“Segala hal harus dilihat dan dipahami sebagaimana apa adanya. Apakah itu benda mati, makhluk hidup, sesuatu yang berwujud, tidak berwujud, ataupun sesuatu yang abstrak – tidak ada yang lebih baik atau lebih jelek. Semua tergantung dari sudut mana kita memandangnya dan mampukah kita mengambil manfaat darinya.”
Bennosuke terus memerhatikan penjelasan Dorin. Kali ini ia terlihat lebih antusias daripada biasanya.
Ini pasti filosofi ilmu pedang!
“Kotoran kuda, sapi, dan binatang lainnya pun berguna karena bisa menyuburkan tanah.”
Bennosuke langsung memalingkan wajahnya. Kembali menekuni kertas di hadapannya. Dia terlihat mendongkol.
Apa-apaan sih, Paman ini? Kenapa sekarang jadi membahas kotoran kuda, sapi, dan binatang lainnya segala macam? Malas banget …
“Ingat, Bennosuke, sapukan kuasmu perlahan-lahan. Kita mempelajari huruf dari yang gampang terlebih dahulu. Huruf yang mudah dituliskan – to dan chikara.”
Dorin kembali memberi pelajaran tentang tulis-menulis. Ia seolah-olah tidak pernah membahas hal lain selain cara menuliskan huruf-huruf kanji ini.
Rupanya pelajaran ilmu pedangnya selesai sampai di situ saja.
Bennosuke terdiam dan mulai menuliskan aksara itu. Ia menyapukan kuasnya perlahan-lahan sesuai instruksi pamannya.
Perlahan-lahan dan lakukan dari yang gampang terlebih dahulu.