Lihat ke Halaman Asli

Negara Harus Mengakui Adanya Genosida 1965 dan Tak Perlu Meminta Maaf

Diperbarui: 7 Agustus 2016   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peristiwa G 30 S/PKI diceritakan secara turun temurun bahkan difilmkan dan diputar ulang di stasiun TV nasional setiap tahun pada tanggal 30 September dan menaikkan bendera setengah tiang untuk memperingati kekejaman PKI. Ketika cerita-cerita terlalu sering diulang-ulang bertahun-tahun lamanya maka cerita tersebut semakin lama akan menjadi suatu kebenaran yang tak perlu dipertanyakan lagi keabsahannya. 

Selama periode Orde Baru kata-kata dan simbol-simbol yang mengandung serta mengarah pada unsur PKI tidak boleh digunakan atau pun diucapkan. Menjadi kata terlarang yang mengandung kengerian masa silam mungkin hingga saat ini bagi para tetua. Generasi yang lahir setelah tumbangnya Orde Baru hanya sekedar tahu sejarah saja tanpa benar-benar mengerti lalu hilang ditelan angin waktu. Penayangan film dan menaikkan bendera setengah tiang setiap tanggal 30 September pun tak pernah dilakukan lagi saat ini.

Setelah sekian tahun lamanya peristiwa tahun 1965 ini kemudian mendapat perhatian internasional dengan keluarnya putusan pengadilan rakyat internasional (International People's Tribunal / IPT) di Den Hag tanggal 20 Juli 2016 yang menyatakan bahwa Indonesia telah melakukan genosida secara sistematis, diam-diam dan sporadis pada tahun 1965-1966 terhadap anggota, pengikut, simpatisan atau pun yang dicurigai bersimpati terhadap PKI, Presiden Sukarno dan Partai Nasional Indonesia. Bahkan keluarga dan keturunannya pun mengalami diskriminasi. 

Saya rasa Negara harus mengakui adanya peristiwa genosida tersebut dalam rentang waktu 1965-1966 yang dilakukan oleh militer. Dan tidak berpura-pura bahwa kekejaman yang terjadi tersebut adalah ulah PKI sebagaimana yang didogmakan selama ini. Pengakuan ini sebagai bentuk tanggung jawab negara yang telah lalai dengan melakukan pembiaran atas tindakan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri pada saat itu.

Pengakuan oleh Negara mutlak diperlukan namun permintaan maaf tidak mutlak perlu dilakukan. Untuk apa meminta maaf untuk kejadian lalu yang tak bisa diperbaiki kembali. Permintaan maaf hanya sekedar seremoni basi yang tak ada gunanya sama sekali. Sejarah sudah terjadi dan tak bisa diubah hanya lewat kata maaf. Namun, pengakuan sebagai bentuk pengingat sejarah kelam bangsa agar tidak terulang kembali lagi dimasa yang akan datang. Dengan adanya pengakuan oleh negara maka hak-hak para korban dan keturunannya sebagai warga negara dapat dipulihkan kembali tanpa perlu adanya kompensasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline