Munisai seperti termenung. Tatapan matanya memandang kosong ke shoji yang terbuka – memerhatikan keadaan di luar. Tampak dedaunan berwarna merah yang mulai berguguran satu per satu, helai demi helai – hari ini, lebih banyak dari kemarin, ataupun hari-hari sebelumnya.
Sudah mulai musim gugur.
Seandainya dia bukan putraku. Seandainya saja dia anak seorangdaimyo, mungkin kehidupannya akan berubah. Aku tahu dia memiliki bakat dan potensi yang luar biasa. Dia juga sangat cerdas …
Ia menghela napas lalu memalingkan wajahnya menatap Dorin.
“Bennosuke …” katanya.
Dorin mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Saat ini mereka berdua sedang duduk bersila di ruangan tempat ia biasa mengajarkan sejarah kepada Bennosuke. Munisai duduk di hadapannya sambil sesekali memandang ke luar. Siang hari di musim gugur, ketika hari menjelang sore, matahari akan terbenam lebih cepat dari musim sebelumnya.
Dorin menyadari kegundahan hati Munisai. Ia mengetahui Munisai memiliki harapan yang tinggi akan Bennosuke. Semenjak anak itu mampu memegang kuas dan mulai menggambar berbagai macam benda, Munisai sudah membanggakannya di hadapan Dorin. Padahal saat itu usia Bennosuke belum genap empat tahun.
Ia memuji Bennosuke sebagai anak yang cerdas dan berbakat.
“Aku ingin dia tidak menyesali kepergiannya dari rumah ini.” Munisai seperti berkata pada dirinya sendiri. “Aku ingin … dia tidak mau mengingat lagi segala hal yang ada ataupun pernah terjadi di rumah ini. Rumah ini sudah sepantasnya tidak lagi menjadi bagian hidupnya. Tidak lagi menjadi bagian masa lalunya.”
Dorin masih terdiam. Ia mengetahui hubungan yang tidak harmonis antara istri kedua Munisai – Yoshiko, dan Bennosuke membuat Munisai harus mengambil langkah ini. Tidak sedikit pun Yoshiko memperlihatkan perasaan suka kepada anak tirinya itu, boro-boro menyayanginya.
Munisai rupanya ingin Bennosuke fokus pada kehidupan barunya kelak. Jangan lagi ada hal apa pun dari masa lalu yang mengganggu anak itu – khususnya relasi Bennosuke dengan ibu tirinya.