[caption id="attachment_348695" align="aligncenter" width="396" caption="Sumber: http://goo.gl/1M64WK"][/caption]
Pernah dengar sebuah iklan susu, “Apakah Anda ingin anak Anda serba bisa?”. Iklan tersebut memang memberi gambaran tentang keinginan orangtua terhadap anak-anaknya. Sah-sah saja ingin agar anak kita serba bisa, cerdas dan pintar, namun coba pertimbangkan lagi, seberapa besar tekanan yang diterima anak Anda karenanya?
Semua orangtua pasti berharap anaknya bisa menjadi seorang yang berguna dan sukses, namun apakah definisi berguna dan sukses bagi orangtua sama dengan definisi berguna dan sukses bagi anak?
Apa Anda merasa bahwa anak Anda seringkali sulit diarahkan dan tidak berkembang secara maksimal? Jika jawaban Anda adalah “ya”, maka silakan simak beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, berikut ini:
[caption id="attachment_348696" align="aligncenter" width="492" caption="Sumber: http://goo.gl/Q7ixLm"]
[/caption]
1. Keinginan orangtua vs harapan anak.
Orangtua seringkali punya keinginan yang berbeda dengan sang anak, celakanya orangtua dengan sadar atau tanpa sadar memaksa dan mengarahkan anaknya sesuai dengan keinginan mereka. Padahal anak bisa saja tidak tertarik pada keinginan atau minat orangtua.
Hal ini seringkali menyebabkan kekecewaan dan kegagalan terhadap prestasi anak. Potensi mereka tidak berkembang sebagaimana mestinya dan bisa jadi merasa tertekan.
Belajar dari perbedaan yang ada, orangtua, terutama di kawasan asia, cenderung mendidik anak dengan keras karena percaya bahwa disiplin akan membuahkan hasil dan anak-anak harus diarahkan agar tidak bernasib sama seperti orangtua atau paling tidak bisa jadi lebih baik dari orangtuanya.
Sedangkan orangtua di negara-negara maju Eropa, cenderung memberi kebebasan dan mendukung tumbuh kembang anak sesuai dengan bakat dan hobi mereka, bahkan mempersiapkannya sedini mungkin.
Hasilnya, dapat kita lihat pada tokoh-tokoh ternama dunia, seperti Jacky Chan, David Beckham, dan lain sebagainya.
Tidak ada yang salah dengan metode Asia atau Eropa, semua punya keunggulan dan kekurangan, namun alangkah bijak jika kita dapat menerapkan kedisiplinan namun tetap mendukung dan menghormati keputusan anak kita.
Ingat, jalan terbaik untuk kita, belum tentu yang terbaik untuk anak kita. Mungkin kita sukses berbisnis sembako, belum tentu anak kita bisa sesukses kita dalam berbisnis sembako. Let them choose their path. Sebagai orangtua yang baik, kita hanya perlu mengawasi dan mendukung, serta memberi nasihat.
Mengembangkan anak sesuai potensi dan minat mereka akan membantu proses penemuan jati diri mereka dan mengurangi resiko penyesalan dan kegagalan. Jangan sampai mereka gagal karena menuruti paksaan orangtua dan kemudian dipersalahkan. Hal tersebut bisa memberi tekanan dan menghambat proses pengembangan dan pencarian jati diri seorang anak.
[caption id="attachment_348697" align="aligncenter" width="432" caption="Sumber: http://goo.gl/i3Js87"]
[/caption]
2. Membanding-bandingkan.
Kata-kata pamungkas yang sering diucapkan oleh orangtua, terutama orangtua zaman dulu adalah, “Dulu mama...”, “Dulu papa...”
Kebiasaan orangtua membanding-bandingkan, membuat anak menjadi tertekan dan merasa kesulitan untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas. Tidak salah untuk menceritakan sejarah dan pengalaman orangtua untuk dijadikan pembelajaran, namun ada baiknya memberi mereka kesempatan untuk menggunakan logika mereka.
Anak harus tahu bagaimana keadaan dan zaman generasi pendahulunya, namun bukan berarti orangtua harus melakukan langkah yang sama kepada anaknya berdasarkan pengalamannya semata tanpa melihat kondisi dan mengerti perkembangan zaman di mana anak dan orangtua tinggal saat ini.
Kebiasaan membanding-bandingkan diri dengan anak, atau membandingkan anak dengan orang lain adalah kebiasaan yang dapat membuat anak menjadi terbeban dan pada tahapan yang ekstrim bisa membuat anak krisis identitas dengan berusaha menjadi seperti orang yang dibandingkan dengannya atau berusaha untuk menjadi sosok yang terlihat hebat.
[caption id="attachment_348698" align="aligncenter" width="420" caption="Sumber: http://goo.gl/JDX0eR"]
[/caption]
3. Orangtua selalu benar.
Orangtua adalah contoh bagi anak-anaknya, namun seringkali orangtua memberi contoh yang kurang baik dan menerapkan sistem otoriter kepada anak mereka. Misalnya saja ketika anak melihat ayahnya merokok dan kemudian merokok, ayahnya marah dengan alasan bahwa anak belum bisa mencari uang, merusak kesehatan dan lain lain.
Ada baiknya, sebagai media tumbuh kembang, keluarga (dalam hal ini orangtua), bisa memberi contoh yang baik dan menunjukkan sikap yang tidak egois dan mau menang sendiri, serta dapat menjadi contoh yang baik untuk anak-anak mereka.
Jika anak menegur karena memang orangtua berbuat salah, maka akuilah dan intropeksi diri, bukan malah menyalahkan anak dan bersikap seperti seorang penguasa yang otoriter. Ingat sikap tersebut bisa menimbulkan sikap antipati anak dan krisis kepercayaan terhadap orangtua dan keluarga mereka sendiri.
Jika terus dididik dengan cara yang demikian, mental anak bisa menjadi mental yang egois dan bisa jadi anak Anda akan bersikap seperti Anda ketika Anda sudah tua renta atau bersikap yang sama terhadap anaknya. Sikap orangtua akan menjadi pola dan panutan bagi anak, sehingga orangtua, harus menanam pola dan teladan yang baik bagi anak-anak mereka agar kelak mereka dapat menjadi orang yang lebih baik.
Sadari lah bahwa sekali pun telah menjadi orangtua, kita tetap manusia yang juga tidak luput dari kesalahan.
[caption id="attachment_348699" align="aligncenter" width="320" caption="Sumber: http://goo.gl/BcT0kg"]
[/caption]
4. Moral dan kepintaran.
Orangtua cenderung mengutamakan kepintaran dibanding moral. Segala sesuatu selalu dinilai dengan materi dan kepintaran, bahkan materi jauh lebih berharga dari sebuah kepintaran, sedang moral tersisihkan.
Pola pikir demikian harus dirubah dan harus ditanamkan sejak dini bahwa moral harus berjalan beriringan dengan kepintaran, sehingga ke depan tidak akan lahir mental dan “raja tega” yang menghalalkan segala cara untuk memuaskan ego dan keinginannya.
Anak harus diajarkan tentang bagaimana menghargai orangtua, membuang sampah pada tempatnya, menghargai bahkan orang gila sekali pun. Mereka harus diberi kesadaran bahwa moral yang baik bisa memberi dampak yang baik. Moral yang baik membantu menopang mereka untuk mendapatkan kesempatan dan pembelajaran yang lebih baik.
Kenapa saya katakan moral yang baik dapat memberi kesempatan dan pembelajaran?
Saya beri sebuah contoh sederhana, ketika saya bekerja di sebuah industri, saya melihat seorang kepala mekanik yang pelit ilmu, semua hal dia tangani dan tidak ingin mengajarkan bawahannya secara detail, akibatnya dia kecapaian dan keteteran sendiri. Maksud hati ingin merebut perhatian bos, namun jadi terlihat sombong dan tidak efektif. Pada akhirnya, pangkatnya diturunkan menjadi mekanik biasa.
Berbeda dengan kepala mekanik sebelumnya yang selalu mengajarkan hal-hal detail kepada anak buah, sehingga semua kerjaan dapat terselesaikan dengan baik dan kerjaan menjadi lebih ringan. Hanya masalah-masalah yang benar-benar sulit saja yang dia tangani. Berkat keahlian dan kepintarannya juga berkat “tidak pelit ilmu”, dia menjadi kepala mekanik yang mengatur seluruh mekanik dari cabang-cabang perusahaan tersebut. Jabatan naik, fasilitas juga lebih memadai.
Harta bisa hilang dan habis, tapi kepintaran/ilmu yang diiringi dengan moral akan membentuk karakter dan memberi kesempatan yang tidak terbatas.
Kepintaran adalah skill yang memang dibutuhkan untuk bersaing, namun kepintaran tanpa moral bisa membawa anak mengarah kepada kesesatan dan kejahatan.