan mereka tak memberi reaksi apa pun dan sama sekali tak seorang pun yang kelihatan merasa keberatan atau bergembira didekati. Juga ketika saya arahkan kamera kepada mereka untuk membuat gambar dan video. Saya bergeser ke belakang mereka dan meneruskan perekaman gambar (video). Tidak bereaksi. Saya memutuskan secara egoistik bahwa urusan dengan mereka sudah selesai, dan saya beranjak.
Sulitlah bagi saya membaca pesan universal mereka tanpa berbicara barang satu dua patah kata atau mengajukan pertanyaan. Tetapi saya merasa malam ini membiarkan seperti itu saja sudah cukup. Ya, cukup. Biarlah tak semua pertanyaan tak berjawab hari ini.
Tiba-tiba langkah saya harus berhenti, meski masih tetap mendengar suara musik dari lokasi yang baru saja saya tinggalkan. Sebuah pemandangan yang unik ada di depan. Dua belas sepatu yang bukan 6 (enam) pasang diletakkan di trotoar, dengan bercak-bercak hitam, menuju sebuah objek. Objek itu seperti menjulangkan sejumlah masalah. Saya harus membuat fotonya, juga video berdurasi singkat. Tak ada tempat untuk sungkan, karena tak seorang pun saya temui di sini. Bisu memang kelihatannya, tetapi jelas tak diam.
Kotak-kotak yang disusun menjulang itu berisi banyak kalimat yang memperstukan banyak ufuk menjadi satu: marginalisasi. Atau kemiskikan. Ketak-tersentuhan, dan keterabaian. Jelas semua itu meminta sebuah pertanggungjawaban. Saya tak akan menyebut mereka sedang berkampanye damai. Tetapi seolah dapat saya pertanggungjawabkan jika saya katakan bahwa sebetulnya mereka kecewa kepada negara yang tak melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Tak ada di situ pasal-pasal dari UUD 1945. Mungkin mereka hanya ingin memaksa agar setiap orang yang menyaksikan berkesimpulan dan berkata kepada dirinya sendiri. Ini sudah bukan lagi sebuah ketukan ke pintu hati nurani.
Jika pak Nardi Sutrisno sang "Presiden" sebuah delman berkata kepada saya dengan tulus bahwa ia boleh difoto dan mau saya wawancarai. Usia kudanya yang menyertainya berjuang mempertahankan hidup pada malam hari ini 15 tahun. Dia masih memiliki seekor yang lain. Artinya ia amat manusiawi mempergilirkan beban kepada dua ekor kuda miliknya. Waktu saya temui ia sedang memberi makan dengan daun kacang yang ia beli Rp 5 ribu. Penghasilannya sendiri tak menentu. Terkadang dapat Rp 100.000, juga pernah Rp 200.000 atau lebih, dan itu bisa seling dan selang dengan kekosongan penghasilan sama sekali.
Tentram nama kudanya. Ia tersenyum lebar ketika saya sambungkan saja nama kuda itu dengan sebutan lazim dalam cita-cita budaya Jawa: "toto tentram kerta raharja, gemah ripah loh jinawi".
"Anakku dua orang", katanya. Anak putri sudah memberinya cucu, dan kini bersama suaminya membuka usaha pijat refleksi. Saya tinggalkan dia dengan sebuah salaman hangat dan ucapan terimakasih dan Assalamu 'alaikum wr.wb. Ia akan segera pulang ke Bantul.