Lihat ke Halaman Asli

Rizki Annisa Ramadhani

Mahasiswa di Universitas Negeri Semarang

Politik Digital: Kontribusi Media Sosial terhadap Partisipasi Gen Z pada Pemilu 2024

Diperbarui: 27 Oktober 2024   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut data BPS, untuk pertama kalinya di Indonesia pemilih terbanyak di pemilu 2024 adalah gen Z dan Milenial, dimana gen Z terdata sebanyak 46,8 juta pemilih. Sebagai generasi yang tidak dapat dipisahkan dengan dunia digital, gen Z memiliki kecenderungan untuk menunjukkan partisipasinya di dalam dinamika politik Indonesia secara digital. Partisipasi politik yang masif dari gen Z tersebut kemudian melahirkan suatu konsep yang disebut dengan politik digital.

John Postill dalam Digital Politics and Political Engagement mengungkapkan bahwa konsep politik digital dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu: 1) pemerintahan digital, 2) demokrasi digital (masyarakat, musyawarah, partisipasi), 3) kampanye digital (partai, kandidat, pemilihan umum), dan 4) mobilisasi digital (kelompok kepentingan dan gerakan sosial) (Postill, 2020). Jika merunut konsep tersebut, maka dua bidang yang paling gencar dalam memberikan feedback atau umpan balik adalah demokrasi digital dan kampanye digital.

Semenjak kehadirannya, media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk citra atau personal branding. Dalam skala kehidupan sehari-hari, media sosial sudah bertransformasi menjadi wadah aktualisasi diri bagi sebagian besar orang. Bahkan, tidak jarang, kompas moral seseorang digantungkan pada pendapat mayoritas yang ada di media sosial. Ketakutan untuk terlihat beda dan ‘tertinggal’, atau yang biasa disebut dengan FOMO (Fear Of Missing Out), seakan sudah mengakar di dalam diri generasi Z dan membuat penilaian atau persepsinya terhadap suatu permasalahan dapat berubah sekejap berdasarkan algoritma media sosial.

Antusiasme dari gen Z, didukung dengan sikap kritisnya terhadap situasi politik di Indonesia seakan-akan menjadi bahan bakar untuk agenda kampanye para kandidat calon presiden. Hal ini kemudian dimanfaatkan dengan diadakannya berbagai konten kampanye digital, yang mana memang ditujukan untuk menarik suara dari para generasi muda, terutama gen Z dan milenial yang kehidupannya tidak dapat dilepaskan dari media sosial. Akun-akun yang masyarakat ikuti di media sosial akan sangat memengaruhi pilihan politik masyarakat. Karena hal itulah, setiap paslon berlomba-lomba untuk menampilkan branding terbaik di berbagai media sosial demi mengantongi lebih banyak suara.

TikTok, aplikasi video pendek yang popularitasnya melejit semenjak pandemi, menjadi sarana kampanye paslon nomor 02 dengan agenda lagu dan joget Oke Gas-nya. Selain paslon nomor 02, paslon nomor 01 juga menjadikan TikTok sebagai media pendekatan dengan generasi muda, yakni melalui fitur TikTok Live, di mana paslon 01 akan mengadakan sesi siaran langsung yang interaktif dimana penonton dapat mengobrol dan ditanggapi secara real time. Tidak hanya di TikTok, eksistensi para paslon dan agenda kampanyenya juga dapat ditemui di Twitter. Misalnya, paslon nomor 01 dan  03 yang kerap kali membalas cuitan serta berinteraksi dengan pengguna Twitter yang kebanyakan merupakan generasi Z. Gencarnya kegiatan kampanye digital yang dilakukan oleh semua paslon menunjukkan bahwa pengaruh media sosial terhadap persepsi publik adalah cukup besar. Hanya dengan menggulirkan jari di media sosial, seseorang dapat mengganti ataupun memantapkan pilihannya terhadap suatu kandidat.

Adapun dari sisi gen Z sebagai pemilih, media sosial sudah lama menjadi wadah untuk menyuarakan aspirasi dan kritik. Diskursus politik kerap kali menjadi trending topic yang marak diperbincangkan oleh khalayak, terlebih di aplikasi Twitter yang memang terkenal sebagai media sosial untuk berkeluh-kesah. Hal ini mengindikasikan bahwa minat generasi Z terhadap kehidupan politik di Indonesia cukup besar, mengingat kebijakan politik pasti akan mempengaruhi kehidupan seluruh warga negara tanpa terkecuali, termasuk gen Z sendiri, sehingga keinginan untuk berpartisipasi dalam dinamika politik adalah hal yang sangat lumrah selama pesta demokrasi berlangsung.

Sayangnya, dalam era digital, tantangan muncul ketika media sosial menjadi tempat meluasnya informasi palsu, polarisasi opini, dan manipulasi suara. Kampanye hitam dan serangan pribadi terhadap kandidat dapat dengan mudah menyebar melalui platform media sosial, belum lagi dengan adanya buzzer yang memecah suara rakyat. Selain itu, tantangan juga mewujud dalam konten yang cenderung bersifat emosional dan provokatif daripada informatif. Dalam skala internasional, sudah banyak politisi-politisi yang berhasil memenangkan kontes elektoral dengan menggunakan media sosial sebagai senjata utamanya, meskipun argumentasi dan data yang disebarkan melalui media sosial mereka belum tentu valid dan bahkan tidak bersumber.

Maka dari itu, sebagai pemilih, sudah sewajarnya jika kita selalu menyaring setiap konten dan menilai kinerja setiap paslon dengan objektif. Kini, kendatipun pesta demokrasi sudah usai digelar, hendaknya media sosial tetap menjadi wadah aman bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan mengkritisi pejabat  yang menyelewengkan kewenangannya, karena kebebasan dalam berpolitik digital termasuk ke dalam hak sebagai warga negara, selama segala aspirasi dan kritik yang disampaikan sifatnya membangun dan tidak menyalahi undang-undang yang berlaku.

Video penjelasan : https://youtu.be/vQDhRukLZlI?si=5hm2R3R8415QSbbp

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline