Di zaman serba modern ini, mungkin sebagian orang tidak mengenal pekerjaan pande besi. Karena, pekerjaan ini kian langka di kalangan masyarakat. Ini tidak lepas dari, banyaknya peralatan dapur yang diproduksi secara cepat dan massal oleh pabrik.
Ditambah lagi, seiring berajalannya waktu perajin pande besi yang dikerjakan secara tradisional alias manual, mulai digantikan dengan mesin-mesin modern yang menghasilkan produksi yang cepat dan jauh lebih banyak. Tak pelak, ini menjadi salah satu faktor banyak perajin pande besi yang memilih gulung tikar karena tak mampu membeli peralatan modern.
Namun di Dusun Jati Sumber, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, masih ada satu orang perajin pande besi yang menggunakan cara tradisional. Ia adalah Supriyo yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk menggeluti dunia pande besi.
Keahlian dalam membuat aneka peralatan dapur maupun kebun ini, tidaklah turun dari langit begitu saja. Melainkan, didapatkan secara turun temurun dari ayahnya Noto Darim sejak 46 tahun yang lalu.
Noto Darim merupakan guru yang pertama kali mengenalkannya dengan kehidupan besi, sekaligus menjadikannya sebagai keturunan keempat yang masih melestarikan pande besi secara tradisional. Bahkan, Supriyo adalah satu-satunya perajin pande besi tradisional yang tersisa di Kecamatan Trowulan.
Di gubuk beratapkan plastik dan anyaman bambu ini, Supriyo dibantu oleh Sualimah adik perempuannya dalam membuat peralatan dapur pesanan orang. Tak banyak memang, tapi pesanan itu selalu datang setiap harinya.
Pesanan yang selalu diterima oleh Supriyo mulai dari celurit, bendo, pisau, pedang, keris, kapak dan cangkul. Tak jarang, ia dimintai tolong oleh para tetangga untuk mengasah peralatan dapur maupun kebun supaya lebih tajam.
"Tidak harus dibuatkan, tapi ada juga yang minta diasahkan saja supaya lebih tajam. Saya tetap menerimanya," katanya.
Meski dalam pembuatannya masih terbilang tradisional, Supriyo tak pernah mematok harga mahal. Ia pun membandrol harga mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 150 ribu. Itu pun, masih harus dibagi bersama adiknya yang mengalami kebisuan sejak kecil.
"Kalau dulu, masih sering terima pesanan sampai kodi-kodian dari pabrik gula. Tapi sekarang sudah di-stop, jadi cuma menerima pesanan seadanya," imbuh Supriyo.
Di usianya yang telah memasuki setengah abad lebih, Supriyo kini tak mampu melayani permintaan pesanan dalam jumlah banyak. Karena kini tenaganya tak lagi muda, sehingga ia hanya mampu menerima pesanan tak lebih dari sepuluh dalam sehari.