Saya termasuk penikmat film perang yang newbie, sih. Masih banyak judul film perang -terutama Perang Dunia- yang teronggok dalam waiting list saya, menunggu untuk dibereskan.
Ketika aroma daya pikat film 1917 (2019) terendus lewat trailer dan sinopsis singkat yang bertebaran di internet, saya ikut menanti rilisnya dengan gembira sambil tak menaruh ekspektasi besar untuk suatu kerumitan suspense dan plot yang membangun 1917.
Plotnya memang ketebak, sih. Para pengulas film dan penonton seolah-olah serentak bilang: "premis ceritanya sesederhana itu!" Dua prajurit Inggris, Kopral Schofield (diperankan George MacKay) dan Kopral Blake (Dean-Charles Chapman), harus menyampaikan pesan pembatalan serangan di garis terdepan dalam waktu 8 jam.
Mereka harus menerabas no-man's land (tanah tak bertuan) berkilo-kilometer untuk sampai di sana. Sepanjang no-man's land itu, kemungkinan besar masih tersisa bahaya dan serangan tak terduga, entah itu serangan langsung maupun jebakan-jebakan yang sengaja dibuat Jerman.
Beberapa pengulas film menyebut, kalau 1917 sedikitnya mengingatkan kita pada Saving Private Ryan (1998).
Jika misi dalam Saving Private Ryan "hanya" menyelamatkan seorang prajurit bernama James Ryan yang dilakukan oleh Kapten John H. Miller (Tom Hanks) beserta pasukannya, sementara dalam 1917 tokoh Scho dan Blake harus menyelamatkan 1.600 prajurit dari serangan yang sudah direncanakan Jerman jauh-jauh hari.
Sejak ide humanisme mengemuka dua abad terakhir, banyak sekali literatur dan karya seni yang merekam peristiwa perang dengan pendekatan humanis.
Humanisme sudah menjadi "agama" abad ini; mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak, juga mengubah konstelasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya dunia.
Kita sudah sangat terbiasa dengan gagasan humanisme, ia seperti suatu keniscayaan. Seandainya orang dari abad ke-15 menonton film perang macam 1917 atau Saving Private Ryan, mungkin reaksi mereka akan terkagum-kagum bercampur aneh.
Selama ratusan tahun, perang selalu menempatkan para dewa, tuhan, raja, jenderal, dan tokoh-tokoh besar lainnya di atas panggung yang besar nan megah.
Prajurit biasa dan rakyat sipil hanya jadi figuran di altar neraka pertempuran. Jarang sekali yang peduli dengan "perasaan" dan "pengalaman personal" mereka atas perang. Kalaupun ada, biasanya hanya digambarkan sekumpulan massa tanpa nama.