Lihat ke Halaman Asli

Dusta...

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_198704" align="aligncenter" width="300" caption="illustrasi dari google"][/caption]

“Aku tidak melarangmu untuk berteman dengannya”, Abangku berdiri, membuka kulkas dan menuang air putih.

“Apa kamu hanya berteman, atau……”, Abangku menggantung kalimatnya.

“Hanya berteman”, jawabku mulai tak yakin.

“Aku melihat ada yang kamu sembunyikan dari matamu”, Abangku menyelidik.

Aku hanya diam, berusaha tanpa ekspresi.

“Illin, aku mengenalmu sepanjang umurmu. Aku tahu kapan kamu berdusta, kapan kamu jujur. Dan aku yakin, kamu bisa memilah dan memilih dengan baik, langkah yang kamu ambil”.

Aku hanya menghela napas.

“Aku merasa ada yang di sembunyikan dari balik sorot matanya. Aku meragukan ketulusannya”.

“Darimana Abang menilai dia seperti itu..?”, aku mulai gusar.

“Dari cerita-ceritamu tentang dia. Dan ketika bertemu dengannya beberapa waktu lalu. Sorot mata kalian berbicara”.

“Abang tidak menyukainya…?”.

“Aku hanya tak ingin kamu menyesal atau tersakiti”.

“Illin sudah terbiasa di sakiti…”, ada rasa sesak di dada.

“Setidaknya tidak menambah daftar panjang sakit hatimu”, Abangku menatapku dengan mata teduhnya.

“Lin, sampai kapan kamu akan terus seperti ini. Bermain-main dengan perasaan”.

“Abang jangan khawatir. Illin tidak akan menjatuhkan pilihan padanya. Karena memang tidak sepantasnya. Dan Illin sadari itu, Bang”.

“Bukan itu yang aku maksud. Entah kenapa aku tidak sreg saja dengannya. Merasa ada yang tidak beres. Merasa ada yang kalian sembunyikan”, Abangku tetap berusaha memancingku.

“Illin akan menjauhinya, Bang..”, aku sendiri tak yakin dengan kata-kataku.

“Kamu yang lebih tahu apa yang terbaik. Tanyakan saja pada hati nuranimu sendiri. Hati nurani akan menuntunmu jika kamu mau jujur mengikutinya, bukan mendiktenya”.

“Dia tidak sebaik El…”, kalimatku lebih mirip desahan.

“ Aku tidak meragukan cintamu pada El. Sampai-sampai kamu tetap menyandang nama belakangnya”.

Aku menghela napas. Pikiranku kosong. Bayangan kejadian demi kejadian berseliweran di ingatanku. Tentang dustaku. Tentang pengkhianatanku. Tentang sakit hatiku. Tentang semuanya. Abangku diam memperhatikan gerak gerikku.

Setetes air bening menggantung di sudut mata.

El, aku merindukanmu……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline