Sumber: http://goo.gl/9QzMfH
Saya sering mendengar sebuah ungkapan, “wanita yang baik untuk pria yang baik”, “wanita yang tidak baik untuk pria yang tidak baik”. Ungkapan-ungkapan tersebut membuat hukum seleksi alam, terlihat begitu sederhana, benar kah?
Sebenarnya, ungkapan di atas cukup ambigu. Apa definisi baik dan apa definisi tidak baik? Selain itu, menurut saya, tidak ada nilai baik dan tidak baik. Manusia lah yang memberi label tersebut. Lagipula, tidak akan ada yang baik, kalau tidak ada yang "tidak baik" dan sebaliknya.
Mari kita permudah, lupakan definisi baik dan tidak baik. Kita lihat realita yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Rasanya saya sering menemukan banyak pasangan di mana wanitanya baik dan prianya tidak baik, begitu juga sebaliknya. Jarang ada pasangan yang kedua-duanya baik atau kedua-duanya tidak baik.
Lantas, perlu dipertanyakan ungkapan “wanita baik untuk pria baik” dan “wanita tidak baik untuk pria tidak baik”. Mungkin, secara hukum ketertarikan (law attraction), orang baik akan memikat orang baik dan orang tidak baik akan memikat orang tidak baik. Hukum tersebut berdasar dan mengemukakan mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Hukum tersebut membahas faktor-faktor yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Seperti misalnya orang yang suka pergi ke diskotik, maka pasangannya tidak akan jauh-jauh dari sana, karena faktor lingkungan dan sebagainya.
Walau hukum tersebut telah mengatakan hal demikian, tapi kita masih sering melihat fenomena-fenomena yang tidak sesuai dengan hukum tersebut. Hal ini bisa terjadi, karena biasanya (tidak semuanya), orang-orang (wanita atau pria) yang sudah “bosan” dengan dunianya, baik yang sudah bertobat atau yang sudah merasa puas dalam “kenakalannya”, lebih dewasa dan mampu menerima keadaan.
Karena mereka sudah puas atau sudah “mencicipi” berbagai lawan jenis, maka mereka tidak terlalu melirik rumput tetangga dan memilih berdasarkan “keseriusan” dan lebih mampu menentukan arah hatinya. Intinya, lebih open minded. Mungkin karena mereka telah merasakan dan memandang dunia jauh lebih luas daripada orang-orang yang baik.
Nah, justru orang-orang yang katanya baik, tidak pernah ke diskotik, ke tempat remang-remang, malah lebih memiliki kecenderungan berselingkuh dan bersikap “nakal” dengan menggoda lawan jenis atau tebar pesona.
Hal ini bisa terjadi, karena mereka yang baik, kadang melihat dunia terlalu sempit dan memilih pasangan berdasarkan “norma-norma” dan “hukum-hukum” yang ada. Sehingga mereka berjalan di satu garis dan tidak melihat ke sekeliling mereka. Namun, justru orang-orang seperti ini, secara psikologis tidak bebas mengekspresikan dirinya dan kurang mampu memahami pikiran mereka sendiri.
Sehingga tidak jarang dari mereka yang malah melirik rumput tetangga setelah pacaran atau menikah. Karena masih kurang matangnya cara berpikir mereka dan kurang memahami hati dan keinginannya.
Mudahnya, kita ambil contoh, setiap hari kita makan kelapa, lama kelamaan, kita akan tahu mana kualitas kelapa yang baik, mana kelapa yang rasanya lebih enak antara kelapa muda dan kelapa tua. Intinya, pengalaman menjadi guru terbaik kita dan pembelajaran untuk lebih baik dalam menentukan mana kelapa yang berkualitas.
Sama halnya dengan orang yang banyak bertualang atau mereka yang “tidak baik”, mereka pasti telah “mencicipi” berbagai rasa manis dan pahit, sehingga mereka tahu, mana yang benar-benar manis, mana yang hanya manis buatan dan mana yang pahit.
Justru, menurut pengamatan saya, pasangan yang lebih bahagia rata-rata adalah mereka yang pada masa mudanya “nakal” namun dapat saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena masalah utama yang saya sering temukan dari pasangan-pasangan yang sudah menikah adalah ketidaksukaan mereka terhadap sifat buruk pasangannya.
Saya sering mendengar keluhan seperti, “dia dulu tidak seperti itu”, dan sebagainya. Jadi dari sana dapat disimpulkan, bahwa mereka yang terlihat baik dan menjalani kehidupan lurus-lurus saja terlalu terpaku dengan standar yang mereka buat dan kecewa saat tidak mendapatkan standar yang dia harapkan.
Misalnya saja, sebuah kasus yang pernah saya tangani, seorang wanita berusia 40 tahun, dia berkata pada saya bahwa dia menikah dengan suaminya karena suaminya baik dan ramah, juga romantis. Namun setelah menikah, semuanya berubah, sikap suaminya dingin dan sering menggoda wanita lain.
Memang tidak pernah ada jaminan, tampilan bagus punya isi yang bagus atau sebaliknya. Namun, dari kasus wanita tersebut, saya paham bahwa dia adalah orang baik yang tertipu sesuatu yang menurutnya baik dan harus menghabiskan 20 tahun untuk hidup dalam kepura-puraan.
Setiap kali ada yang berkunjung, mereka akan mempertontonkan kemesraan, tapi sebenarnya, mereka sudah tidak mencintai satu sama lain. Jadi, saya rasa, hampir semua orang di dunia ini menggunakan topeng. Masalahnya, seberapa mampu kita menilai dan memilah, mana “kelapa” yang berkualitas dan enak, bukan hanya berpenampilan menarik.
Untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan serta pandangan yang luas tentang hati kita dan lawan jenis. Sehingga kita dapat menghindarkan diri dari penyesalan di masa yang akan datang. Walau kelihatan tidak penting, tapi kesalahan dalam memilih pasangan, bisa mengakibatkan masalah dan penyesalan seumur hidup.
Jadi, menurut saya, ungkapan “wanita baik untuk pria baik” dan “wanita tidak baik untuk pria tidak baik” tidak tepat, selain karena definisi baik dan tidak baik bersifat relatif, semua orang juga tidak akan luput dari sebuah kejahatan dan kesalahan.
Seleksi tidak sesederhana ungkapan tersebut dan tidak serumit yang kita pikirkan, jika kita paham hati kita sendiri dan memilih berdasarkan kualitas (kualitas di sini didasarkan oleh kemantapan hati dan selera masing-masing) bukan penampilan yang menipu dan terlihat seolah-olah berkualiatas.
Semua teori di atas, tidak berlaku untuk semua orang, walau sebagian besar seperti yang dijabarkan. Kenapa? Karena sikap, perilaku dan keputusan kita dipengaruhi oleh kesiapan mental kita. Orang baik dengan kesiapan mental yang baik, tidak akan mudah tergoda oleh “manisnya racun dunia” (rayuan, tipudaya dan sebagainya).
Pengalaman, kesiapan hati dan mental, serta pikiran yang akan membantu kita melangkah lebih baik, jadi daripada menutup diri dan merasa kita sudah berada di jalan yang benar, tidak ada salahnya untuk lebih melihat “dunia lain” selain “dunia kita”.
Seperti penelitian ilmiah yang didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya yang telah ada, untuk hasil yang lebih baik, maka kita juga harus memiliki referensi, baik itu dari pengalaman orang sendiri, buku, internet, sampai pengalaman orangtua, akan membantu kita mempersiapkan diri dan melangkah lebih baik.
Baca juga tulisan saya yang lainnya:
Bisakah diterapkan di Indonesia? “Suspended Coffee” dan Apa Dampaknya?
Hubungan Manusia, Definisi dan Persepsi
Tips Memilih Pasangan Yang Tepat Sebelum Menikah
Bahaya dan Cara Cegah False Memory
Menggali dan Mengembangkan Potensi Anak tanpa Membebaninya
Rasa Takut, Cinta, Naluri dan Obsesi
Kartu Kredit, Membantu atau Menyusahkan?
Note: Tulisan adalah karya pribadi. Silakan copy paste, namun tetap santun dengan cara memasukkan nama dan email penulis.
Penulis : Hong Kosan Djojo/Ryu Kiseki
email : ryukiseki@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H