Lihat ke Halaman Asli

ryvo dnovaliano

Universitas Sriwijaya

Melawan Klaim Nine-Dash line Tiongkok dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori

Diperbarui: 4 Mei 2023   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nine-Dash line (NDL) atau sembilan garis putus merupakan salah satu dasar yang selalu digunakan oleh pemerintah Tiongkok dalam melakukan berbagai tindakan pelanggaran dan klaim wilayah di Laut Cina Selatan (LCS).

Pada tahun 2021 pemerintah Tiongkok melakukan protes terhadap ekplorasi dan pengeboran blok tuna oleh Indonesia yang terletak di Laut Natuna Utara (LNU).

Laut Cina Selatan telah menjadi jalur perdagangan yang ramai digunakan oleh para pelaut Tiongkok masa lampau, sehingga muncul istilah jalur sutera pada era dinasti Qin (221 SM - 206 SM). Jalur sutera ini berkembang pesat hingga pada akhirnya muncul pelarangan perdagangan melintasi jalur ini oleh dinasti Qing sekitar abad ke-15. 

Pada tahun 1947, dimana Tiongkok masih berada dibawah kekuasaan partai Kuomintang (KMT) Kementrian Dalam Negeri saat itu menerbitkan nama-nama geografis untuk pulau-pulau di Laut Cina Selatan, selain itu juga diterbitkan atlas yang menggambar sebelas garis terputus - putus untuk menunjukkan ruang lingkup geografisnya di Laut Cina Selatan, yaitu 3° 58 'Utara, 112° 17' Timur. Kemudian pada 1953, 2 garis dihapus sehingga menjadi hanya 9 garis putus.

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) disebut juga sebagai Konvensi Hukum Laut yang disepakati pada 1982 menjadi perjanjian internasional yang mengatur tentang kewajiban, hak, batas-batas wilayah dan tatacara pengelolaan laut bagi negara-negara di dunia. Perjanjian ini ditandatangani oleh 158 negara termasuk Indonesia, Malaysia, Britania Raya, Jepang hingga Tiongkok. 

Dalam Bab II Pasal 3 UNCLOS 1982 ditetapkan batas teritorial suatu negara adalah maksimal 12 mil ditarik lurus dari garis pantai. Sementara itu dalam Bab V Pasal 56 dan Pasal 57 UNCLOS 1982 sebuah negara berhak atas eksplorasi dan eksploitasi, serta pengelolaan sumber daya alam, termasuk kewenangan hukum yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya yang ditarik lurus hingga batas 200 mil Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) dari garis pantai. 

Protes yang dilayangkan oleh Tiongkok terhadap Indonesia mengenai eksplorasi dan pengeboran di blok tuna menjadi sebuah protes yang tidak berdasar, merujuk pada Pasal 56 UNCLOS tentang hak sebuah negara di ZEE-nya. Akan tetapi, Tiongkok berpegang dengan klaim berdasarkan 9 garis putus yang telah ada sejak 1947. 

Lalu, apakah ini dapat menjadi dasar karena klaim Tiongkok ada terlebih dahulu (1947) sebelum UNCLOS (1982)?

Dalam hukum dikenal Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, Asas ini berarti hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum yang lama. Dalam hal ini, dasar yang digunakan oleh Tiongkok berdasarkan NDL pada tahun 1947 telah tidak berlaku atau tergantikan oleh UNCLOS yang dikeluarkan pada tahun 1982.

Selain itu, Tiongkok sendiri selain menandatangani perjanjian konvensi hukum laut 1982 (UNCLOS), juga telah meratifikasi nya pada 15 Mei 1996.  Sehingga seharusnya Tiongkok patuh terhadap konvensi hukum laut.

Refrensi:

https://thediplomat.com/2021/12/china-demanded-halt-to-indonesian-drilling-near-natuna-islands-report/


http://trobosaqua.com/detail-berita/2021/02/15/48/14074/aris-widagdo-sejarah-ninedash-line-di-laut-china-selatan


United Nations Convention on the Law of the Sea (1982)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline