Lihat ke Halaman Asli

Rahmad Dede Yufani

Suka deadline

Menjadi "Polisi Moral" dalam Melakukan Praktik "Cancel-Culture"

Diperbarui: 10 Desember 2023   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

FENOMENA PERILAKU NETIZEN KONTEMPORER DALAM PRESPEKTIF HUKUM: MENJADI "POLISI MORAL" DALAM MELAKUKAN PRAKTIK "CANCEL CULTURE"

Pada saat masuk dalam lini masa media daring, kita secara tidak langsung dipertemukan banyak orang yang memiliki latar belakang super-variatif. Tidak jarang kita terheran mengapa banyak orang yang memiliki perilaku aneh atau "stunting" dalam menyikapi revolusi era digitalisasi.

Dari banyak jenis netizen yang bertebaran di lini masa sosial daring, saya akan menitik-beratkan kepada fenomena pada warga internet yang acapkali melakukan "cancel" terhadap orang yang mereka anggap tidak bermoral dalam melakukan sesuatu di mata publik. Saya tidak mengerti kenapa banyak orang yang mudah tergocek dalam sebuah pengiringan opini di ruang publik.

Ketika seseorang Influencer melakukan blunder, maka, netizen secara impulsif menjadi polisi moral yang menerangkan bahwa A itu benar dan B itu salah, dan yang menariknya netizen menggeneralisasi bahwa yang dilakukan oleh Si Influencer itu, yang mana B itu salah dan seharusnya yang ia lakukan adalah A. 

Sebagai contoh, seorang Infuencer enggan memberikan uang sepeser pun kepada anak jalanan yang meminta, hal itu terekam saat Si Influencer itu melakukan live di platfrom TikTok. 

Netizen yang menonton memberikan tanggapan yang mana perbuatan yang dilakukan itu adalah B, seharusnya dia melakukan A. nah, di sini netizen secara dadakan menjadi polisi moral dengan cara mengomentari kejadian tersebut. 

Anggapan yang dilakukan Netizen ini terlalu menekan empati kepada anak jalanan yang meminta-minta, dan akhirnya membela anak jalalan itu. Maka, kita menyimpulkan bahwa netizen menilai kejadian itu secara subjektif tanpa mendengar terlebih dahulu dari penjelasan dari Influencer. 

Padahal anggapan ini salah, karena A dan B itu relatif. Seorang Influencer melakukan hal yang menurut netizen itu B, karena Influencer pikir itu adalah hal yang A yang mana benar, dia melakukan hal yang dianggap B oleh netizen karena dia tahu betul ke mana larinya uang tersebut which is lari ke preman atau bos yang terlibat sindikat eksploitasi anak, maka itu ia tidak memberikan uang sepeser pun, dan itu tidak bisa dibenarkan oleh Influncer tersebut. 

Kemudian, setelah melakukan pembenaran apa yang dilakukan oleh Si Influencer, netizen juga belum puas dan menyangkal hal tersebut, karena pada dasarnya mereka menganggap dirinya selalu benar. 

Nah, pada kasus ini, kita bisa melihat bahwa netizen bisa menjadi polisi moral karena blunder dari tokoh publik. Di saat bersamaan, netizen menerangkan soal "moral" dengan versi yang "benar" menurut netizen.

Sekarang kita coba mengaitkan kasus di atas dengan perilaku "cancelling" yang dilakukan oleh netizen secara kolektif ini. Dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia, apa yang dilakukan oleh netizen di ruang publik tidak melanggar hukum dan dilindung negara yang di atur dalam Pasal 28E UUD 1945, dan selama netizen hanya bersuara berdasarkan konsep A itu benar dan B itu salah, seperti pada kasus diatas, maka, hal itu tidak melanggar hukum dan dilindungi oleh Undang-Undang. Kecuali, jika netizen menyebarkan hate speech atau mencemarkan nama baik Si Influencer, maka hal itu bisa menjadi alat untuk membungkam netizen lewat Pasal 27 UU ITE, kendati Si Influencer melakukan blunder dan mencederai moral sosial menurut netizen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline