Kanisius bukan sekadar sekolah biasa, tetapi tempat yang benar-benar serius dalam membentuk para pemimpin muda. Di sini, pelatihan kepemimpinan tidak main-main, penuh tantangan fisik dan mental. Untuk bisa masuk OSIS, siswa harus melewati proses yang panjang dan berat, bukan sekadar mendaftar, wawancara, lalu lolos. Semua langkah, dari awal hingga akhir, dirancang untuk menguji daya tahan, ketangguhan, dan kesediaan mereka berkorban.
Pelatihan kepemimpinan dan sistem OSIS saling terikat erat, membentuk pengalaman yang mengasah karakter para siswa. Setiap siswa yang berhasil melewati berbagai tahap jadi lebih tangguh, siap menghadapi situasi sulit di masa depan, dan memiliki solidaritas yang kuat dengan teman-temannya. Semua ini membuat Kanisius begitu istimewa dan berbeda.
Struktur OSIS di Kanisius sangat berbeda dari sekolah lain yang cenderung punya peran tetap, seperti ketua, wakil, dan seksi-seksi yang tidak berubah. Di sini, OSIS lebih dinamis dan fleksibel. Seksi-seksi atau bidang bisa diubah dan disesuaikan untuk setiap acara yang berbeda, menuntut semua anggota menjadi serba bisa.
Tidak ada peran yang kaku; setiap siswa harus siap mengemban berbagai tanggung jawab, baik sebagai koordinator acara, anggota kreatif, atau logistik. Ini melatih siswa untuk berpikir cepat, fleksibel, dan efisien, tidak hanya terfokus pada satu bidang. Struktur ini dirancang untuk mendorong semangat kolaborasi dan mengasah berbagai keterampilan yang berguna di dunia nyata, sesuatu yang jarang ditemui di sekolah lain.
Bayangkan seorang siswa baru di Kanisius. Begitu masuk, mereka langsung dihadapkan pada ILT (Ignatian Leadership Training), pelatihan keras yang menguji batas kemampuan mereka. ILT bisa dibilang seperti ospek, tapi jauh lebih berat dan penuh tekanan. Siswa harus menjalani berbagai tugas fisik, tes mental, dan disiplin yang dikawal ketat oleh kakak-kakak kelas.
Kakak-kakak itu memberikan instruksi keras, mengajarkan ketegasan, sambil memastikan semua tetap dalam koridor kerja sama dan kedisiplinan. Tujuan utamanya sederhana: membentuk satu angkatan yang kompak dan tidak mudah goyah. Setelah ILT, siswa yang mampu bertahan menjadi lebih kuat, bukan hanya dalam hal fisik tetapi juga mental. Mereka belajar pentingnya solidaritas dan kerja sama yang sejati.
Setelah ILT, ada tantangan yang lebih berat: ALT (Advanced Leadership Training), pelatihan lanjutan yang berlangsung selama sebulan penuh. Siswa harus menjalankan banyak tugas, mulai dari merancang acara besar, mengorganisasi kegiatan, hingga simulasi dinamika kelompok yang intens. Semua ini membutuhkan fokus, kerja sama, dan keteguhan mental.
Puncak pelatihan adalah ekspedisi ke Gunung Putri, tempat siswa menghadapi latihan fisik yang menguji batas kemampuan mereka. Siswa yang berhasil melewati tahap ini dengan baik mendapat gelar "Legionnaire II," tanda bahwa mereka sudah teruji. Dengan gelar itu, peluang mereka untuk dipilih menjadi panitia dalam berbagai acara meningkat. Pelatihan ini menciptakan individu yang lebih siap memimpin dan mengelola berbagai tantangan dengan penuh tanggung jawab.
Menurut saya, pelatihan di Kanisius memang sangat berat, tetapi dampaknya sangat terasa. Walaupun metode ini terkesan keras dan menuntut, hasilnya luar biasa. Kami yang melewati semua proses ini jadi lebih percaya diri, mampu menghadapi masalah dengan tenang, dan tidak mudah menyerah.
Tentu ada yang berpendapat bahwa metode ini terlalu berlebihan, tetapi dari pengalaman saya, itulah yang membuat kami jadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Jika dibandingkan dengan pendekatan di sekolah lain yang lebih santai, apa yang kami pelajari di Kanisius terasa jauh lebih bermakna. Kami tidak hanya belajar teori, tetapi juga langsung mengalami dan mengatasi berbagai tantangan nyata.
Kisah para OSIS seperti Baja, diproses dengan keras, ditempuh, butuh ketahanan yang luar biasa. Tapi hasil dari OSIS menjadi sangat keras dan tahan banting, siap menghadapi segala hal yang diberikan oleh kepanitiaan, baik fisik maupun mental. Pelatih tahu kapan harus memberi tekanan dan kapan harus memberi waktu untuk beristirahat. Sistem ini memastikan bahwa kami bukan hanya pintar secara akademis, tetapi juga kuat secara mental. Jadi, ketika ada kesulitan, kami tahu cara menghadapinya tanpa mudah menyerah.