[caption id="attachment_534" align="aligncenter" width="232" caption="Pulau Tarakan"][/caption] Hari pertama menjejakkan Pulau Tarakan, saat mentari bersinar terik, kami langsung menyusuri artifak-artifak yang tersisa selama Perang Dunia II segera setelah makan siang enak di suatu rumah makan The Bais Seafood. Artifak yang dikunjungi pertama adalah semacam pos pengintai dan bungker militer yang disebut pillbox (merupakan istilah militer untuk bungker). Lokasinya berada dekat dengan Lapangan Bandara Tarakan. Ada dua pillbox disini, yang satu dalam kondisi yang bagus sementara yang lain dalam kondisi buruk. [caption id="attachment_497" align="aligncenter" width="225" caption="Pos Pengintai, Pillbox"] [/caption] Pos pengintai ini didirikan jauh lebih lama daripada bungker yang sudah menjadi puing-puing, kalau melihat dari strukturnya tampak dibuat dari semacam semen beton sedangkan yang sudah menjadi puing-puing itu terbuat dari salah satunya karang laut yang kata pemandunya didirikan belakangan setelah pos pengintai. [caption id="attachment_498" align="aligncenter" width="300" caption="Puing-puing Pillbox"] [/caption] Para peserta PTD begitu antusias menaiki bukit demi bisa mengunjungi dan melihat-lihat pos pengintai pillbox. Kondisi tanah yang untungnya tidak licin, ditambah ada semut-semut merah yang alhamdulillah bukan tipe semut rangrang yang galak. Dari bukit ini bisa melihat Lapangan Udara Juata Tarakan, bahkan terlihat ada pesawat yang masih ada disitu. Pos pengintai ini digunakan sebagai strategi Jepang dalam menghadapi kedatangan sekutu (dalam hal ini tentara Australia dan Amerika) pada masa awal-awal PDII, sekitar tahun 1942. Mengapa didirikan di bukit dekat bandara Tarakan? Karena digunakan sebagai pengintai sekaligus pos penyerangan Jepang terhadap sekutu saat mereka datang ke Lapangan Udara Juata Tarakan. [caption id="attachment_499" align="aligncenter" width="300" caption="Lapangan Udara Juata Tarakan"] [/caption] Ohya ada hal yang menarik untuk diketahui bahwa Tarakan adalah wilayah Indonesia yang pertama diserang dan diduduki oleh penjajah Jepang! Benar-benar menarik, karena seingat saya tidak pernah ada dalam catatan sejarah semasa ane SMA. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju dua bungker perlindungan dari serangan udara Jepang saat PDII yang disebut loghraf. Sebenarnya bungker semacam ini ada banyak di wilayah Kampung Satu. [caption id="attachment_500" align="aligncenter" width="300" caption="Loghraf, Bungker Perlindungan"] [/caption] Dulunya Tarakan ini terkenal dengan kilang minyak nomor satu di dunia, dimana kualitas minyak Tarakan disebut-sebut sebagai paling murni di dunia. Karena itulah mengapa Jepang menjadikan Tarakan sebagai prioritas utama daripada wilayah lainnya. Jepang membutuhkan minyak untuk kebutuhan industrinya selain sebagai bahan bakar untuk kebutuhan perangnya di China dan Russia, selain itu posisi Tarakan cukup strategis dengan Jepang sehingga memudahkan transportasi untuk mengangkut minyak bumi. Jepang itu sebenarnya cerdik dan cerdas, pada semasa sebelum pecah PDII, wilayah Tarakan sempat menjadi pangkalan transit Angkatan Laut AS, selain itu Inggris juga membuat kebijakan pertahanan untuk menjaga jalur laut Surabaya-Darwin-Tarakan. Nah, Jepang dengan menyerang Pearl Harbor di Hawaii (yang merupakan wilayah AS), maka AS akan menyingkir dari Tarakan untuk melindungi wilayah jajahannya, sementara Inggris jadi lebih terkonsentrasi menjaga wilayah jajahannya. Sehingga Tarakan hanya dijaga oleh Belanda doang dengan begitu pendudukan Tarakan dan wilayah jajahan Belanda lainnya bisa ditaklukan dengan mudah. [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Loghraf yang lain"] [/caption] Kembali mengenai bungker, bungker-bungker loghraf didirikan pada semaca Perang Dunia II dimana tujuan utamanya untuk melindungi para pekerja yang bekerja di tambang minyak Tarakan dari serangan udara Jepang. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Tarakan terkenal akan minyak pada masanya, jika para pekerja minyak bumi mati terbunuh, maka keahlian mengambil dan mengolah minyak bumi akan hilang dan itu berarti Belanda akan mengalami kerugian besar, oleh karena itulah Belanda berkepentingan melindungi para pekerjanya. Ada lagi cerita dijelaskan oleh Iwan Santosa dalam bukunya (pak Iwan juga menjadi narasumber/pemandu sejarah PTD ini), bungker juga digunakan sebagai taktik Jepang dalam menghadapi serangan sekutu dimana strategi perang sekutu biasanya dimulai dari menjatuhkan bom-bom berjumlah banyak dengan menggunakan armada pesawat khusus bomber (taktik ini disebut carpet bombing), setelah semua disapu bersih oleh bom barulah sekutu menurunkan serangan darat. Dengan bungker ini tentara Jepang bisa melindungi diri dari serangan bom, sebab dari atas, keberadaan bungker ini sangat sulit dilihat apalagi kalau diberi persembunyian berupa pohon-pohon, semak belukar dan bebatuan. Kondisi bungker ini masih dalam keadaan relatif baik, tapi sayangnya bagian dalam bunker dicat merah (bahkan saya masih bisa mencium bau cat baru didalamnya), sehingga tidak sesuai seperti keadaan aslinya. Sementara bungker yang lainnya ternyata sudah menyatu dengan perkampungan penduduk, untuk kesini saja kami harus melalui rumah-rumah penduduk, dan bungker ini pun tidak bisa dimasuki karena sulitnya medan. Bungker-bungker seperti ini sebenarnya masih ada banyak di Tarakan, yang baru diperlihatkan baru dua buah saja di Kampung Satu. Yang menarik dari pemandu, katanya penduduk Tarakan yang dahulu bekerja di perkilangan minyak Belanda sampai disertakan dalam pertahanan Belanda dalam serangan Jepang. Bisa dibayangkan segitu kritisnya Belanda sepeninggal sekutu sampai mengikutsertakan penduduk dalam pertahanan Belanda terhadap Jepang. Setelah melihat-lihat bungker, kali ini menuju ke sebuah bangunan semacam tangki air yang besar dan hitam bernama Wash Tank setelah melalui perkampungan yang berisi ladang-ladang minyak kecil. Wash Tank ini dibom oleh pesawat Jepang, sampai kini masih terlihat penyokan di ujung atas Wash Tank. Alhamdulillah kondisi bangunannya relatif baik walau masih ada karatan sana sini [caption id="attachment_502" align="aligncenter" width="300" caption="Wash Tank"] [/caption] Perjalanan pun kembali dilanjutkan, menyusuri jalanan yang penuh tanah liat, sampai-sampai bus rombongan tidak bisa melanjutkan perjalanan karena salah satu bus ada yang terjebak tanah yang meliat itu. Sehingga perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Yang saya salut, pada rombongan ini ada manula yang berusia 70-an, tapi mampu dan bersemangat berjalan kaki melihat situs sejarah. Hebat ya semangatnya itu, membuatku jadi bersemangat tak mau kalah dengan para oma dan opa ini :) . [caption id="attachment_503" align="aligncenter" width="300" caption="Meriam"] [/caption] Pada kali ini melihat jejeran meriam-meriam yang menghadap ke lautan. Kondisi meriam-meriamnya agak memprihatinkan, sudah berkaratan bahkan ada satu meriam yang sudah rusak parah. Walau demikian masih ada meriam yang kondisinya lebih baik dan masih relatif utuh, hanya untuk mencapainya mesti mendaki bukit yang cukup tinggi. Kalau saya melihat totalnya, ada sekitar empat meriam yang terlihat, mungkin ada lebih lagi, tapi harus berjalan kaki lebih jauh lagi serta mendaki bukit demi bukit untuk dapat melihatnya. Memang posisi meriam ini ada di perbukitan. [caption id="attachment_504" align="aligncenter" width="300" caption="Jajaran Meriam"] [/caption] Dengan posisi meriam di perbukitan, Jepang begitu unggul dalam mempertahankan Tarakan dari serangan Sekutu. Kata pak Iwan hal itu cukup menyulitkan tentara sekutu dalam menduduki Tarakan, selain kondisi perbukitan, banyak pohon dan medan jalanan yang sulit, tentara