Lihat ke Halaman Asli

Bukan Soal Urusan Siapa, Tapi Toleransi

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya adalah seorang non-muslim, yang berarti saya tidak ikut menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Saya besar di kota Banjarmasin dan sekarang tinggal di Jakarta untuk menuntut ilmu. Berbeda dengan kota besar seperti di Jakarta, di mana warung atau rumah makan bebas buka asalkan dipasangi tirai; di Banjarmasin, "warung sakadup" (warung dengan ditutupi tirai) dilarang beroperasi.

Jadi bisa dibayangkan, warung-warung yang biasanya penuh dengan pengunjung, selama sebulan penuh, menutup pintunya khususnya di siang hari bahkan tutup total. Jadi mau tidak mau, ibu-ibu rumah tangga yang biasanya membeli makanan di luar harus memasak sendiri dibulan ini. Begitu halnya dengan restaurant di mall, meskipun boleh beroperasi, tapi konsumen harus membawa pulang makanannya alias tidak diperbolehkan makan di tempat.

Hal ini memang cukup berefek pada kami, muda mudi yang tidak berpuasa. Jika biasanya saya dapat bebas memilih mau makan di rumah makan yang mana, selama sebulan harus "ikut" berpuasa jika sedang berada di luar rumah. Ya.. itulah yang saya alami selama liburan puasa kemarin saat saya pulang kampung ke Banjarmasin. Jika sedang jalan-jalan ke mall pada siang hari, saya hanya bisa cuci mata, tapi tidak untuk mengisi perut.

Selama di sana, saya ikut membantu di toko usaha Ayah saya. Mau tidak mau, saya ikut berpuasa untuk beberapa jam. Karenanya karyawan-karyawan yang bekerja di toko saya semuanya adalah muslim yang wajib berpuasa. Rasanya tidak nyaman sekali kalau saya makan dan minum di hadapan mereka. Saya yang hanya duduk di belakang meja saja, merasa sangat kehausan dan ingin minum terus, ditambah lagi saya termasuk orang yang tidak kuat jika tidak minum. Apalagi mereka ya? Yang bekerja menguras tenaga dan pikiran, harus berpuasa lagi.

Dan saat jam menunjukkan pukul setengah lima sore, yang berarti waktunya pulang kerja serta waktu berbuka sudah dekat, saya melihat wajah mereka begitu sumringah. Dari sanalah saya belajar, begitu berharganya minuman dan makanan yang diberi Tuhan. Saya juga belajar untuk menghargai dan bertoleransi pada orang lain, bukan hanya bisa berpikir "Elu yang puasa kenapa mesti gue ikutan repot?". Karena rasanya saya juga merasa senang saat melihat mereka berhasil berpuasa dihari itu, yah.. meskipun jadinya saya tidak bisa puas berwisata kuliner selama di kampung halaman, hehe..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline