Membaca headline kemarin, saya merasa ada sebuah analisis yang salah di sini. Sehingga, saya merasa ini harus diluruskan. Tulisan dari Ujang Bandung, bisa membawa ke arah nalar yang mengarah ke zona nyaman dan menghambat kemajuan negara. Mari kita bahas.
Analogi 1:
Suatu saat seorang peternak tambak ikan tengah sibuk mempersiapkan pembangunan kolam-kolam besar nan megah yang diperuntukkan bagi ikan-ikannya yang jumlahnya sudah teramat banyak untuk menggantikan kolam-kolam kecil yang dianggapnya sudah tidak representatif lagi bagi ikan-ikannya, tetapi sayang ia teramat fokus pada pembangunan infrastruktur kolam ikannya, sampai lupa bahwa ikan-ikan yang hendak diselamatkannya justru tengah berada di air yang sudah teramat keruh, sehingga sebagiannya malah mati! Sang pengelola ikan telah melakukan kesalahan yang fatal, seharusnya antara membangun infrastruktur kolam dengan memperhatikan ikan dilakukan secara berimbang. Dengan kata lain semua ikan-ikannya harus DIJAMIN hidup aman terlebih dahulu, sebelum infrastruktur itu dibangun.
Pembahasan:
Sekarang kita pikirkan saja, seandainya jika ikan-ikan tersebut terus ada di dalam kolam kecil, lama-lama mereka akan berkembang biak dan kolam tersebut akan menjadi semakin sempit dan sesak. Bukan tidak mungkin ikan besar pada akhirnya akan memakan ikan kecil, karena persediaan mereka semakin sedikit. Semua hanya masalah waktu saja. Jadi apa yang dimaksud ‘dijamin’?
Tidak pernah ada jaminan bahwa setelah rakyat makmur, infrastruktur baru dibangun, maka rakyat tidak akan bermasalah. Pertanyaannya kemudian, kapan rakyat akan makmur? Justru dengan pembangunan infrastuktur, potensi wisata dan pemasukan lebih besar. Artinya pada awalnya akan sulit, namun ke depannya, infrastruktur yang telah dibangun akan lebih menolong hajat hidup banyak.
Pilihannya hanya dua sekarang. Membangun infrastruktur dan mengeluarkan kebijakan tidak populer yang menyusahkan rakyat, tapi 5 tahun akan datang bisa kita nikmati dan badai akan berlalu. Atau tetap dalam kolam kecil dan 10 tahun yang akan datang, perkembangannya sangat kecil dan rakyat tetap bersungut-sungut, sedangkan inflasi terus meningkat. Nominal uang terlihat besar, tapi nilainya kecil?
Menjadi seorang pemimpin bukan perkara mudah. Kita memutuskan arah dan strategi yang akan diimplementasikan. Pasti ada hal-hal yang harus dikorbankan untuk mencapai satu tujuan besar. Kemakmuran rakyat adalah hal utama, justru karena itu adalah tujuan utama, maka jelas prioritasnya adalah pendidikan dan kesehatan. Dan semua hal tersebut membutuhkan anggaran.
Kalian boleh protes jika anggaran tersebut hanya digunakan untuk ‘studi banding’ ke luar negeri dan tidak menghasilkan apa-apa. Tapi anggaran ini juga untuk membantu rakyat.
Orang pada umumnya tidak akan mencapai potensi maksimal jika tidak dipaksa berlari, mereka akan terus berjalan di tempat. Untuk mencapai kemakmuran, negara ini perlu memutuskan hal yang berat dan harus mengorbankan banyak kepentingan untuk sebuah tujuan yang besar dan berdampak untuk semua orang.
Justru karena pemimpin tahu prioritas utamanya, maka harus ada keputusan-keputusan yang harus diambil meski harus menempuh badai. Berhenti membandingkan dan mengeluh, karena kita hanya akan menghambat kemajuan bangsa ini.
Di dalam komen artikel tersebut, ada yang bilang bahwa saya (penulis) tidak terkena dampak BBM. Maaf, saya beri tahu bahwa saya pun terkena dampak BBM. Biaya dan beban saya pun meningkat. Bukan karena saya masa bodo dan tidak peduli. Tapi di sini bedanya saya dan orang yang selalu mengeluh.
Saya melihat ada harapan dan masa depan yang baik, sehingga sekali pun saya harus melewati badai, namun saya berusaha bertahan. Sedangkan bagi mereka yang selalu mengeluh, mereka tidak akan dapat apa-apa. Mereka justru menghambat dan menjadi duri dalam daging.
Wajar saja, manusiawi jika kita tidak ingin menderita. Tapi ingatlah teori ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Jangan sampai kita terus ada di posisi statis, yang pergerakannya selalu maju-mundur, morat-marit, kembang-kempis. Sampai kapan?
Pemerintahan Jokowi akan berlangsung 5 tahun ke depan, perlu langkah cepat untuk dapat membantu seluruh rakyat Indonesia.
Kita analogikan negara ini seperti sebuah perusahaan. Kita lihat pemimpin kita membuat kebijakan baru yang menyusahkan kita, seperti misalnya absen menggunakan finger print, potong gaji jika terlambat, padahal gaji kita sudah kecil.
Pada awalnya kita akan bersungut-sungut, karena kita yang tadinya bisa titip absen dan sering datang terlambat jadi harus mengikuti peraturan baru. Tapi pada akhirnya, itu menjadi sebuah kebiasaan baru dan mendidik kita untuk selangkah lebih maju menggapai jabatan yang lebih tinggi.
Suatu saat, saat kita pindah ke perusahaan yang lebih besar, dengan jabatan dan tanggung jawab yang lebih tinggi, kita akan menyadari dan berterima kasih pada atasan kita yang lama. Kita akan bersyukur karena sudah pernah melewati ‘masa yang sulit’, sehingga kita bisa berada di posisi yang lebih baik.
Percayalah, dalam hidup ini, selalu ada jatuh bangun. Orang yang tidak mau susah, tidak akan pernah maju. Kesuksesan bukan datang begitu saja, namun akan terjadi proses trial and error, gagal dan belajar dari kegagalan tersebut.
Sistem baru selalu terlihat menyulitkan, namun jika sistem baru lebih baik, maka saat kita mengikutinya, otomatis hidup kita juga akan jadi lebih baik. Orang-orang yang tidak mengerti akan melihat nominal 2000 rupiah, tapi orang yang paham akan mengerti bahwa manfaat yang mereka akan dapat akan lebih besar dan bernilai lebih daripada 2000 rupiah.
Analogi 2:
Suatu saat, ada seorang yang mengalami kecelakaan yang cukup parah dan orang-orang di sekitar lalu berkerumun hendak menolongnya, tetapi mereka memerlukan kendaraan beroda empat untuk dapat membawanya ke rumah sakit. Lalu secara kebetulan, melintaslah sebuah mobil yang sayangnya sudah butut, yang jalannya seperti terseok-seok dan dengan terpaksa warga meminta kepada sang sopir untuk membawa korban kecelakaan ke rumah sakit, tetapi sang sopir meminta tolong kepada warga sekitar untuk memperbaiki mobilnya terlebih dahulu. lalu secara bergotong-royong para warga memperbaiki mobil butut itu sampai lupa kepada si korban kecelakaan yang harus segera ditolongnya dan setelah mobil dianggap telah selesai diperbaiki lalu semua secara bersama-sama mendatangi sang korban kecelakaan yang ternyata sudah mati!
Pembahasan:
Katakan korban dibawa ke dalam mobil tersebut, pada akhirnya mobil yang terseok-seok tersebut akan membawanya, apakah di dalam mobil tersebut, pasien tidak akan mati karena terguncang-guncang? Dan berapa kecepatan mobil tersebut? Apakah ada jaminan bahwa korban akan tertolong? Belum tentu!
Kita selalu memprediksi sesuatu, tapi apa yang kita prediksi belum tentu benar. Kejadian yang terjadi bisa saja lebih parah atau lebih ringan. Analogi di sini cukup ambigu karena tidak menjelaskan jarak rumah sakit dan kecepatan mobil serta kondisi jalan. Dalam kaitannya dengan kasus BBM, anggarannya butuh waktu untuk sampai dengan indikator (tolak ukur) berupa jangkauan dan berapa cepat anggaran tersebut sampai ke tangan yang membutuhkan serta bagaimana kondisi jalan dalam mengirimkannya?
Dan logikanya, korban yang luka parah ditambah dengan guncangan mobil yang terseok-seok dan kecepatan yang lamban karena butut, bisa saja sebelum sampai rumah sakit, dia sudah mati terlebih dahulu.
Jujur, analisisnya kurang mendalam dan analoginya terlihat dibuat-buat. Namun pada akhirnya menghilangkan esensi sebenarnya, karena tidak terdapat indikator yang jelas, sehingga sisanya, seperti kondisi jalan, dan sebagainya dikembalikan pada fantasi pembaca.
Jadi analogi kedua kurang dapat mewakilkan proses kenaikan BBM yang terjadi di negara ini.
Analogi 3:
Apabila di sebuah rumah sakit, datang seorang pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengalami cedera sangat parah, sehingga hampir sekarat, maka, apakah para dokter harus mengoperasi kaki-tangannya yang patah terlebih dahulu atau harus berupaya menyelamatkan nyawanya terlebih dahulu?
Pembahasan:
Analoginya mulai ngawur dan tidak sesuai dengan kondisi yang dianalogikan. Sekarang ini sudah jelas, selamatkan dulu nyawanya, namun kemudian pertanyaan saya, katakan dia selamat lalu karena kaki-tangannya yang patah pada akhirnya harus diamputasi. Apa dia akan bahagia menjadi orang cacat seumur hidupnya dan hidup terus dengan kecacatannya dan kemudian depresi, dan memilih bunuh diri.
Dalam pilihan kali ini, dokter pasti akan menyelamatkan nyawanya terlebih dahulu, karena percuma dia kaki tangannya berhasil dioperasi tapi kemudian mati.
Namun kenapa ini jadi tidak mewakili? Kaki dan tangannya patah, dan dia sekarat, posisinya seperti saat ini, Indonesia beberapa suku dan agama saling menyerang agama dan suku lain (kaki dan tangan negara yang patah). Dan sementara ada orang kelaparan, warga yang miskin, dan pengangguran (Nyawa negara yang sekarat). Sehingga untuk menyelamatkan nyawanya dibutuhkan para ahli bedah, dalam hal ini pemimpin negara. Jika tidak ada mereka dan mereka tidak membuat keputusan, maka negara ini (baca: pasien) tidak akan selamat.
Jadi dalam analogi ini, jelas tidak nyambung dan sangat dibuat-buat. Negara ini sudah sekarat, justru karena virus dan kanker yang sudah menjangkiti negara ini (koruptor, dan sebagainya).
Budaya negara ini sudah terlalu korup dan untuk menghancurkan virus dan kanker ganas negara ini perlu para ahli yang bisa melawan dan memberantas kebodohan dan kemiskinan yang mengakar di negara ini.
Kemiskinan kita adalah pola pikir yang sempit dan pandangan yang tidak jauh ke depan. Kita melihat sesuatu berdasarkan apa yang tampak, seperti kita meliha nominal 2000, tapi kita tidak melihat jauh ke depan dan apa yang akan kita dapat dengan 2000 tersebut.
Untuk melawan kanker dan virus, tidak mudah, tapi begitu kita lepas dari kanker dan virus, kita akan melihat masa depan dan hidup dengan lebih tenang dan nyaman.
Kondisi negara ini, sekarat karena dijangkiti virus dan kanker mematikan. Jadi, semoga artikel tandingan ini bisa meluruskan pandangan yang salah dan logika yang mengarah kepada kesalahan berpikir.
Pada akhirnya negara akan menjadi tempat hidup orang banyak, jadi pikirkan kepentingan orang banyak dan apa yang menjadi tujuan negara. Bukan keberatan yang ditujukan kepada kepentingan atau kelompok tertentu. Dengan adanya orang-orang yang menolak BBM pun, sebenarnya terlihat bahwa kebodohan dan kemiskinan masih menjangkiti negara ini.
Karena mereka tidak melihat tujuan di baliknya, mereka hanya melihat ego mereka. Mereka tidak ingin susah, tapi mereka selalu mengkritik presiden dan pemimpin untuk memakmurkan mereka dan mengeluh karena mereka miskin dan tidak dapat hidup secara layak. Sekarang giliran mau diberikan solusi pun, masih ditentang. Jadi apa sebenarnya mau mereka?
Pahamilah bahwa untuk pintar, kita harus belajar dan mengorbankan waktu, bersusah payah. Untuk mencapai negara yang lebih makmur, nyaman, aman, dan tentram, semua ada prosesnya dan kita pasti akan menemui berbagai kesulitan yang akan lebih mudah kita taklukkan jika kita hadapi bersama.
Masa beli rokok yang mahal dan harganya naik tajam, bisa, tapi kenaikan BBM diprotes. Jangan bawa-bawa orang miskin dan kalangan bawah, kalau mental kalian lah yang 'miskin'. Gimana negara ini mau maju, kalau mentalnya masih mental 'miskin'?
Artikel terkait:
Keuntungan dan Logika Kenaikkan BBM
Baca juga tulisan saya yang lainnya:
Bisakah diterapkan di Indonesia? “Suspended Coffee” dan Apa Dampaknya?
Hubungan Manusia, Definisi dan Persepsi
Tips Memilih Pasangan Yang Tepat Sebelum Menikah
Bahaya dan Cara Cegah False Memory
Menggali dan Mengembangkan Potensi Anak tanpa Membebaninya
Rasa Takut, Cinta, Naluri dan Obsesi
Kartu Kredit, Membantu atau Menyusahkan?
Note: Tulisan adalah karya pribadi. Silakan copy paste, namun tetap santun dengan cara memasukkan nama dan email penulis.
Penulis : Hong Kosan Djojo/Ryu Kiseki
email : ryukiseki@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H