Jepang begitu gigih dalam mempertahankan. Bisa dibayangkan, seperti apa perang terjadi pada kala itu saat melihat kondisi lapangan yang ada, dengan menaiki dua bukit untuk melihat dua meriam saja sudah mulai terasa capai, belum lagi meriam yang lainnya yang berada dibukit yang berbeda juga. [caption id="attachment_505" align="aligncenter" width="300" caption="Bekas Meriam dan Pantai"] [/caption] Setelah berjalan-jalan seharian, akhirnya kembali ke hotel untuk beristirahat dan koper-koper para peserta dimasukkan dalam hotel untuk dibawa ke kamar masing-masing yang sudah dipesan panitia Batmus. Perjalanan pun kembali dilanjutkan keesokan harinya. Perjalanan kali ini adalah berkunjung ke sebuah museum yang wajib hukumnya untuk Batmuser (istilah ane untuk anggota Batmus) untuk didatangi :D . Bentuk bangunan museum ini begitu unik, berupa rumah yang atapnya berbentuk setengah bundar dan berwarna merah. Namanya Roemah Boendar. Kata pemandu dahulunya rumah ini adalah barak militer sekutu dan sesungguhnya tidak hanya ada satu, tapi perkampungan yang seluruhnya memiliki bentuk bangunan yang sama. Namun hanya satu bangunan ini yang dimiliki pemerintah, sisanya milik masyarakat. Katanya pula, bangunan ini masih asli, sementara barak-barak lain sudah banyak yang diubah-ubah oleh masing-masing masyarakat selaku pemilik bangunan tersebut. [caption id="attachment_506" align="aligncenter" width="300" caption="Roemah Boendar atawa Barack Militaire"] [/caption] Museum itu sendiri menampilkan berbagai artifak-artifak PDII termasuk salah satunya pedang samurai, pedang komando Jepang, pecahan baling-baling pesawat, berbagai pistol-pistolan, baju-baju, dan banyak lagi. Bahkan ada pula piring-piring dan guci cina. [caption id="attachment_507" align="aligncenter" width="225" caption="Pecahan Baling-baling Pesawat, koleksi museum Roemah Boendar"] [/caption] Selain itu adapula pakaian adat Tarakan dan alat musik khas Tarakan. Memang tidak banyak koleksi yang dipamerkan layaknya museum-museum yang ada di kawasan Kota Tua, Jakarta. Namun bagi saya bentuk bangunan inilah yang mengesankan karena berbeda dari kebanyakan museum yang ada, bayangkan ada sebuah rumah barak dijadikan museum! Melihatnya saja sudah seperti masuk ke dalam dunia dongeng ^^" . [caption id="attachment_508" align="aligncenter" width="300" caption="Katana, Pedang Samurai Jepang"] [/caption] Oke setelah kunjungan wajib Batmuser, selanjutnya berziarah ke pemakaman tentara Jepang dan Australia yang gugur dalam PDII. Hm.. well... tidak benar-benar berziarah sih, tapi meliat-liat situsnya :D . Rasanya kurang klo tidak mengunjungi makam para tentara yang gugur dalam PDII. Pertama-tama kita pergi ke pemakaman tentara Australia untuk berziarah. [caption id="attachment_509" align="aligncenter" width="225" caption="Tugu Makam Australia"] [/caption] Oke sudah sampai... tapi kok ga ada makam-makam yah, yang ada kok markas Kodim Tarakan?? Eh ternyata... makam-makamnya sudah digusur dan dijadikan lahan parkir... -_-" pemakamannya sendiri dipindahkan ke Pulau Labuan di pantai barat Kalimantan. Yang tersisa hanya monumen putih sebagai pintu masuk ke makamnya.... pada jaman dulu tapi, klo melihat waktu sekarang jadi pintu masuk ke lahan parkir -_-" . Gagal berziarah dah hahaha... [caption id="attachment_510" align="aligncenter" width="300" caption="Makam Australia Tarakan (tahun tidak diketahui)"] [/caption] [caption id="attachment_511" align="aligncenter" width="300" caption="Makam Australia Sekarang"] [/caption] Ohya ada info menarik bahwa dahulunya tempat itu adalah kuil Shinto tempat militer Jepang bersembahyang yang kemudian digusur pihak militer Australia untuk dijadikan pemakaman tentara Australia lalu digusur lagi menjadi lahan parkir Kodim Tarakan... sepertinya ada sebuah karma karena menggusur kuil Shinto kali yah.... ^^" . Ohya ada yang bercerita bahwa masih adanya suara-suara tangisan atau kesakitan pada malam harinya di sekitar lahan parkir tersebut, entahlah... menakutkan jadinya... Gagal berziarah ke pemakaman Australia, kali ini mencoba berkunjung ke pemakaman Jepang. Setelah melalui perkampungan penduduk, barulah menemukan suatu bangunan seperti kuil Shinto. Di pintu masuk terdapat sumur dan ada tangga yang menuju ke pemakaman Jepang. Benar-benar terasa suasana Jepang seperti yang ada di komik-komik Jepang, kondisi bangunannya masih bagus tampak menarik dilihat, tamannya sendiri tampak terawat baik. [caption id="attachment_512" align="aligncenter" width="300" caption="Pemakaman Jepang"] [/caption] Didalamnya ternyata hanya ada satu makam Jepang... loh pada kemana para tentara Jepang? Masak yang tewas sekian ribuan hanya ada satu nisan? Dijelaskan pak Iwan ternyata semua mayatnya dijadikan abu dan nisan yang ada satu itu dijadikan sebagai monumen peringatan bertuliskan kanji hitam untuk berdoa. Katanya wisatawan asal Jepang masih mendatangi dan mendoakan tentara-tentara Jepang disini. [caption id="attachment_513" align="aligncenter" width="225" caption="Nisan Jepang"] [/caption] Disini kita bukan berziarah tetapi diberi briefing oleh pak Iwan yang difiturkan bang Adep dan panitia Batmus lainnya tentang bagaimana Jepang menyerang dan bagaimana Sekutu berbalik menyerang Tarakan dan umumnya. [caption id="attachment_514" align="aligncenter" width="300" caption="Briefing Penuturan Sejarah Tarakan pada PD II"] [/caption] Setelah dibriefing, kita kembali ke dekat markas (baca: hotel tempat kami menginap) dan mengunjungi sebuah gereja tua Don Bosco. Saya kira kunjungan ke gereja ini hanyalah filler pengisi waktu menunggu Jumatan yang kira-kira mulai satu jam lagi sebab tidak ada panduan sama sekali dari pihak Batmus dan pak Iwan tentang bangunan ini, kemungkinan besar bangunan ini tidak ada kaitannya dengan PDII yang menjadi tema sentral PTD ini. Para peserta rata-rata pada berkeliling bangunan, berfoto-foto, bahkan ada pula yang mengikuti nyanyian gereja. Saya? Hanya mengamati perilaku para peserta. [caption id="attachment_515" align="aligncenter" width="300" caption="Kumpul-kumpul di Gereja Don Bosco"] [/caption] Setelah shalat Jumatan, perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini menempuh perjalanan 1-2 jam menuju daerah Juata Laut yang letaknya berada di ujung utara pulau Tarakan. Ada apa di Juata Laut? Ternyata cukup banyak peninggalan PDII disana, ada bungker logistik, generator listrik, meriam, dan senjata mesin. [caption id="attachment_516" align="aligncenter" width="300" caption="Bungker...?"] [/caption] [caption id="attachment_517" align="aligncenter" width="300" caption="Eh kok ada moncong? Meriam ternyata.. tapi bidik kemana?"] [/caption] [caption id="attachment_518" align="aligncenter" width="300" caption="Ternyata mengarah ke Masjid!!"] [/caption] Posisi meriamnya sendiri tampak tersembunyi, sampai-sampai saya tidak menyadari saat pertama kali melihat. Saya mengira itu adalah bungker pada pandangan pertama. Setelah beberapa lama mengamati, barulah saya sadar bahwa ada moncong meriam yang menghadap ke mesjid. Loh ada apa ini? Tentara hendak menyandera sebuah mesjid?? Ohlala... ternyata... mesjid itu baru didirikan belakangan setelah meriam... eh tepatnya setelah PDII selesai. Tampaknya meriam ini dipakai sebagai salah satu strategi kamuflase Jepang dalam menghadapi sekutu. [caption id="attachment_519" align="aligncenter" width="300" caption="Bungker Logistik"] [/caption] Setelah melihat-lihat bungker, generator listrik (yang isinya kosong dan biasa saja, tidak ada yang istimewa bahkan generator listriknya tergenang air setinggi pinggang sehingga tidak bisa dimasuki), yang paling menarik bagi para peserta Batmus adalah senjata mesin Jepang. Beberapa peserta mencoba berbagai pose dengan senjata mesin yang relatif utuh, kendati buat