Lihat ke Halaman Asli

Musashi: The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings (17)

Diperbarui: 2 Juni 2016   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jadi ini yang namanya jitte

Bennosuke tersenyum sambil memandangi senjata dalam genggamannya itu. Ayah begitu mahir menggunakan benda ini.

Walaupun jitte tersebut tidak lebih panjang dari bokken miliknya, namun senjata itu terlihat begitu besar di tangan Bennosuke. Genggaman tangan Bennosuke sebenarnya berukuran lebih besar dan kokoh dibandingkan dengan anak-anak seusianya, tetapi ketika ia menggenggam sepasang jitte itu di kedua tangannya, ia semakin terlihat kecil sedangkan senjata itu menjadi terlihat jauh lebih besar dari ukuran sebenarnya.

Berbeda dengan bokken yang dibuatnya sendiri dengan menyesuaikan ukurannya – proporsional dengan tinggi tubuh dan panjang lengannya, jitte itu berukuran normal layaknya senjata untuk orang dewasa.

Bennosuke mengayunkan sepasang senjata itu seolah-olah sedang memotong jalur ayunan pedang lawannya.

Ugh! Berat juga! Jika hanya dipegang-pegang saja dan digerakkan sebentar – diayun ke kiri dan ke kanan, senjata itu tidak terasa berat. Tetapi jika digunakan untuk berlatih selama beberapa menit barulah terasa betapa sulit mengayunkan jitte itu dan berat senjata itu juga membuat lengan Bennosuke terasa pegal.

Jitte digunakan untuk menangkis sekaligus menahan dan menjepit mata pedang lawan. Dengan satu gerakan memuntir yang kuat dan cepat, pedang lawan dapat terlepas dari genggamannya. Tentu saja gerakan memuntir tersebut harus sedemikian cepat dan kuat hingga lawan tidak sempat menahannya. Puntiran itu akan menyebabkan kedua lengan lawan yang memegang pedang itu terpelintir – ikut terbawa gerakan tangan yang memuntir tersebut dan terpaksa melepaskan pedangnya. Jika pedang tetap dipertahankan, besar kemungkinan tangan lawan tersebut akan cedera – terkilir atau bahkan mungkin patah di bagian pergelangan atau sikunya.

Pendekar pedang yang berpengalaman memiliki genggaman tangan yang kuat sehingga pedang yang dipegang dengan dua tangannya itu seolah-olah sudah menyatu menjadi bagian tubuhnya. Pedang yang digenggam dengan kuat seperti itu tentu sangat sulit digoyahkan apalagi dibuat terlepas dari tangan yang memegangnya. Tindakan merebut pedang tersebut dengan jitte sepertinya merupakan hal yang mustahil. Diperlukan satu teknik khusus ketika berhadapan dengan lawan seperti itu. Teknik yang disebut tipu muslihat.

Ketika kekuatan lawan tidak bisa ditaklukkan dengan kekuatan kita – yang berarti kedua pihak memiliki kekuatan seimbang atau sama-sama kuat, pihak yang memiliki taktik yang lebih unggullah yang akan memenangkan pertarungan.

Sambil terus menggerakkan jitte di kedua tangannya, Bennosuke mencoba mengingat-ingat pertarungan yang dilakukan oleh ayahnya – menggunakan jitte untuk merebut pedang lawan.

Munisai sangat menguasai teknik merebut pedang lawan dengan jitte – ia biasanya berhasil memuntir dan menarik pedang lawan, setelah sebelumnya menjepit pedang lawan dengan jitte tersebut dan membuat lawannya menyerang ke arah yang ‘salah’ – yang mengakibatkannya berada dalam posisi kuda-kuda yang tidak seimbang karena terlalu memaksakan ayunan pedang ke posisi yang tanpa disadarinya ‘diarahkan’ oleh Munisai. Dengan cara itu genggaman pedang lawan menjadi lemah karena pergelangan tangannya sudah dalam keadaan terpelintir dan jika ia tetap memaksa mempertahankan pedangnya, kemungkinan besar ia akan jatuh terbawa gerakan tubuhnyayang berada dalam posisi yang ‘tidak pas’ dengan kuda-kudanya itu. Suatu keadaan yang bisa dikatakan jauh lebih baik daripada mengalami patah persendian pergelangan tangan atau siku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline