Lihat ke Halaman Asli

Ryo Kusumo

TERVERIFIKASI

Profil Saya

Kampanye Akbar dan Sebuah Nostalgia Prabowo

Diperbarui: 9 April 2019   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: www.alinea.id

Beberapa minggu lalu saya berdiskusi dengan seorang kawan, salah satu pentolah lembaga survei. Ketika itu saya bertanya tentang apa kira-kira langkah terakhir yang akan diambil Prabowo dalam periode kampanye saat ini, dimana total disemua lembaga survei, elektabilitas maupun popularitas pasangan Jokowi-Amin unggul cukup jauh dari Prabowo-Sandi. Bahkan survey Kompas yang dibilang angka "dekat" pun selisihnya 11%.

Beliau hanya tersenyum simpul. Saya curiga, dia menyimpan sesuatu. Saya biarkan dia menyeruput kopi mocca arabikanya terlebih dahulu.

"Gini mas". Ujarnya. Saya kalau dengar yang "gini mas" itu agak ser-seran rasanya.

Dia menjelaskan secara gamblang, bahwa dari sisi manapun baik popularitas dan elektabilitas Jokowi sulit dilampaui secara angka maupun lapangan. Kompas memang terus terang bahwa suara Prabowo meningkat dan Jokowi menurun. Tapi secara perhitungan aritmatik proporsional 100%, suara Jokowi jauh diatas 50%, bahkan menyentuh 57%. Dengan anggapan golput ada di 10%.

Untuk berlari kearah sana, Prabowo butuh namanya "kenekatan" tindakan, dan Prabowo punya kapasitas itu. Prabowo sosok yang berani dan pengambil resiko meskipun fatal.

"Saya hanya bercermin dari kasus Ahok mas" Ujar dia.

Menurut dia, kasus Ahok adalah pelajaran yang teramat berharga bagi pendukung Jokowi dimanapun. Jokowi kapanpun, dimanapun, bahkan sedang tidurpun, bisa di "Ahok-kan". Dulu siapa sih yang bisa ngalahin Ahok? Tidak ada, secara kemampuan teknis maupun finansial.

Orang seperti Ahok pasti punya banyak musuh, begitupula Jokowi. Ingat, tidak ada satupun pemimpin didunia ini yang bisa menyenangkan semua pihak.

Sayangnya, ujar dia. Sayangnya, Jokowi adalah orang yang teruji dalam adu emosi. Dia tahu kapan momentum untuk marah (yang sebenarnya pun bukan marah, lebih ke "mancing") seperti kata-kata "gebuk" dsb. Beda dengan Ahok.

Jokowi seperti suka memainkan ritme permainan, Jokowi tahu pasti, kapan harus mengalah, harus slow, pelan, tapi tiba-tiba menghentak seperti dalam dua debat awal. Bahkan di debat terakhir pun Jokowi memberikan closing statement yang sontak menghentikan gerak lawan yang sudah panas, lantas mengikuti ritmenya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline