Lihat ke Halaman Asli

Manusia Atlantis (2)

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Berapa banyak orang yang terluka?” tanyaku.

“Tidak banyak,” jawab Pretty.

Aku terdiam. Kenapa aku bisa terlempar begitu jauh sementara tidak banyak orang yang terluka? Padahal puing-puing berukuran besar bertebaran di sekelilingku. Bagaimana jika puing-puing ini menimpa orang-orang yang sedang berlari meninggalkan lokasi ledakan untuk menyelamatkan diri?

Aku mencoba bangkit berdiri. Bisa. Nanotech memang hebat! Aku mampu pulih dengan cepat.

Namun demikian aku tidak minta untuk menjadi seperti ini.

Kukira tak seorang pun meminta untuk dijadikan seperti diriku ini: sesosok cyborg.

Aku memang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Aku juga mampu menyembuhkan diriku sendiri dengan cepat. Boleh dibilang aku adalah manusia super yang tak terkalahkan.

Ayahku yang menjadikanku cyborg. Ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diriku. Sebenarnya aku sendiri tidak ingat peristiwa apa yang menyebabkanku harus menjalani prosedur penyelamatan seperti ini. Aku hanya ingat malam yang gelap dan kemudian langit menjadi terang benderang. Aku teringat ada api yang membakar diriku. Rasa kesakitan dan panas yang luar biasa. Kemudian ketika aku tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Perlu waktu beberapa minggu untuk beradaptasi – secara mental dan fisik, pada kemampuanku setelah mengalami upgrade tersebut. Walaupun sulit untuk menerima kenyataan bahwa aku bukan lagi manusia seutuhnya, aku tidak menyalahkan ayahku. Tak ada orangtua yang ingin anaknya menderita – mereka selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Aku tidak membutuhkan psikolog untuk memulihkan kondisi mentalku. Internet jauh lebih bermanfaat daripada sekumpulan psikolog yang sangat rewel dan mau tahu urusan pribadiku (padahal sebenarnya itu memang tugas mereka). Aku mampu mencari informasi dan mempelajarinya – cara untuk mengembalikan kepercayaan diriku. Bagusnya aku mampu menyimpan semua hal yang kubaca di internet karena kemampuan otakku meningkat secara drastis – jauh melebih kapasitas memori otak manusia normal yang mendekati 2,5 petabytes (2.500 terabytes). Aku tidak perlu menghapal apa pun. Kecepatan membacaku juga sangat menakjubkan. Aku juga terhubung dengan internet selama 24 jam setiap hari. Bahkan di kala tidur pun aku masih bisa mengunduh semua informasi yang kubutuhkan. Jadi, mengapa aku harus kecewa dan tidak bisa menerima kenyataan? Untuk berkomunikasi pun aku tidak membutuhkan ponsel atau smart phone, mataku bisa menampilkan informasi seperti apa yang diperlihatkan oleh Google Glass – bahkan lebih canggih.

Ketika aku meng-google peristiwa – kecelakaan, yang berkaitan dengan diriku waktu itu, hari-hari sebelum aku harus berbaring di meja operasi, tidak banyak yang kutemukan. Setelah mencoba meng-hack beberapa situs, aku menemukan informasi highly classified – sangat rahasia, di laman TNI AU mengenai kecelakaan yang melibatkan sesuatu yang mereka sebut (code name) sebagai UFO. Apakah kecelakaan itu yang membuatku nyaris mati? Aku tak tahu. Ada sosok yang samar-samar kuingat – manusia, bukan alien, yang mengendarai wahana canggih yang disebut UFO itu. Manusia yang sepertinya sempat berbicara, mengatakan sesuatu, menyampaikan pesan. Sesuatu yang berhubungan dengan diriku.

Hanya sampai di situ. Aku tidak mampu mengingat lebih jauh lagi.

Aku menatap Pretty yang saat ini sedang memandangku.

“Kenapa?” tanyaku.

Ia menggelengkan kepalanya.

Terkadang aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan gadis ini. Ia sepertinya mampu membaca pikiran orang lain. Tetapi aku tidak ingin berburuk sangka kepadanya.

“Kamu sudah tidak apa-apa? Sudah oke?” tanyanya sambil terus memandangku.

“Ehm… sepertinya begitu,” jawabku setelah memindai dan mengecek status fisikku. Kaki dan tanganku yang patah sepertinya belum berfungsi dengan normal. Namun hal itu tidak menjadi masalah bagiku, toh aku punya dua tangan dan dua kaki.

“I wish I could see the results of your physical condition checking,” katanya.

Kenapa makhluk ini selalu ingin tahu masalah pribadi orang lain, batinku.

“Dream on,” jawabku sekenanya.

Pretty mengangkat kedua bahunya.

Aku lalu mencoba melangkah sambil menjaga keseimbangan tubuhku. Walaupun belum bisa dikatakan sempurna namun aku mampu melakukannya, perlahan tetapi mampu mengimbangi kecepatan melangkah Pretty.

Kami lalu berjalan bersama-sama menuju rumahku. Sisa-sisa rumahku.

Aku tak tahu apa yang akan kami temukan di sana.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline