"Maduro harus tetap bertahan" ujar kawan saya.
Baru saja saya bertemu dia, dadakan seperti tahu bulat. Di selasar LAPI ITB, namanya Elimar Chaves. Dari nama belakangnya tak asing, dia masih klan keluarga Hugo Chaves, mantan Presiden Venezuela.
Dia ke LAPI dalam rangka studi banding, dana sendiri, studinya keren, tentang kekuatan pangan Indonesia. Fokus di Ilmu Teknologi Hayati. Alasannya?
"Karena Venezuela butuh ketahanan pangan" Ujarnya sambil menyantap batagor di pinggir jalan, kali ini saya yang traktir.
Venezuela, negara yang baru dinyatakan krisis, sangat memprihatinkan kondisinya. Ayam utuh disana bisa seharga 1,5 gram emas, sayuran sekali masak seharga kita masak lebaran di Indonesia.
Antrean mengular 4-5 jam hanya untuk mendapatkan air dan beras. Itu di Caracas, ibukota Venezuela. Inflasi meningkat ratusan ribu persen, bisa melonjak menjadi 1 juta persen.
Elimar bercerita, masalah negaranya timbul akibat sekian banyak konflik. Pertama, soal minyak, Venezuela adalah negara yang sangat-sangat mengandalkan minyak dan tidak men-divestasikan bisnisnya di sektor lain. Ketika harga minyak jatuh, boom..!
Kok gitu, Timur Tengah pun mayoritas dari minyak, tapi ketika harga minyak jatuh, gak gitu-gitu amat? Yup, ini yang kedua, ujarnya. Venezuela menganut sistem sosialis yang saat ini menjadi biang kerok.
"Venezuela kaya minyak? Iya, tapi tidak kaya teknologi."
Maksudnya? Sosialis membuat negaranya menasionalisasikan seluruh aktivitas perminyakan, tanpa memberi ruang sedikitpun bagi investor (asing) untuk melakukan eksploitasi. Bagus sih niatnya, tapi tanpa didukung teknologi yang memadai, minyak di Venezuela hanya menjadi cadangan.
"Tidak ada knowledgetransfer disitu" Sambungnya.