saya kok senjata mesinnya terlihat seperti mainan dengan warna merah dan kuning yang aneh (maklum waktu itu tidak menyentuh langsung karena tidak kebagian giliran, cukup foto-foto saja deh ^^" ). [caption id="attachment_520" align="aligncenter" width="300" caption="Machine Gun Jepang"] [/caption] Oke perjalanan sejarahnya berakhir, sebagai penutup hari dilakukan kunjungan ke Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan dimana kita menemukan monyet bekantan yang sekarang dijadikan maskot suatu wahana hiburannya Jakarta di pantai Ancol (baca: Dufan). Saat pertama melihat monyet-monyet bekantan saya berpikir bahwa taman mangrove ini disubsidi oleh Dufan untuk mendukung kehidupan bekantan, tapi setelah dipikir ulang sepertinya tidak mungkin deh... :p . [caption id="attachment_521" align="aligncenter" width="225" caption="Hutan Mangrove"] [/caption] Bekantan adalah monyet yang berhidung mancung serta berwarna kemerahan, ekornya sendiri panjang sekali. Saat pertama kali didatangi rombongan Batmus, sekelompok bekantan langsung melarikan diri ke puncak-puncak pohon mangrove. Well gagal memfoto dari jarak dekat T_T . [caption id="attachment_522" align="aligncenter" width="225" caption="Bekantan"] [/caption] Tapi gapapalah paling tidak saya berhasil melihat ada binatang aneh di antara akar-akar pohon mangrove. Bentuknya seperti kodok, tapi memanjang dan punya ekor. Saya pikir itu ikan glodok karena pernah mempelajarinya dari jaman SMP, tapi ga yakin karena tidak pernah melihat langsung. Setelah diperiksa di Google ternyata dugaan ane tepat, benar itu ikan glodok :D . [caption id="attachment_523" align="aligncenter" width="535" caption="Kodok or...?"] [/caption] [caption id="attachment_524" align="aligncenter" width="300" caption="Ikan Glodok"] [/caption] Lucu juga cara dia berjalan, ternyata kakinya itu sebenernya adalah sirip ikan, tak bisa terbayangkan bahwa ada ikan yang bisa berjalan-jalan di darat, subhanallah... Selain itu ane juga melihat ada pergerakan di sekelilingnya, agak susah dilihat tapi saya merasa ikan glodok itu tidak sendirian. Setelah berjongkok dan mengamati lama, barulah saya menyadari bahwa yang bergerak-gerak itu adalah kepiting hitam kecil-kecil, keong, dan kelomang. Begitu dinamisnya hidup hutan mangrove... Sebetulnya selain bekantan ada burung putih disini, mungkin bangau rawa-rawa, sayang burungnya sudah terbang saat menghampiri sekelompok bekantan. Setelah puas-puas melihat dan menenangkan diri dengan suasana sunyi dan teduh hutan mangrove, saatnya makan es kelapa muda di pinggiran jalan :D . Ramai-ramai para rombongan Batmus menikmati nikmatnya es kelapa muda :D . Selagi sedang makan es kelapa muda, saya jadi termenung bahwa dahulu di Tarakan ini terdapat sepotong sejarah PDII yang penting buat kekayaan sejarah Indonesia, tetapi nyatanya sepertinya tidak banyak yang tahu keberadaan Tarakan ini, apalagi memandangnya dalam sejarah keindonesiaan. [caption id="attachment_525" align="aligncenter" width="300" caption="Pintong (Pindah Tongkrongan) Makan Es Kelapa Muda"] [/caption] Sangat disayangkan, artifak-artifak peninggalan PDII kini sudah tak terawat, diabaikan, diubah, bahkan dihilangkan. Kalau saja didokumentasi, dipublikasi, dan dikelola dengan baik saya yakin Tarakan akan menjadi destinasi menarik dalam kaitan sejarah PDII. Sangat jarang sekali ada peninggalan PDII di Indonesia, bahkan sepotong cerita Tarakan pun tak pernah saya dengar selama saya menuntut ilmu di sekolahan, paling yang terdengar hanyalah kisah heroisme AS dalam Pearl Harbour dalam cerita PDII. Atau dalam konteks keindonesiaan paling hanya terdengar peristiwa Rengasdengklok dan persiapan penyerahan kemerdekaan BPUPKI serta laksamana Maeda. Malang benar nasibmu Tarakan, sejarah perangmu telah terlupakan didalam sejarah-sejarah Indonesia... T-T .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H