Lihat ke Halaman Asli

Manusia Atlantis (7)

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tak bisa kupercaya!

Yon membunuh Pretty! Yon, orang yang kukenal semenjak SMA …. dia menyembelih Pretty tepat di depan mataku.

Pretty yang begitu kuat dan mampu menaklukkanku, mati dibunuh di depan mataku. Kenapa ia tidak berdaya menghadapi Yon? Mengapa ia tidak menggunakan kekuatan telekinesisnya untuk menundukkan Yon?

Aku meraba luka di lehernya. Darah Pretty yang ada di ujung jariku langsung kuperiksa – ya, aku mampu melakukan semacam lab test hanya dengan sentuhan ujung jariku.

Morfin. Aku mendeteksi adanya morfin dalam darah Pretty. Sudah umum bagian medis, dokter, di militer membawa morfin. Tujuannya untuk menghilangkan rasa sakit prajurit yang terluka di medan perang. Morfin memang bisa dipergunakan secara legal untuk keperluan medis. Efek samping morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan yang kabur.

Rupanya morfin ini yang mengacaukan pikiran Pretty sehingga ia tidak bisa berkonsentrasi dan menggunakan kekuatan telekinesisnya untuk menghajar Yon.

Morfin yang tidak mempunyai efek apa-apa pada tubuhku ternyata bisa mempengaruhi Pretty sampai sedemikian rupa. Aku sendiri tak mempan diracun. Aku mempunyai proteksi terhadap zat kimia berbahaya, termasuk racun dan narkoba. Tubuhku mampu menyeleksi berbagai macam zat kimia yang masuk – terserap ataupun terkonsumsi. Obat-obatan bisa kuterima dan diserap tubuhku tetapi racun dan sebagainya yang masuk ke dalam darahku, tertelan ke dalam lambung, terhisap lewat saluran pernapasan, ataupun menyerap lewat kulit akan langsung terisolasi untuk kemudian dibuang keluar tubuhku.

“Bangun!” bentak Yon.

Kutatap tajam matanya.

Yon balas menatapku.

“Aku tahu kau punya semacam healing factor,” katanya lagi.

Aku mendekap tubuh Pretty yang sudah tidak bernyawa itu.

Aku berusaha bangkit berdiri dengan Pretty tetap dalam pelukanku.

“Apa perlu sampai membunuhnya?” tanyaku gusar.

“Tindakanmu yang tidak kooperatif itujuga turut mempengaruhi keputusanku – berarti kau juga berpartisipasi dalam pembunuhan ini,” jawabnya dingin.

“Apa pun tindakan yang dilakukan seseorang, selalu ada pembenaran untuk itu,” kataku mengejek.

Yon mendelik. Aku menduga ia akan menendangku – seperti biasa dilakukan aparat arogan yang bisanya menindas warga sipil.

Tetapi Yon tidak melakukannya. Ia hanya mendelik.

Heh, rupanya ia tidak yakin kalau ia mampu melakukannya. Mau menendang seorang cyborg? Coba saja!

Aku menangkap kehadiran orang lain. Ia berjalan menuju tempat kami.

Seorang prajurit mendekati Yon. Ia mengenakan penutup wajah.

“Ada apa?” tanya Yon sambil menyarungkan kembali pisaunya.

Tanpa diduga, si prajurit mengeluarkan pistolnya dan mengarahkan senjata itu kepada Yon.

“Hei! Apa kau sudah gila?” bentak Yon sambil bergerak maju bermaksud menepis pistol itu.

“DOR! DOR! DOR!”

Terlambat. Yon tersungkur setelah tiga kali ditembak.

Aku terkejut melihat kejadian itu. Ada apa ini? Pemberontakan?

“Ayo, cepat!” kata si prajurit kepadaku. Ia segera meraih tanganku.

Terhuyung-huyung aku mengikutinya. Pretty masih tetap dalam dekapanku. Aku lalu menggendongnya.

Kuamati keadaan Yon. Ia tampak berguling-gulingan. Masih hidup.

“Kami memakai rompi antipeluru,” katanya seolah-olah membaca pikiranku.

“Tetapi ia mengalami kesakitan luar biasa,” kataku – kulihat Yon masih berbaring terlentang, belum bisa bangun.

“Pastinya begitu – jarak tembaknya terlalu dekat, hanya tiga meter.”

Aku mengangguk. Peluru karet pun bisa membunuh orang dalam jarak sedekat itu.

Kulihat postur tubuh si prajurit dan kuanalisis suaranya.

Tenyata ia seorang wanita. Memang ada beberapa wanita yang menjadi bagian dari pasukan elit TNI. Mereka umumnya bertugas untuk mendampingi dan melindungi istri pejabat tinggi, menteri perempuan, dan terutama sekali First Lady – Ibu Negara.

Tubuhku mulai pulih. Kerusakan jaringan ototku tampaknya sudah berhasil diperbaiki.

Aku berlari cepat dan tampaknya si prajurit juga bisa mengimbangi kecepatan lariku. Luar biasa, pasukan khusus memang beda kekuatan fisiknya.

“Ini aku.”

Aku mendengar suara Pretty di otakku.

Pretty? Aku memperhatikan Pretty dalam gendonganku. Masa mayat bisa berkomunikasi?

“Bukan di situ, di sini,” kata si serdadu sambil menunjuk dadanya – ia menoleh ke arahku sambil terus berlari.

“Oh?” aku terkejut.

“Iya, aku bisa mentransfer pikiranku ke serdadu ini. Tetapi hanya untuk sementara,” katanya lagi.

Rupanya Pretty berhasil memindahkan pikirannya – seperti migrasi data pada komputer saja. Tetapi tidak bisa permanen, pikirku.

“Sebenarnya bisa permanen, tetapi kan kasihan. Nona ini juga memiliki kehidupannya sendiri, ia memiliki keluarga, pacar, dan teman-temannya. Tidak seharusnya aku merampas itu semua demi kepentingan diriku.”

Aku manggut-manggut. Tumben ia bicara seperti itu. Seperti berfilsafat saja.

Jangan-jangan masih belum sadar sepenuhnya.

“Tubuh serdadu ini bebas dari pengaruh morfin jadi pikiranku tidak terganggu,” katanya.

Aku kembali manggut-manggut.

“Pikiranmu tidak bisa kembali ke tubuh yang kugendong ini?” tanyaku.

“Negatif,” jawabnya.

“Kalau begitu…”

“Nanti saja kujelaskan,” katanya lagi.

Ia memberi tanda untuk terus mengikutinya.

“Kita ketahuan,” kataku. Aku mendengar keributan yang terjadi di tempat Yon ditembak Pretty.

“Hm,” Pretty mengangguk.

Aku terus mendengarkan apa yang terjadi di sana. Rupanya Yon menyadari kalau prajuritnya itu “dikendalikan” oleh orang lain. Ada orang yang mempengaruhi pikiran anak buahnya itu. Prajurit yang tubuhnya dipinjam Pretty ternyata seorang kidal, sedangkan ia tadi menodongkan pistolnya dengan tangan kanan. Sesuatu yang tidak akan luput dari perhatian Yon – walaupun ketika menembakkan senjata itu, si prajurit menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam pistol. Prosedur standar agar pistol lebih stabil saat ditembakkan dan arah tembakan tidak berubah adalah dengan menggenggamnya dengan dua tangan.

Yon menginginkan anak buahnya itu berhasil ditangkap hidup-hidup, sedangkan aku – aku akan dibunuh jika melawan.

“Gideon itu cyborg. Kau tidak tahu?” tanya Pretty.

Aku terkejut. Yon juga seorang cyborg! Aku memang tidak memindai Yon jadi aku tidak mengetahui kalau Yon juga seorang cyborg.

“Seandainya kaupindai pun, kau tidak akan mengetahuinya,” katanya lagi.

“Yon itu cyborg khusus tempur – battle type, yang banyak menggunakan plastik dan keramik, beda dengan kamu yang … “

“Jadi Yon itu cyborg KW 2?” tanyaku mencoba melucu.

“Wait till you fight him,” kata Pretty.

Aku tertawa. Sejujurnya aku tidak takut pada Yon. Plastik dan keramik? Berarti Yon termasuk cyborg keluaran mutakhir. Well, lebih modern belum tentu lebih hebat.

“Ada berapa cyborg yang dimiliki TNI?” tanyaku.

“Aku tak bisa menjawabnya. Rahasia negara,” katanya.

Sepertinya Pretty enggan mencari informasi tersebut dan membiarkan si serdadu wanita itu yang menjawabnya.

Menurut dugaanku, di setiap korps pasukan khusus TNI pasti terdapat cyborg.

Kami ternyata menuju ke bungker bawah tanah, tempat aku ditahan oleh Pretty sebelumnya. Berarti tempat ini masih utuh. Yon belum mengetahui keberadaan tempat ini. Ada selokan kering selebar satu meter. Selokan itu merupakan kamuflase. Di pertengahan selokan ada persimpangan yang menuju ke pintu masuk bungker tersebut. Persimpangan tersebut ditutupi tumbuhan yang rimbun sehingga tidak akan terlihat dari luar.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline