Lihat ke Halaman Asli

Pleno KPU

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di antara banyak hal yang menarik pasca pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) tanggal 9 Juli 2014 ialah klaim kemenangan melalui lembaga-lembaga survei. Bagi sebagian orang, ini hanyalah fenomena lain yang mirip, yang terjadi selama musim kampanye, yakni keberpihakan tak proporsional media tertentu dengan alasan yang sama sekali sulit difahami oleh publik. Klaim kemenangan dengan bermodalkan hasil quick count lembaga survei dengan mudah menggambarkan betapa rakyat di bawah dibuat sangat bingung.

Bagi saya ini hanyalah sisi lain dari kelanjutan saja dari sebuah ketak-siapan untuk menang atau kalah dengan terhormat dan ksatria. Selain itu hasil quick count tampaknya sudah digunakan sebesar-besarnya untuk mempertontonkan ketidak-percayaan atas integritas penyelenggara pemilu, lemahnya moralitas bangsa dan goyahnya nilai-nilai akademis di depan kepentingan politik. Tetapi jika orang sudah tak percaya lagi kepada penyelenggara, dasar apa pula dapat lebih percaya kepada lembaga survei yang notabene juga menunjukkan keberpihakan? Saya kira kinerja tim PKS yang memilih lebih mempersiapkan real count dengan “pengamanan” formulir C1 adalah jalan terbaik, bahkan jika nanti pilpres harus berurusan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Di level bawah warga masyarakat banyak yang berfikir “kan lebih banyak lembaga survei yang memenangkan pasangan tertentu? Sudah menanglah itu”. Sebagai bentuk penolakan atas pikiran itu, di tengah masyarakat juga muncul pikiran “kalau begitu mengapa tak dari awal kedua pasangan Calon Presiden (Capres) ini membayar lebih banyak lembaga survei dan bahkan bikin lagi yang baru (hingga terdapat di setiap provinsi) untuk memberi kemenangan kepada pasangannya?” Tentu saja Pilpres itu adalah mekanisme konstitusional mengumpul suara rakyat, bukan suara lembaga survei. Akan sangat terasa cengeng satu pasangan jika akan menuduh pasangan lain berbuat curang jika nanti hasil akhir pilpres (berdasarkan perhitungan final manual KPU) tak sesuai dengan hasil quick count lembaga survei yang memenangkannya.

**********

Pilpres 2014 berlangsung di bawah bayang-bayang buruknya pileg 9 April 2014. Susah menepis ketidak-profesionalan penyelenggara, ketidak-jujuran mereka, dan ketidak-adilan berbagai aspek dalam proses yang mampu mereka berikan. Masalah integritas penyelenggara ternyata begitu menonjol. Tak hanya terbukti dengan banyaknya oknum penyelenggara yang diberhentikan. Buruknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan ketidak-terandalan sistem yang dibangun seperti manfaat formulir C1 yang sejatinya menjadi alat kontrol (tetapi justru menjadi “komoditi dagangan”), adalah sebagain kecil dari keburukan yang dapat dengan mudah ditunjukkan.

Dalam pileg 2014 telah kita catat keniscayaan terbangunnya dimensi “maksiat politik” yang mempertemukan interes oknum-oknum penyelenggara yang buruk dengan caleg dan rakyat pemilih, dengan praktik money politic yang tak pernah terjejaki, apalagi dijerat hukum. Dengan ditambah law enforcement yang sangat lemah, maka ciri umum pemilu Indonesia yang menjelaskan bahwa negeri ini tak pernah memiliki data politik yang benar, kecuali data klaim politik (yang dilegalkan) belaka, sulit dibantah. Jumlah oknum penyelenggara yang diberhentikan itu tentulah belum sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mengeluhkan banyak hal. Saya sendiri percaya bahwa keadaan ini sudah melampaui catatan keburukan perhelatan yang sama sepanjang sejarah politik Indonesia. Jangan lupa, ada dimensi yang meniscayakan dari hulu berupa legal-framewrok yang diciptakan oleh lembaga legislatif (DPR-RI), yang menjadi sebab awal terjadinya segala macam kecurangan pada dimensi tengah proses. Begitu juga pada dimensi hilir proses.

Rasa takut dicurangi tentu ada pada setiap pasangan Capres. Rasa takut itu direferensi terutama oleh “praktik bersama” dalam melaksanakan pileg. Artinya, ini ketakutan bersama yang diciptakan bersama. Mengapa begitu? Kita tidak hanya perlu mencatat gugatan (judicial review) terkabul di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa semestinya pileg dan pilpres terlaksana serempak sesuai kemauan UUD 1945. Tetapi kita pun harus “menerima” tahapan Pilpres diselenggarakan dengan berbasis hitungan perolehan suara partai pada pileg yang masih dipersengketakan di MK. Untuk diketahui, jumlahnya memecahkan rekor sepanjang sejarah, meski jumlah partainya menurun. Menurut Ketua MK, Hamdan Zoelva, jumlahnya mencapai 767 perkara. Jauh lebih banyak dibanding kasus 2004 dan 2009.

Proses dan tahapan pilpres yang dimulai sebelum keputusan (MK) tentang sengketa pileg adalah gambaran tentang bagaimana peradilan yang harus berlangsung di MK. Saya kira maksudnya adalah MK tidak boleh merubah perolehan suara partai. Untunglah hanya ada 2 pasangan Capres yang diajukan. Sebab jika dengan perubahan perolehan suara partai dengan 3 atau 4 pasangan Capres, tentulah dengan sendirinya Indonesia harus kembali meninjau pasangan itu, apalagi, misalnya, hasil persidangan MK merontokkan posisi partai pemenang. Tetapi itu kelihatan sudah sangat diantisipasi. Kurang lebih begitu, persidangan MK tak boleh merubah perolehan suara partai. Ketika penyelenggara dipertanyakan soal ini, mereka cenderung mengajukan alasan yang sangat tak masuk akal, yakni pensakralan tahapan pemilu 2014.

Dalam catatan saya, dalam proses pileg memang sudah dibungkam terlebih dahulu potensi pembengkakan jumlah gugatan dengan siasat gertak pada waktu lebih dini. Kerap orang yang protes dalam perhitungan awal suara disodori formulir untuk diundang ke MK. Penduduk sedemokratik apa yang mau mengongkosi dirinya ke Jakarta berhadapan dengan penyelenggara dan lawan perkara (caleg) di depan Ketua MK Hamdan Zoelva hanya untuk mengutarakan adanya 15 suara yang dinilainya digelapkan saat perhtungan di TPS? Orang-orang gagah yang berniat menegakkan pemilu yang jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya telah dibungkam secara sistematis. Selain itu, jika formulir C1 pun dianggap komoditi dagangan dan akses masyarakat, bahkan caleg, tak dibuka untuk memeroleh itu, maka pertanyaan seputar ini sebetulnya sudah diharamkan sama sekali.

**********

Kita tentu masih ingat bahwa prediksi dari berbagai lembaga survei (2012) yang kini juga ikut melakukan quick count menunjukkan penurunan yang sangat tajam perolehan suara partai politik Islam (jika digabung keseluruhan hanya sebesar 21,1%). Ada juga yang menyebutkan (2013) bahwa dukungan terhadap parpol berbasis pendukung Islam terus mengalami penurunan seperti PKB (5,6%), PPP (4,1%), PKS (2,7%) dan PAN (1,5%). Tetapi semua itu tidak terbukti, sebagaimana Jokowi effect yang sangat dipercaya oleh lembaga survei tertentu akan membawa PDIP ke kemenangan fantastis pada pemilu 2014.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline