Lihat ke Halaman Asli

Luruh...

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_237356" align="alignnone" width="350" caption="(diambil dari google)"][/caption]

Mengenalmu adalah sebuah anugerah tak terkira.

Meski semua berawal tanpa sengaja.

Sehari, seminggu, sebulan… tanpa sadar lompatan rasa yang mungkin agak terlambat menyempurnakan kegelisahan.

Manakala perjumpaan denganmu hanyalah sebuah illusi tak bermakna.

Engkau menggoreskan warna di lembar hari-hariku.

Mengukir sebuah bayangan di dinding-dinding kalbu.

Memutihkan malam dengan senyumanmu.

Aha! Senyumanmu.

Dari sinilah simpatiku padamu berawal.

Dan.....

Hangat keindahan bibirmu menyapa relung sukma, melunglaikan syaraf-syaraf.

Tajam mata elangmu menghunjam masuk ke jendela jiwaku.

Lembut tangan kekarmu menopang, menghentikan sakitku.

Lalu.....

Beberapa purnama terlewati.

Sulur-sulur riak dan gelombang mulai nampak.

Daun-daun kepercayaan mulai berguguran dari ranting-ranting hati.

Namun tak kurang lukisan abstrak mewarnai twilight zone sanubari.

Kini, setelah merah hitam perjalanan kita lalui bersama, waktu akan memenggal kisah ini.

Gugusan perih, luka dan airmata teruntai dalam bait-bait letih jiwa.

Perihku mendengar puja puji dan rayuanmu yang bukan untukku.

Lukaku melihat rengkuhan mesramu yang bukan kepadaku.

Air mataku merasakan kesemuan perhatian dan sentuhanmu.

Apa yang lebih menyakitkan dari semua itu..?

Dan kini……

Ku biarkan semua luruh……




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline