Lihat ke Halaman Asli

Naik-naik Menuju Puncak Cubadak

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1378743914393691473

"Menang, berhasil, sukses, bukan cuma sekedar soal piala, medali, atau penghargaan. Namun lebih kepada bagaimana usaha Anda untuk mencapai tujuan, sesederhana apapun itu. Keluar dari rutinitas, berani mencoba hal baru atau bahkan makanan yang asing dimulut, itu sudah menang. Anda bisa tak mengeluh dalam sehari, buat saya itu adalah salah satu bentuk keberhasilan."

Tiga bulan lalu, akhirnya saya mendapat kesempatan menginjakkan kaki ke salah satu pulau terindah di Indonesia, Pulau Cubadak di barat Sumatera. Suasana nan damai dan teduh nyatanya tak mampu membendung hasrat bertualang. Jika kebanyakan yang datang sengaja ingin bersantai di sana, saya bertolak belakang dengan mereka.

Penasaran dan rasa ingin tahu yang besar akhirnya menjadi pemicu semangat saya untuk mendaki bukit karang yang berdiri tegap di belakang garis pantai. Stamina saya sesungguhnya ‘seadanya’, bahkan seumur hidup saya tak pernah sengaja datang ke gym untuk berolahraga. Perlengkapan mendaki pun saya tak punya. Saya hanya bermodalkan kaos oblong, celana pantai, sepatu keds, ransel juga doa. Tujuan awal saya ‘kan menikmati suasana pantai yang santai, siapa sangka ada penawaran petualangan baru di sana.

Pendakian pun dimulai. Mengikuti insting, saya memilih harus ke mana memijakkan kaki di tanah kecokelatan di atas bukit. Tanpa pengaman ataupun pemandu. Terkadang, saya hanya bertumpu pada sebatang ranting ataupun sebongkah batu yang terdiam. Suara kicauan burung dan lolongan hewan hutan lainnya semakin membuat adrenalin menanjak, seiring dengan matahari yang terus bergerak ke atas ubun-ubun.

Tanah yang basah karena hujan kemarin cukup menyulitkan saya. Apalagi, saya tak punya pengalaman apapun soal mendaki. Setengah jam pendakian berlalu, badan mulai dibanjiri keringat dan otot mulai terasa kaku. Saya coba bertahan meski kepala mulai berat. Terkadang, kuping berdengung dan saya hanya mendengar suara “ngiiinggg”. Ya, kelalaian saya, tak membawa cukup air ke atas sana. Dehidrasi menyerang, saya pun hampir saja hilang ketika pandangan mulai semakin gelap. Saya lalu teringat dengan tayangan Shell Oil di channel Youtube, yang bilang bahwa minyak oli pada mesin itu bagaikan darah di dalam tubuh. Kalau ia mengental, karena dehidrasi seperti yang saya alami, bagaimana bisa ia ‘menjalankan’ seluruh organ tubuh yang bergantung padanya?

[caption id="attachment_264903" align="aligncenter" width="300" caption="Meski wajah memucat, narsis tetap on"][/caption]

Saya lihat ke atas, “Oh.. pohon-pohon sudah mulai tak terlihat, artinya puncak sudah dekat”. Namun belasan menit terus mendaki, saya yang mencoba naik, bahkan bisa dikatakan merangkak, malah mendapati jalur pendakian yang seakan tak ada habisnya. Dan *praaakk*, saya tergelincir dan jatuh terperosot. Untung, tangan sempat meraih tali pembatas yang diikat di antara pepohonan. Memar dan lecet di sekitar lengan menjadi oleh-oleh perjalanan. Ingin turun, sayang sudah kepalang tanggung pikir saya.

[caption id="attachment_264901" align="aligncenter" width="300" caption="Saya galau, mau lanjut apa cukup"]

13787435611644408703

[/caption]

Angka “8” bercat merah di batang pohon mulai tampak, yang artinya puncak sudah di depan mata. Tapi oh la la.. saya memakai sepatu keds yang baru dibeli dua hari lalu. Akibatnya, sepatu masih terlalu keras, belum beradaptasi dengan jari-jari. Saya pikir, daripada jari jemari lecet, lebih baik saya ‘nyeker’. Keputusan darurat yang sesat. Seperti tak sadar kaki ini terbuka tanpa perlindungan, saya meloncat dari satu batu meraih akar pohon di atasnya. Tak disangka, ada batu kerikil menunggu bersembunyi di bawahnya. Kaki jadi sasaran tanpa terelakan. Darah mengucur di antara kotoran tanah yang menempel di kulit. Jangankan plester luka, tissue pun saya tak bawa. Akhirnya, bak acara reality show kembali ke zaman purba, saya lalu melilitkan kertas notes yang ada untuk menutupi si luka.

Perih seperti disayat menghantui selama perjalanan. Fisik yang melemah karena tak terbiasa juga memperlambat langkah saya. Belum lagi saya harus menahan haus tak terkira. Hingga akhirnya, saya dapatkan hembusan angin yang berbeda. Ia segar dan kencang menyapa kulit dan rambut saya. Oh ya, saya pun tiba di puncak bukit.

Matahari yang bersinar terik di atas kepala tak dapat mengusik saya. Lelah dan dahaga pun lari entah ke mana.  Saya tetap kegirangan sambil sesekali bersyukur pada Tuhan YME. Pemandangan di atas sana? Luar biasa indahnya. Langit cerah biru bersanding pas dengan laut di bawahnya, diselingi pulau-pulau kecil sekitar Sumatera dengan rona hijau kecokelatan. Saya lantas berteriak kencang meski hanya di dalam hati. “Tuhaaann… Lukisanmu memang juara”.

[caption id="attachment_264900" align="aligncenter" width="640" caption="Hadiah lukisan di puncak Cubadak"]

1378743400380610358

[/caption]

Saat itulah, saya merasakan keberhasilan datang dari dalam diri. Meski saya tak mendapat pujian dan tepuk tangan, rasanya batin ini sungguh puas dan bahagia. Saya berhasil karena tak menyerah begitu saja. Setelah melalui banyak rintangan, akhirnya saya tiba jua di puncak. Saya sukses, hingga saya dianugerahi bisa menyaksikan secara live satu lagi kekuasaan Tuhan. Hadiah yang tak ternilai harganya.

[caption id="attachment_264908" align="aligncenter" width="640" caption="Ekspresi kemenangan dari hati"]

13787449431317956699

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline