Kami – aku dan “Pretty yang baru”, memindahkan mayat “Pretty yang lama”, memasukkannya ke dalam sebuah mesin yang cukup besar, suatu incinerator, lalu mengkremasinya.
Kulihat tak ada ekspresi apa pun pada wajahnya. Mungkinkah ini bukan yang pertama kalinya? Aku sendiri tidak bisa membayangkan diriku melihat tubuhku atau mayatku sendiri dikremasi. Akan seperti apa perasaanku itu?
“Biasa-biasa saja kali,” kata Pretty - nyeletuk.
Aku langsung sewot mendengarnya.
“Celetukanmu itu …”
“Kenapa?” tanyanya
“Tidak sensitif,” jawabku.
“Heh?” ia memandangku sambil menyeringai.
Aku terdiam dan berpikir – kata-kata yang diucapkannya dengan ringan itu ternyata mengusik pikiranku.
“Segala sesuatu hal akan berkesan jika kita memang menginginkannya demikian. Jika tidak, ya tidak akan ada kesan apa pun,” katanya lagi.
Aku memandangnya. Kata-kata itu hanya bisa diucapkan oleh orang yang telah mengalami banyak hal tanpa terpengaruh olehnya. Orang yang sudah berumur. Sedangkan Pretty?
Pretty seorang immortal! Dia akan terus hidup dan tak akan pernah bisa mati.
Aku tertegun.
“Kamu juga immortal,” katanya.
Aku kembali memandangnya. Bingung.
“Apa itu maksudnya …. aku immortal?” tanyaku.
“Nanotech,” jawabnya singkat – tanpa mempedulikan raut wajahku yang mengekspresikan kebingungan itu.
“Dengan mesin nano itu di tubuhmu, kamu tidak akan bisa mati,” kata Pretty menatapku dengan tajam.
“Tidak,” jawabku. “Aku akan mati kalau di…”
“Ugh…” terdengar suara erangan.
Kami berdua langsung menoleh ke asal suara itu.
Si prajurit cantik itu sepertinya mulai siuman. Aku tadi membaringkannya di tempat yang sama dengan tempat “Pretty yang lama” berbaring sebelum ia kami pindahkan ke incinerator. Tempat si prajurit berbaring itu berupa ranjang atau pembaringan yang dilengkapi dengan roda di keempat kakinya.
“Aku akan mengurusnya. Sebentar ya,” kata Pretty. Ia lalu mendorong pembaringan beserta si prajurit cantik itu ke arah incinerator.
“Hei!” teriakku – terkejut.
“Kenapa?” tanyanya. Pretty berhenti mendorong dan memandangku dengan heran. Ia lalu menatap incinerator di hadapannya.
“Oooh…” katanya.
Ia tertawa geli dan melanjutkan mendorong pembaringan itu – berbelok ke kanan, melewati incinerator. Rupanya ia menuju ke ruangan di sebelahnya. Aku berjalan mengikutinya.
Di tengah-tengah ruangan ia berhenti.
“Kau akan mati kalau dibom nuklir. Itu yang tadi ingin kau katakan kan?” Pretty menegaskan.
Aku mengangguk.
“Berapa kans kamu bakalan dinuklir?” tanyanya.
Aku terdiam. Kecil sekali peluang untuk itu – bahkan boleh dibilang nol. Siapa yang mau bersusah payah menggunakan senjata nuklir hanya untuk membunuhku? Nobody.
Pretty kembali mengalihkan pandangannya ke si prajurit di pembaringan di hadapannya.
“Apa yang terjadi di sini tidak boleh diketahui oleh pihak ketiga,” katanya sambil berjalan ke sisi kanan pembaringan.
Ia mendekati si prajurit yang masih belum sadar sepenuhnya itu.
Pretty meletakkan kedua tangannya di pipi si prajurit. Jari-jari tangan Pretty menekan pelipisnya – kecuali kedua ibu jarinya yang menekan daerah di bawah kelopak mata.
Aku sepertinya pernah mengalami hal yang sama dengan yang saat ini dialami oleh si prajurit.
“Sheva,” kata Pretty.
“Apa?” tanyaku – tidak mengerti.
“Sheva, namanya Sheva,” katanya lagi sambil menggerakkan dagunya ke depan – ke arah wajah si prajurit.
Oh, maksudnya nama si prajurit cantik itu.
Aku memperhatikan apa yang dilakukan Pretty pada Sheva.
Benar. Aku pernah mengalaminya.
“Nanti giliranmu,” kata Pretty.
Pretty tampak penuh konsentrasi. Jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti memilah-milah sesuatu.
Ia lalu mengangguk ke arahku.
Sudah selesai rupanya.
“Ia tidak akan ingat tempat ini, ia juga tidak akan ingat kalau ia sudah menembak Gideon.”
“Singkatnya, ingatannya terhenti pada waktu ….” aku ragu-ragu sejenak. “Pada waktu kamu masuk ke dalam pikirannya dan mengambil alih tubuhnya,.”
“Ya, dan akan berlanjut pada saat kita membawanya keluar dari bungker ini.”
Aku melihat Sheva yang tampaknya tidak sadarkan diri lagi itu.
“Sekarang giliranmu,” kata Pretty sambil meraih kursi di dekatnya.
Entah mengapa, aku menurut saja.
Aku juga melakukan hal yang sama.
Kami lalu duduk saling berhadapan.
Pretty meletakkan tangannya di wajahku. Jari-jarinya menekan kedua pelipisku dan ibu jarinya menekan area di bawah kelopak mataku. Ia terdiam selama beberapa menit.
“Apa yang kaulihat?” tanyanya.
Malam hari. Aku berada di lapangan yang luas. Sendirian. Tak ada seorang pun di sana. Aku memandang ke atas – ke langit yang gelap. Aku melihat api di angkasa. Aku melihat pesawat itu. Benda terbang yang mereka sebut UFO. Pesawat itu sepertinya mengalami kecelakaan dan mendarat darurat di lapangan itu.Bergerak sangat cepat – ke arahku! Ada ledakan. Aku terpental dan terbaring kesakitan. Aku tahu, tubuhku terbakar. Sakit sekali. Kulihat seseorang berjalan menghampiriku. Ia mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti. Tetapi aku mendengar ada suara di pikiranku. Orang itu – pilot dari pesawat itu, terluka parah. Aku melihatnya terbakar. Tubuh pilot itu lalu berangsur-angsur menjadi rapuh, gosong, dan akhirnya hancur tak bersisa bagaikan debu tertiup angin. Aku merasakan sekujur tubuhku yang diselimuti api terasa pedih dan seperti meleleh. Aku merasakan sesuatu dalam genggaman tanganku. Sesuatu yang diberikan oleh si pilot sebelum ia musnah. Aku tahu apa yang kugenggam saat itu. Kristal Atlantis!
Aku terbangun. Keringat bercucuran di wajahku.
Apa yang barusan kulihat itu? Apakah aku benar-benar mengalaminya… atau hanya ilusi belaka?
“Kau memang mengalaminya tetapi kau telah melupakan peristiwa itu,” kata Pretty. “Lebih tepatnya lagi, kau dibuat melupakan peristiwa itu,”
Aku menoleh ke arahnya.
Pretty lalu menjelaskan lebih lanjut.
“Para pakar kejiwaan TNI telah menutup akses ke ingatan tersebut. Mereka biasanya melakukan itu sebagai terapi untuk memulihkan prajurit yang mengalami goncangan kejiwaan setelah menyaksikan hal-hal yang mengerikan di medan perang. Katakanlah melihat rekan di sebelahnya tertembak mati atau lebih buruk lagi – melihat rekannya terkena tembakan meriam sehingga kehilangan kepalanya atau bahkan separuh badan bagian atasnya hancur. Melihat secara langsung hal-hal semacam itu bisa membuat seseorang menjadi gila. Orang itu bisa bertindak di luar perkiraan bahkan membahayakan kelompoknya.”
Aku menatapnya – apa aku bisa jadi gila juga?
“Kasusmu berbeda. Apa yang kau alami itu sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh masyarakat umum – warga sipil maksudnya. Bukan sesuatu yang akan membuatmu mengalami gangguan kejiwaan.”
“Tidak boleh diketahui warga sipil – rahasia negara lagi?” cetusku.
Terlalu banyak rahasia membuat segala sesuatunya menjadi rumit.
“Tetapi aku dengan mudah mampu membuka akses ke ingatanmu itu,” katanya sambil tersenyum. Bangga.
Ia lalu menatapku, “Kecelakaan itu – yang kau alami ….”
Aku tidak suka tatapan matanya yang seperti mengasihaniku.
“Aku tahu,” kataku. “Kecelakaan itu yang membuatku menjadi seperti ini.”
“Ayahmu melakukannya ….”
“Ayah melakukannya untuk menyelamatkan nyawaku. Ayah menjadikanku cyborg,” kataku tegas.
Aku menyadari betul hal itu. Aku tidak menyesali keadaanku ini – ya, walaupun harus kuakui kadang-kadang memang perasaan menyesal itu muncul. Tetapi aku tidak akan menyalahkan Ayahku. Tidak akan pernah. Malah aku harusnya bersyukur dan berterima kasih padanya. Karena Ayah, aku masih hidup sampai saat ini.
Kecelakaan itu – berkat bantuan Pretty, aku jadi bisa mengingatnya. Peristiwa yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Sebelumnya aku pernah meng-google, mencari tahu peristiwa itu, dan ketika informasi yang kudapatkan tidak memuaskanku, aku meng-hack beberapa situs terkait, di antaranya situs milik TNI AU, dan aku berhasil menemukan informasi dengan kategori highly classified – sangat rahasia, mengenai kecelakaan itu (lihat: Manusia Atlantis (2)). Kecelakaan yang menimpaku – dan nyaris membunuhku.
Kini aku bisa mengingatnya – walaupun banyak hal yang tidak kupahami.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H