Lihat ke Halaman Asli

Perjuangan Tiada Henti

Diperbarui: 5 November 2017   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

6 Desember 1944, Fajar hari itu, Jepang datang menyerang desa kami. Suara tembakan dan ledakan dimana-mana. Rumah-rumah, dan ternak hancur berkeping-keping, hanya tersisa ampas-ampas bangunan yang sudah tidak berguna.

Tepat 1 tahun setelah kematian ayahku karena peluru yang menembus kepalanya, selalu membuatku mengenang keseruan kami bersama. Hal ini dikarenakan kedekatanku ketika kecil bersama ayahku. Ayahku adalah seorang yang mudah bergaul dan pintar. Sedangkan aku merupakan seorang yang pantang menyerah. Ayahku menjadi seorang pejuang tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-36. Pada saat, itu kami sedang bersama-sama berkumpul dan bercengkrama, namun para pejuang-pejuang Indonesia memanggil seluruh kaum pria baik yang remaja maupun dewasa untuk ikut dalam menjaga pertahanan terhadap serangan mendadak yang dilakukan Jepang.

Serangan pada 6 Desember 1944, membuat kami harus mengungsi ke daerah pedalaman sehingga membuat kami lebih susah dilacak dan diserang oleh penjajah. Saya berumur 17 Tahun ketika serangan tersebut terjadi. mengikuti langkah ayah saya, saya ikut serta dalam peperangan yang dialami Indonesia. Saya ditugaskan di Jawa, yang berarti saya harus pergi meninggalkan ibu serta adik perempuan saya di Sumatera. Saya berangkat bersama dengan AU Indonesia menggunakan pesawat jenis C295. Penerbangan dilaksanakan pada pukul 3 pagi hari bersama pejuang-pejuang lainnya dari sekitar Sumatera Utara.

Saya melihat peperangan antara Indonesia dengan Jepang ditengah laut yang saling menembaki kapal satu sama lain. Terlihat Indonesia berjuang keras dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Kejadian ini membuat saya semakin semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sangat dibutuhkan saat-saat ini. Setelah melakukan pendaratan di Jawa barat, kami berangkat dengan berjalan kaki melewati tengah hutan menuju kota Bandung.

8 Desember 1944, Kami menyerang markas Jepang yang berada di dalam Goa di tengah dalam Taman Hutan Raya di Dago. Ada sekitar 1000 pejuang Indonesia yang ikut dalam peperangan yang menyerang markas Jepang di Dago. Terdapat 4 Pintu menuju markas Jepang. Berdasarkan pemantauan dari mata-mata Indonesia, Pintu 4 digunakan untuk keluar masuknya kendaraan, pintu 2 dan pintu 3 digunakan untuk jebakan dan pintu 1 adalah pintu dimana tentara jepang dapat keluar masuk. Kami pun terbagi menjadi kedalam 2 kelompok. Kelompok pertama menyerang melalui pintu 1 dan Kelompok 2 menyerang melalui pintu 4. 

Peperangan pun dimulai, serangan mendadak ini mengagetkan tentara Jepang yang sedang berkumpul bak semut-semut yang sedang mempersiapkan makanan untuk musim dingin. Hasilnya pun kemenenangan dibawa pulang Indonesia. Sekitar 400 pejuang Indonesia termakan jiwanya didalam goa tersebut. Keguguran mereka berbuah hasil yang merupakan langkah besar menuju kemerdekaan Indonesia.  Diketahui markas Jepang di Bandung merupakan markas Jepang yang dapat dibilang paling kuat di seluruh Jawa, aksi heroik ini pun pastinya akan membuat jepang semakin tertekan akan kekuatan Indonesia.

Puluhan serangan pun terlewatkan dengan keunggulan bagi Indonesia. Tepat pada 6 Agustus 1945, Jepang menerima serangan yang sangat dahsyat di Hiroshime menyebabkan Jepang kerugian yang luar biasa dahsyatnya. Lagi pada 9 Agustus 1945, Nagasaki menerima ledakan bom atom kedua yang diberikan Amerika Serikat dalam rangka berbalas dendam.  

Jepang menjadi sangat lemah di Indonesia. Beberapa pemuda menyuruh Ir. Soekarno untuk segera membacakan teks proklamasi karena Jepang yang sedang kritis. Teks Proklamasi pun dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarna ditemani Bung Hatta. Ketika Proklamasi dibacakan, terlihat awjah penuh kebanggaan di muka-muka para pejuang. Termasuk saya sendiri, saya merasa bangga menjadi seorang warga negara Indonesia, terutama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang tiada harga.

Perjuangan bukan hanya berakhir sampai mendapatkan kemerdekaan saja, perjuangan tidak harus selalu terjadi tumpah darah. Perjuangan akan ada dan akan selalu terjadi dalam setiap hidup kita masing-masing. Pada masa depan pun perjuangan akan terus terjadi, terutama perjuangan dalam pemulihan negara dan kemajuan rakyat.

20 Agustus 1945, saya kembali untuk bertemu dengan ibu dan adik saya, Puji Syukur saya panjatkan kepada Yang Maha Kuasa, karena selalu menjaga ibu, adik, dan seluruh orang-orang yang saya kasihi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline