Lihat ke Halaman Asli

Ryu Kiseki

Pekerja

Belum Bekerja, Pemerintahan Jokowi Sudah Dihadapkan pada Masalah Baru

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah resmi menjabat sebagai presiden, Jokowi dihadapkan pada berbagai masalah yang harus diselesaikannya. Mulai dari masalah yang mudah sampai masalah yang sulit, semua harus diselesaikan segera. Meski semuanya harus diselesaikan, namun pasti ada prioritas yang dikedepankan.

Karena itu, menurut hemat saya, lebih baik kita sebagai rakyat tetap mengawasi tanpa menambah masalah baru bagi pemerintahan Jokowi. Kenapa saya katakan masalah baru? Karena, kita bisa lihat belakangan ini banyak yang memprotes kabinet Jokowi.

Salah satu contohnya, terlihat pada beberapa tulisan atau komentar yang beredar di media sosial dan Kompasiana. Intinya, mengapa dalam kabinet Jokowi, tidak ada suku tertentu.

Lho, saya jadi bingung dengan pernyataan-pernyataan mereka. Bayangkan saja, berapa banyak suku dari Sabang sampai Merauke yang mendukung Jokowi dan mereka anteng-anteng saja. Yang menjadi masalah bukan karena rasis atau karena orang pemerintahan harus suku tertentu. Mari kita buang pemikiran rasis seperti ini. Toh, rasis tidak akan mengenyangkan kita dan membantu pemerintahan lebih baik. Semua suku pasti punya orang yang baik dan kurang baik, jadi semua tergantung individunya.

Kenapa harus ada yang kecewa hanya karena suku tertentu tidak masuk dalam susunan kabinet? Memangnya tujuan mendukung Jokowi, adalah untuk mendapatkan kursi? Bukan toh? Tujuan kita dan saya yakin mimpi kita semua, seluruh bangsa Indonesia, adalah agar negara yang kita cintai ini maju dan berkembang, setidaknya bisa lebih baik dari sebelumnya.

Jadi menurut saya, ini hal yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Kabinet bekerja untuk kemajuan bangsa, apa pun sukunya. Kita hanya perlu mengawasi dan melihat kinerja mereka setelah ini. Bukan terus-terusan mengeluh dan merasa tidak adil.

Masalah baru yang juga belakangan ini menjadi banyak sorotan adalah Susi Pudjianti, tidak lulus SMA, bertato, dan merokok. Wah, saya salut dengan mata orang-orang yang menilai Susi. Pasti mereka semua adalah orang “suci” yang tidak pernah melakukan kesalahan.

Kok bisa orang seperti Susi masuk ke dalam susunan kabinet? Jokowi pasti sedang ngelindur, memangnya kurang banyak orang pintar di negara ini? Ya, kalau dipikir-pikir, benar juga, tapi masalahnya kemudian, berapa banyak dari banyaknya orang pintar di negara kita yang jadi pengusaha sukses di bidang perikanan dan transportasi udara?

Pendiri facebook dan iphone juga orang-orang yang secara akademis dinilai tidak berprestasi bahkan drop out, tapi mereka jauh lebih sukses dari yang lulus di universitas yang sama dengan mereka. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih pintar? Mereka yang terlihat bodoh, tapi mempekerjakan banyak orang pintar, atau orang pintar yang hanya bekerja pada mereka yang bodoh? Jadi siapa yang sebenarnya bodoh dan siapa yang pintar?

Yang katanya bodoh bisa memimpin ratusan orang pintar. Begitu pentingnya sebuah gelar “es mabuk” di Indonesia? Wajar saja, jualan ijasah palsu di internet masih laku. Banyak oknum pemerintahan tidak segan-segan membelinya, hasilnya? Ya oknum-oknum pemerintahan yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompok.

Orang yang konon kabarnya punya gelar S3, tapi ngomongnya masih ngasal. Ya, saya tidak perlu sebutkan, silakan cari sendiri di youtube atau google. Intinya, bukan masalah gelar apa yang disandang seseorang, tapi sejauh mana dia mampu untuk menjalankan sebuah beban tanggung jawab.

Sebagai sebuah ilustrasi mudah, saya tantang kalian untuk mencoba membuka usaha. Setelah kalian membuka usaha, kalian akan mengerti mengapa banyak pengusaha yang tidurnya tidak tenang. Membuka sebuah usaha membutuhkan tanggung jawab besar dan sangat membebani bagi mereka yang tidak siap secara mental.

Pertanyaan saya kemudian, berapa banyak rekan intelek kita yang menganggur? Sedang mereka yang konon katanya tidak pantas karena tidak bergelar, malah punya usaha yang sukses. Bisa bayangkan betapa besar beban mereka? Perjuangan mereka untuk mencapai kesuksesan?

Mungkin, beberapa orang tidak akan dan tidak mau mengerti tentang orang lain, hanya menilai seseorang berdasarkan kacamata kuda. Sehingga membuat opini-opini atau berita yang justru menunjukkan betapa munafiknya mereka.

Apa sebuah tato, mencerminkan kepribadian seseorang? Apa kita bisa menilai seseorang baik atau tidak dari tatonya? Hei, wake up guys. Berapa banyak orang di luar sana mengaku beragama, membawa agama, tapi tindakannya bahkan jauh dari ajaran agama mereka.

Bagaimana dengan rokok? Rokok kan tidak baik. Ya, saya setuju. Saya benci dengan perokok, tapi apa seorang perokok sudah pasti jahat? Wow, berarti sebagian besar rakyat Indonesia yang mungkin juga Anda adalah penjahat, kenapa? Karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah perokok.

Menurut saya, lebih baik orang itu perokok, tidak lulus SMA, dan bertato, namun bisa bekerja lebih baik daripada mereka yang mengaku beragama dan korupsi.

Saya tidak mengerti, sangat tidak mengerti, mengapa di dunia ini, selalu saja ada orang-orang munafik yang seolah suci dan tidak pernah berbuat salah sehingga bisa menilai orang lain begitu rendah, hanya dari apa yang tampak. Memang bicara keburukan orang lebih mudah daripada bicara kebaikan orang. Selalu saja ada orang iri yang berusaha menjatuhkan.

Seperti Jokowi dan Ahok yang sering sekali disudutkan dan difitnah. Heran, orang baik, mau membela rakyat diolok-olok, sedangkan oknum-oknum pemerintahan yang jelas-jelas melakukan korupsi dan merugikan rakyat malah lebih dibela hanya karena fanatisme dan sejenisnya. Mau dibawa ke mana negara ini dengan pemikiran-pemikiran seperti ini?

Lebih baik kalian hentikan semua sikap dan pikiran buruk kalian, jangan menambah pusing Jokowi, beliau pasti punya pertimbangan tersendiri yang mungkin saja merupakan pergumulan dan telah melalui pertimbangan panjang.

Jangan sampai kita menjadi seperti suporter bola yang hanya bisa mengeluh, tapi belum tentu bisa bermain lebih baik daripada pemain yang dia keluhkan. Ya, itu alami, kita seringkali mengeluhkan pemikiran dan tindakan orang lain tanpa paham betapa sulitnya keputusan atau tindakan tersebut dilaksanakan.

Kesampingkan emosi dan ego dan coba lebih membuka diri terhadap semua keputusan yang ada.  Terimalah orang lain seperti kita menerima diri kita sendiri. Pikirkan posisi orang lain sebelum menilai orang tersebut dan jangan menilai seseorang hanya berdasarkan penampilannya, karena penampilan bisa menipu.


Note: Tulisan adalah karya pribadi. Silakan copy paste, namun tetap santun dengan cara memasukkan nama dan email penulis.



Penulis : Hong Kosan Djojo/Ryu Kiseki

email : ryukiseki@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline